Semenjak SMA, tidak pernah terpikirkan dalam benak saya untuk merantau jauh demi menempuh pendidikan tinggi.  Nyatanya, Tuhan berkehendak lain dengan menempatkan saya di Bandung, kota terbesar ketiga di Indonesia yang berada di Jawa Barat.

“Itu mah nggak jauh,” cibir orang-orang.  “Wah, lumayan jauh ya!”  Ada beragam komentar yang sering kali bertentangan tiap kali seseorang mengetahui lokasiku berkuliah.  Betul sih, memang Bandung dan Surabaya masih berada dalam pulau yang sama.  Aksesnya pun mudah, lewat darat atau udara bisa dijalani.

Awal-awal berkuliah, orang tua saya selalu berusaha menyediakan fasilitas termudah dan terbaik bagi saya untuk melaksanakan pindahan dari rumah ke kos.  Mereka selalu menyarankan saya untuk menggunakan pesawat.  Saya masih ingat, tahun 2017 harga satu tiket pesawat ekonomi dari bandara Juanda ke bandara Husein Sastranegara masih tergolong terjangkau, setara dengan kursi eksekutif kereta api yang ditambah 200 atau 300 ribu.

Memang rasanya sangat efisien.  Dari Surabaya ke Bandung, saya hanya perlu duduk selama satu setengah jam.  Pemandangan yang saya dapatkan dari jendela pesawat pun sangat ciamik dan tentunya, instagramable.  Rasanya seperti menggunakan ‘pintu kemana saja’ milik Doraemon, karena perpindahan jarak panjang ditempuh sangat singkat.  Rasanya seperti sedang main ke kabupaten sebelah untuk sementara.

Tahun 2018, terjadi pengurangan kuota penerbangan dari Surabaya ke Bandung.  Tidak hanya itu, bandara Kertajati yang hampir rampung akan menjadi destinasi utama datangnya pesawat domestik.  Akibatnya, harga pesawat melonjak naik.  Saya tidak ingin menjadi beban, sehingga akhirnya hingga saat itu dan sampai sekarang, menolak untuk menggunakan pesawat apabila harus pergi ke Bandung atau pulang ke Surabaya.  Kereta jelas jauh lebih terjangkau dibandingkan tiket pesawat.

Ada banyak pilihan kereta yang memiliki jadwal tetap antara Jawa Timur dan Jawa Barat, bahkan sampai Jakarta.  Namun entah mengapa, saya dari dulu selalu naik Mutiara Selatan.  Padahal, ada kereta lain yang rute pemberhentiannya lebih sedikit.

“Kamu pulangnya gimana?”  Pertanyaan ini selalu rutin diajukan kepada saya setiap kali semester pembelajaran hendak berakhir.  “Biasa, South Pearl.”  Jawab saya.  Kereta ini selalu berangkat sekitar pukul 6 sore dari stasiun Bandung.  Bagi saya yang tidak suka bangun pagi, jam ini memberikan rasa nyaman sehingga saya tidak terburu-buru.  Walaupun, memang saya harus berangkat satu jam lebih awal agar tidak terjebak macet di jam-jam pulang kantor.

Swafoto Dalam Kereta/Eunike Dewanggasani

“Perjalanan berapa lama sih kalau naik kereta?”  Ini adalah pertanyaan kedua setelah orang menanyakan moda transportasi yang saya gunakan untuk mudik.  “Empat belas jam.”  Jawaban ini akan menerima respon yang rata-rata sama: kaget dan takjub.  Bagi mereka yang belum pernah bepergian jarak jauh dengan kereta, 14 jam mungkin terasa sangat panjang.  Bagi saya, itu hanya sebatas angka saja.  Tubuh saya sudah terlatih selama tiga tahun belakangan untuk menghabiskan waktu sebanyak itu di dalam gerbong kereta.

Maret tahun lalu, saya pulang ke rumah dan menjalani masa-masa lockdown selama hampir setengah tahun di Surabaya.  Saya sempat kembali ke Bandung, lalu pulang kembali ke Surabaya Desember tahun lalu.  Terhitung sudah lima bulan sejak kali terakhir saya menginjakkan kaki di peron stasiun.

