Kawasan ujung timur Pulau Jawa selalu dikenal dengan kesan magis nan mistis. Keberadaan hutan belantara dan kehadiran salah satu taman nasional, menjadikan wilayah ini semakin dekat dengan unsur gaib. Belum lagi baru-baru ini, komunitas berisikan para dukun, yang menyebut dirinya sebagai Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara) akan mengadakan Festival Santet. 

Ya, Banyuwangi yang dikenal sebagai Sunrise of Java, tidak hanya menyimpan keindahan alam khas pesisir pantai. Namun berbagai kekuatan spiritual dalam aktivitas keseharian masyarakatnya begitu erat kaitannya dengan Banyuwangi. Sehingga timbul keengganan dan kekhawatiran saya untuk mengunjungi sebuah hutan disana. Pikiran buruk terkait hutan, mulai dari angker dan banyak arwah bergentayangan terus menghantui. Hanya keyakinan dan tekad bulat yang pada akhirnya menjadi modal saya untuk memberanikan diri.

Bukan Taman Nasional Baluran atau Alas Purwo yang diduga sebagai latar belakang cerita KKN Desa Penari sebagai tujuan. Tetapi De Djawatan, lebih lengkapnya ialah De Djawatan Benculuk. Dari namanya saja, yang ada di benak saya adalah hutan dengan sentuhan modernitas khas Eropa. Sehingga kecurigaan mulai pupus digantikan oleh rasa penasaran.

Benar saja, ucapan rasa takjub tidak terasa terlontar begitu saja keluar dari mulut. Indah, segar, dan sejuk, tiga kata yang saya patut sandingkan untuk De Djawatan. Hutan ini membuat ingatan saya melalang buana kepada cuplikan Film Lord of The Rings, yaitu seperti Hutan Fangorn. Hutan ini dipenuhi rangkaian pepohonan trembesi yang tersusun rapi.

De Djawatan Benculuk

De Djawatan/Melynda Dwi

De Djawatan Benculuk terletak di Desa Benculuk, sesuai namanya, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Ditempuh dengan jarak sekitar 38 km dari Pantai Pulau Merah, salah satu pantai terkenal di Banyuwangi. Serta hanya merogoh uang sebesar Rp5 ribu, saya begitu dimanjakan dengan suasana ijo royo-royo .

Fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, mulai dari toilet, musholla hingga kantin. Alhasil ketakutan akan stigma negatif hutan Banyuwangi lenyap sudah. Karena Hutan De Djawatan telah dipermak sedemikian rupa sehingga patut dijadikan salah satu tempat wisata favorit.

De Djawatan Benculuk dinaungi langsung oleh Perhutani KPH Banyuwangi. Walaupun hutan lindung ini nampak tidak terlalu luas, hanya berkisar 3,8 hektar. Namun pesona sekitar 800-an pohon trembesi yang nampak kokoh nan gagah peninggalan zaman Belanda ini sangatlah memanjakan mata.

Bahkan wisatawan akan dibuai dengan beragam alternatif wahana, seperti delman dan mobil ATV. Dibangunnya jembatan dan rumah pohon juga menambah nilai estetika bagi pengunjung yang mengejar spot foto instagramable. Rerumputan yang tersaji di hamparan tanah juga terlihat rapi dan bersih. Sehingga banyak orang yang memanfaatkannya sebagai alas untuk menggelar tikar.

Pohon Trembesi/Melynda Dwi

Sebenarnya atmosfer mistis masih begitu kental di sini akibat tumbuhnya benalu jenis pakis-pakisan yang mengelilingi batang pohon trembesi hingga menjulur ke bawah. Suara kepakan sayap kelelawar semakin menambah suasana horor. Aroma tanah lembab, dedaunan berguguran, dan sarang kelelawar menjadi keunikan tersendiri. Apalagi jika pengunjung tiba saat matahari mulai kembali ke peraduan. Dijamin bulu kuduk mulai berdiri, tapi tenang, hutan ini selalu ramai kunjungan. Sayangnya, hutan ini hanya dibuka sampai pukul 17:00 WIB. Bagi penggemar jenis wisata yang memacu adrenalin, harus menelan kekecewaan karena tidak bisa merasakan suasana malam.

Dibalik keangkeran De Djawatan Benculuk, pohon trembesi menyimpan berbagai manfaat luar biasa. Sebagai tumbuhan yang memiliki masa pertumbuhan relatif cepat, 75 cm – 150 cm per tahun. Trembesi mampu menyerap karbondioksida (CO2) lebih tinggi dari jenis tumbuhan lainnya, yaitu sebesar 28,5 ton CO2/pohon/tahun. Tidak mengherankan apabila udara di De Djawatan sangatlah segar. Padahal di sekitar hutan ini terdapat riuh aktivitas perdagangan di Pasar Benculuk. Pohon Trembesi juga dikenal sebagai tumbuhan yang kuat karena mampu bertahan hidup pada berbagai musim dengan perubahan suhu ekstrim. Tumbuhan dengan nama latin Samanea Saman ini mampu tumbuh mencapai ketinggian 20 meter. Di Sunda, tumbuhan ini dikenal dengan nama Ki Hujan, karena mampu meneteskan air hujan dari tajuk pohonnya.

Jembatan Membelah Pohon Trembesi/Melynda Dwi

Konon katanya, De Djawatan Benculuk didirikan mulai tahun 1950-an, yang dulunya diperuntukkan sebagai tempat untuk menimbun kayu. Juga terdapat sisa rel kereta api di sekitar hutan ini, yang menandakan bahwa Benculuk pernah berjaya karena menjadi salah satu wilayah pusat ekonomi di Banyuwangi. Namun ketenaran De Djawatan sebagai lokasi penghasil kayu berkualitas telah meredup akibat penebangan kayu secara besar-besaran. Hingga pada akhirnya areal Djawatan tidak terurus, tetapi malah menambah nilai keeksotisannya.

Sungguh saya tidak menyesal telah mengunjungi De Djawatan Benculuk. Saat berpergian ke Banyuwangi, sempatkanlah mampir. Dengan biaya yang sangat terjangkau, tentunya tidak akan memberatkan dompet. Jadikan De Djawatan Benculuk sebagai salah satu tempat yang wajib didatangi di Banyuwangi. Karena menikmati pesona hutan tidak hanya sebagai cara untuk menyegarkan pikiran semata. Namun juga sebagai wujud kecintaan kepada alam Indonesia.

Tinggalkan Komentar