Rumahnya mungil. Halamannya luas dan rindang. Ada singkong, pepaya, jambu, cabe, pisang, dan lain-lain. Pandangan saya menyisir halaman dan rumah ini dengan mengernyitkan dahi. Rumah mungil dengan halaman besar, itu rumah impian saya! Belum lagi letaknya yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang membuat terlihat sangat nyaman untuk ditinggali.
Rumah ini dimiliki oleh sepasang suami istri, Jeje dan Bli Apel, namanya lucu bukan? Mereka dengan hangat menyambut saya, Ayu, dan Syukron dalam lawatan ke Nusa Penida. Baru saja tiba dan masuk ke gerbang, saya sudah menyiapkan kamera untuk memotret banyak hal, termasuk dua anak perempuan mereka yang menyambut saya sedari tadi.
“Namanya siapa?”
“Jingga,” jawabnya tersenyum sambil berusaha menyembunyikan wajah di balik tangan ibunya.
Jeje menawarkan minuman pembuka pada kami bertiga yang masih nampak bengong melihat halaman rumahnya yang dipenuhi pepohonan..
“Kalian mau teh atau kopi?”
“Kopi boleh, Mbak,” jawabku mendahului yang lain.
“Aku teh aja,” celoteh Ayu.
“Saya kopi deh,” ucap Syukron dan Bli Apel secara bersamaan menentukan pilihan mereka. Syukron memberitahukan kepada saya bahwa Jeje adalah teman lamanya yang setelah kampanye #BaliNotForSale yang lama tak bersua. Sekarang adalah waktu pertemuan mereka setelah hampir semua hal berubah.
“Keibuan dia sekarang,” kata Syukron, antara percaya tidak percaya bisa bertemu temannya setelah sekian lama. Saya lalu menanyakan kepada Jeje mengenai Tanah Barak, kebun rintisan yang berada di pekarangan rumah mereka.
“Kebun ini kecil-kecilan aja, sebagai salah satu usaha ketika pandemi,” ungkap Jeje.
Pembicaraan kami dimulai dengan kopi yang masing-masing tampak sudah menyeruput walau masih panas. Kebun Jeje dan Bli Apel dirintis bukan hanya karena pandemi yang berlangsung, tetapi mereka ingin mencoba bagaimana segala sesuatu dimulai dari diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan pribadi. “Kebun kecil ini memang tidak 100 persen memenuhi kebutuhan dapur kami, bahkan 30 persen pun tidak, tapi ketika kami butuh sesuatu, kami tinggal mencarinya di kebun saja,” jelas Bli Apel.
Ketika pandemi, memang banyak keluarga yang mencoba berkebun di rumah untuk memenuhi—atau setidaknya melengkapi—kebutuhan dapur masing-masing, Jeje dan Bli Apel adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mencoba berkebun. Luas kebun di halaman memang tidak seberapa, tapi ketika berhasil menuai dari apa yang ditanam, tentu ada kepuasan batin yang terpenuhi ketimbang sekedar membelinya di pasar. Itulah yang Jeje dan Bli Apel canangkan ketika kebun ini dimulai.
Bagi Jeje, kebun juga sebagai tempat mengumpulkan memori masa kecil. Kebun di rumah, selain mudah untuk diurus, juga berfungsi mendekatkan anak-anak dengan memori masa kecil Jeje dan Bli Apel, yang sama-sama berasal dari keluarga petani. Mereka ingin anak-anaknya bisa merasakan bagaimana merawat kebun dan memetik hasilnya. Kepekaan anak-anak akan alam memang perlu diasah semenjak dini.
“Merdeka pangan itu adalah ketika dalam penyajian makanan tidak ada nasi,” ucap Bli Apel. Makanan pokok masyarakat Nusa Penida awalnya adalah singkong, nasi hanya hadir dalam acara tertentu dan dilabeli sebagai makanan mewah. Sekarang Nusa Penida juga ikut bergantung pada beras. Tidak ada nasi namanya tidak makan. Bukankah dari Sabang sampai Merauke ditumbuhi berbagai macam umbi dan biji-bijian setara padi, tapi kenapa padi masih memegang tampuk kekuasaan?
Bali menjadi salah satu tanah terbaik untuk menanam buah dan sayur, tapi seringkali kebingungan dengan banjirnya buah dan sayur impor dari luar. “Padahal asal tahu karakteristik dan cara merawatnya, tumbuhan apapun bisa tumbuh secara bagus, kayak saya mencoba sorgum di halaman, hasilnya bagus,” tutur Jeje. Sayang, setelah memanen sorgum, mereka bingung untuk mengolah sorgum tersebut. Sorgum tersebut sebenarnya bisa dibawa ke Denpasar kalau mau diolah, tapi tentu itu perlu biaya besar yang tidak sebanding dengan hasil panen mereka. Akhirnya, sorgum tersebut berakhir menjadi pakan burung dan ayam. Meskipun berakhir sebagai pakan hewan, mereka membuktikan bahwa apapun bisa ditanam di sini asal bisa merawat.
Saat asyik berbicara soal singkong, Bli Apel mempersilahkan kami untuk mencoba singkong dari kebunnya. Saya, Syukron, dan Bli Apel saling bahu membahu mencabut pohon singkong yang paling tinggi di sini. Hasilnya, berbongkah-bongkah singkong kami dapat dari bawah tanah. Singkong tersebut kemudian kami kupas dan direbus oleh Jeje, kemudian disajikan hangat bersama sambal sebagai cocolan.