Setiap perjalanan dalam kereta memiliki kesannya masing-masing.  Walaupun melewati pemandangan dan stasiun yang sama, orang-orang yang saya temui dalam perjalanan tidak pernah sama.  Perasaan yang menghantui hati ini juga selalu berubah.  Terkadang saya emosional dan menggunakan waktu dalam kereta untuk menangis tersedu-sedu.  Saya sudah tidak peduli dengan pandangan orang, toh mereka tidak kenal saya.  Ada pula saya merasa sangat gembira dan bersemangat.  Pun juga masa-masa saya ingin tenggelam dalam pikiran sendiri, atau masa-masa bertukar cerita dengan orang asing yang duduk di samping saya.

Sudah sekitar satu tahun ini saya memilih untuk duduk di kursi paling depan (atau paling belakang), kursi one-seater yang tidak memiliki kursi pasangan.  Dengan begitu, saya lebih leluasa untuk bermain telepon genggam atau makan.  Tidur pun lebih nyaman dan saya bisa menggunakan dua lubang kontak charger untuk diri sendiri.  Empat belas jam akan saya habiskan dengan melihat indahnya pemandangan di luar jendela, seringkali sembari merenungi makna kehidupan.  Tiap perjalanan spesial karena selalu memiliki catatan perjalanan dan pemikiran yang unik.

Orang bilang, “Enjoy the journey, not the destination.” Ah, bagi saya keduanya sama-sama layak untuk dinikmati.  Setengah hari yang saya habiskan dari pagi hingga pagi lagi adalah sebuah waktu untuk berada dalam ketenangan.  Rasanya seperti memiliki waktu berduaan dengan diri sendiri.

Saya tidak tahu kapan bisa kembali ke Bandung.  Perjalanan terakhir menggunakan Mutiara Selatan bulan Desember lalu masih saya ingat dengan jelas tiap detailnya.  Saya takjub dengan perubahan baru stasiun Bandung yang tampak seperti bandara dengan adanya boarding line dan eskalator.  Punggung saya memikul tas punggung yang penuh dengan barang bawaan, koper di tangan kanan dan tas tangan berisi makanan di tangan kiri.  Mungkin tulisan ini juga sebagai bentuk pengakuan dosa saya.  Ya, saya melakukan satu hal terlarang Desember lalu, yaitu menyelundupkan penumpang gelap bersama dengan saya.

Kkobugi Dalam Pangkuan Di Kereta/Eunike Dewanggasani

Namanya Kkobugi.  Nama tersebut hanyalah terjemahan bahasa Korea untuk ‘kura-kura’.  Saya mengadopsinya karena ia ditelantarkan oleh salah seorang penghuni di kos saya.  Saya tidak sampai hati kalau harus meninggalkannya di kosan sendirian tanpa ada orang yang memeliharanya.  Berhubung saya sudah pernah punya pengalaman memelihara amfibi, saya mengadopsinya dan memutuskan untuk ikut membawanya ke Surabaya.

Kkobugi tentu saja mabuk karena akuarium kecilnya yang saya selundupkan di tas tangan terus bergoyang-goyang akibat getaran dari laju kereta.  Saya akhirnya mengeluarkan dia dari akuarium dan memangkunya di perut sembari menutup tubuhnya dengan jaket.  Selain agar dia tidak kedinginan akibat AC di dalam gerbong, hal ini supaya keberadaannya tidak diketahui juga.

Ah, begitu banyak episode dan kejadian-kejadian yang selalu berkesan di setiap perjalanan saya dengan South Pearl ini.  Seperti peristiwa Kkobugi ini dalam perjalanan terakhir saya.  Saya rindu Bandung dan rindu perjalanan yang biasa saya lalui untuk sampai di Tanah Pasundan tersebut, namun saya tidak tahu kapan akan merasakan hal itu lagi.Until then, South Pearl.  Sampai jumpa di petualangan berikutnya, mungkin nanti di masa yang akan datang.

Tinggalkan Komentar