Sajian utama kami sebenarnya hanya menunggu waktu untuk dihidangkan. Untuk menyambut kedatangan kami, Jeje dan Bli Apel menyiapkan bubur ledok, makanan khas Nusa Penida. Asap masih mengepul dari panci ketika kami satu per satu mengambil hidangan ini di dapur.
“Dikit banget, tambahin lagi dong,” ucap Bli Apel kepada kami yang masih malu-malu kucing.
Bubur panas itu mengeluarkan aroma kunyit yang kuat. Namanya bubur, tapi teksturnya tidak seperti bubur yang umumnya yang lunak sepenuhnya, beberapa masih menyisakan bulir nasi, sehingga ketika lidah mencecap, ada sensasi bulir dan kuah yang bercampur. Dilihat sekilas, pasti orang-orang lebih menyangka bubur ledok bersaudara dengan soto. Pada suapan pertama, saya tidak tahan dengan panasnya yang menyengat lidah.
“Ini bubur khas Nusa Penida, jarang lho ada yang bikin kecuali acara tertentu. Di pasar pun belum tentu ada,” terang Jeje.
Potongan jagung dan singkong yang masih mengeluarkan asap, tanda udara makanan dan udara ruangan yang berbeda suhu bertemu. Indra perasa saya mencecap bumbu pada kuah bubur yang berwarna kuning. Saya tidak bisa menyangkal rasanya yang lezat seperti saya tidak bisa menyangkal bahwa kehidupan seperti Jeje dan Bli Apel, adalah kehidupan dambaan orang-orang yang sehari-harinya sibuk bertarung dengan hidup terlalu cepat.
Truk Buah dan Kehidupan Sebelum Berkebun
Jalanan utama Nusa Penida tampak lenggang sore itu. Lalu lalang motor tidak seberapa padat dibandingkan pagi hari. Batang hidung mancung bule-bule juga tidak terlihat, mungkin sedang menikmati matahari yang tenggelam di pantai. Hanya orang-orang lokal yang terlihat banyak beraktivitas sore itu. Anak-anak yang selesai belajar menari, ibu-ibu dengan kresek hasil belanjaan,dan bapak-bapak yang duduk di pinggir jalan, entah sedang membicarakan apa.
“Hei, ayo ke sini,” ucap Jeje kepada saya yang baru saja memarkirkan motor.
Truk buah yang dia punya adalah sebuah kijang kapsul dengan bak terbuka yang di karoseri sehingga terbuka dari semua sisi. Truk ini ia miliki semenjak 2021 dan sampai sekarang menjadi wadah baginya untuk mencari penghidupan. Ide berjualan ini memang awalnya untuk sekedar mencari kesenangan di Nusa Penida—selain untuk membuatnya betah tinggal di pulau yang apa-apa lebih sulit dan mahal dibanding Bali daratan.
Orang datang silih berganti untuk membeli dagangannya, sehingga beberapa kali pembicaraan kami harus terpotong karena Jeje harus melayani pembeli.
“Maklum, bentar lagi hari raya”
“Hari raya apa? Galungan?”
“Di Bali itu, bentar-bentar hari raya. Bulan hidup, bulan mati, pertengahan bulan. Di sini untuk menikmati hari raya tidak mesti menunggu berbulan-bulan.”
Sebelum berjualan buah, Jeje bergelut di dunia fotografi, dengan spesialisasinya ke arah budaya. Dari fotografi, Jeje banyak belajar bagaimana melihat tampuk permasalahan dalam sudut pandang yang berbeda. Selama kurang lebih tujuh tahun menekuni fotografi, Jeje tidak lantas menjadikan fotografi sebagai jalan hidupnya sekarang. Setelah menikah, dia mengikuti Bli Apel untuk hidup di Denpasar, kemudian ke Penida saat pandemi berlangsung. Jauh sebelum menjadi fotografer, Jeje adalah seorang pemangku adat di desanya, yang diangkat semenjak umur 13 tahun. Kehidupan pandita begitu lekat dengannya, hingga dia memutuskan untuk menikah.
Truk buah itu sebelumnya sempat juga menjual kebutuhan sayur mayur organik, tapi menurut Jeje, sayur organik miliknya tidak lebih laku ketimbang sayur anorganik yang banyak dijual di pasaran. Dulunya, ketika masih sering bolak-balik Kintamani, Jeje mengangkut hasil bumi yang ada di sana untuk dijual di sini. Melihat potensi buah yang jauh lebih tinggi, hingga sekarang, Jeje memilih fokus untuk berjualan buah, yang didapatkan dari distributor dari Denpasar. Buah lokal untuk bule, dan buah impor untuk warga lokal.
“Menciptakan pasar gampang, menciptakan daya beli yang susah,” gerutunya.
Makin sore, pengunjung makin ramai. Jeje memberikan jus buah beserta gorengan sebagai cemilan saya. Matahari bergumul dengan awan di penghujung cakrawala. Petang Nusa Penida tidak sama dengan Denpasar yang dikerumuni musik disko dari berbagai penjuru. Di sini lebih tenang, bahkan cenderung gelap dan sepi kalau sudah malam.
Saya melihat foto Jeje muda tahun 2014 yang ditunjukkan Syukron, yang abadi dalam internet. Tahun-tahun yang diingat Jeje masih sebagai tahun eksplorasi. Lompatan hidup, dari satu titik ke titik lainnya adalah momen yang akan selalu dia kenang. Perjalanannya terus berlanjut, meski secara fisik, dia sudah tidak lagi berpindah sesering dulu. Perjalanan menemukan rumah berubah menjadi perjalanan bersama rumah. Dia sudah menemukan rumah sesungguhnya bersama Bli Apel, Senja, dan Jingga.
***
Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.
Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.