Bersama langit yang semakin sore, kami berangkat beriringan setelah dua jam menunggu di titik kumpul—rumah salah seorang kawan di daerah Sudiang, Kota Makassar. Kami berkendara dengan motor, sekitar tujuh kendaraan, melintasi kemacetan ujung Kota Makassar sebelum berbelok ke arah Bantimurung, Kabupaten Maros. Hari ini, kami berencana mendirikan tenda dan menginap semalam, lalu melakukan susur gua di Leang Saripa. Leang Sapira merupakan salah satu dari puluhan gua yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan.
Motor kami berjalanan beriringan dari area Sudiang sampai di sepanjang poros Bantimurung. Karena keterlambatan beberapa orang berkumpul di titik kumpul tadi, alhasil kami menjumpai azan Magrib di jalan sehingga harus menepi ke Masjid Babul Jannah di Desa Alatengae untuk memberi ruang bagi kawan-kawan yang melaksanakan salat.
Beberapa yang tidak salat kala itu duduk-duduk di selasar masjid, beberapa lagi merokok di parkiran. Langit sudah mendekati gelap dengan sedikit jingga di ufuk. Suara merdu muazin memenuhi langit. Hingga langit benar-benar gelap dan orang-orang keluar dan berjalan pulang, kamipun kembali melanjutkan perjalanan yang tersisa 15 km lagi.
Jalan yang kami lewati ini merupakan jalan alternatif lintas provinsi yang menghubungkan Kabupaten Maros dan Bone. Tak heran, kami seringkali berpapasan dengan truk belasan roda selama perjalanan. Meski sempat salah tempat dan berakhir di lokasi proyek galian berdebu dengan tanah merah dan jejak ban truk di mana-mana, kami akhirnya tiba di lokasi kemah setelah menelepon Kak Sugar—pengelola wisata sekaligus pemandu selama kami di Gua Saripa.
Meski tiba saat malam hari, lanskap lapangan luas yang dikelilingi batuan karst dan stalaktit di mulut kecil gua cukup terlihat saat kami meneranginya dengan lampu yang tersedia. Tak jauh dari stalaktit, dan sedikit atap gua menjorok keluar, ada sebuah bale-bale dari bambu. Katanya, tempat tersebut acap digunakan pengunjung untuk memasak. Mengikuti saran pengelola, kami juga memasak makan malam di sana. Meletakkan dua kompor besar dan satu tenda berisi ransum, lalu sepetak tanah kecil itu kami sulap menjadi dapur selama dua hari ke depan.
Bepergian dengan kawan-kawan saat akhir pekan dan menghabiskan malam bersama, tak lengkap rasanya tanpa suara senandung dari masing-masing orang. Kami, bernyanyi bersama. Tetap terdengar asyik meski agak sumbang. Pun, kami juga berbagi cerita-cerita yang lebih mendalam satu sama lain.
Malam menjadi cukup panjang, hingga pukul satu pagi saya memutuskan memejamkan mata. Dari dalam tenda, sayup-sayup kudengar beberapa orang masih berbincang dan bergurau hingga pagi menjelang.
Cerita menarik Gua Saripa di pagi hari
Saat hari sudah pagi, dan teman-teman sedang sibuk senam, saya melipir, tertarik melihat sepasang anak kecil yang tampak penasaran dengan kamera mirrorless milik saya. Kedua anak itu, seorang kakak perempuan dan adik laki-lakinya adalah anak dari Kak Sugar. Mereka sedang duduk di bale-bale, menemani kakek mereka yang juga mertua dari Kak Sugar.
“Kek, kita’ orang asli sini?” tanyaku, membuka percakapan kami. (Kita’ merupakan sapaan serupa ‘anda atau kamu dalam bahasa Makassar yang lebih sopan.)
“Iya, saya asli sini, dari dulu, anakku juga, istrinya Sugar juga lahir dan besar di sini.”
“Berarti sudah lama sekali ya, Kek. Ini gua sudah dari tahun berapa dibuka untuk wisata susur begini?”
Kakeknya tampak mengingat-ingat. “Sudah lama, dulu sekitar tahun 2000-an, ada mahasiswa pecinta alam dari Makassar. Mereka susur gua ke dalam, setelah itu, kasih tanda juga di depan. Dulu gua ini belum ada namanya, mereka sering sebut Gua Saripa sampai sekarang.”
“Tapi, sebenarnya ini dulu bukan Gua Saripa,”
Aku menjadi bingung memendam pertanyaan, lalu jika bukan Gua Saripa, apa namanya?
“Gua Saripa yang asli di sebelah sana,” katanya, menunjuk ke arah kedatangan kami.”
“Oh, ini bukan Gua Saripa?”
Kakek menggeleng. “Bukan, tapi Gua Saripa letaknya di dekat sini juga, dekat persawahan di sana.”
Perbincangan kami berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Dari beliau, saya banyak mendengar cerita-cerita Gua Saripa di masa lalu. Misalnya, gua ini berfungsi sebagai tempat bersembunyi sewaktu tragedi genosida tahun 1950. Konon, beberapa pribumi bersembunyi di dalam gua ini, hingga periode perburuan golongan ekstrimis agama tertentu itu mereda.
Itu dulu. Kontras dengan keadaan beberapa tahun belakangan. Orang-orang di desa berkumpul di mulut gua saat musim kemarau hanya sekadar untuk menghabiskan waktu siang, merasakan angin sepoi-sepoi dan suhu dingin di antara stalaktit dan stalagmit.
Seperti tempat-tempat yang berumur tua, gua ini juga memiliki banyak cerita mistis. Salah satu yang terkenal yakni cerita tentang ikan transparan yang konon tinggal di danau dalam gua. Beberapa pengunjung pernah menyaksikan langsung keberadaannya.
Sang kakek juga sempat menceritakan peristiwa longsor yang terjadi di bagian luar gua sekitar tahun 2010-an. Sebuah pecahan batu gua yang cukup besar masih dapat dilihat di bagian samping gua, antara tangga menuju mulut gua dan lokasi kemah kami.
Spelunking cave
Aktivitas yang cukup ektrem ini nyatanya digemari banyak pecinta alam di Kota Makassar. Kawasan Taman Nasional Bantimurung memang kerap menjadi lokasi susur gua (spelunking cave) bagi pecintanya yang berasal dari sekitar Sulawesi Selatan, bahkan luar negeri. Kawasan ini mencuri banyak perhatian sebagai kawasan karst terbesar dan terindah kedua di dunia. Selain karena bentang alamnya, jejak sejarah manusia purba yang tersebar di beberapa kawasan membuatnya tidak habis untuk terus ditelusuri. Salah satu yang menggemparkan yakni penemuan kerangka manusia purba ‘Besse’ pada kedalaman dua meter di Desa Wanua Waru, Kabupaten Maros, tahun 2015.
Saya sempat menanyakan perihal hal ini, siapa tahu gua yang akan kami masuki dalam beberapa jam ini memiliki jejak peninggalan sejarah di dalamnya, tetapi nihil.
Gua Saripa terdiri atas 3 bagian utama, yakni Aula 1, Aula 2, dan mata air yang membentuk danau yang berada di dalam gua. Sebelum memasuki gua, kami mendapatkan arahan dari Kak Sugar dan Kak Yusuf, dua orang yang akan memandu kami memasuki gua.
Dari penuturan Kak Sugar, medan susur di dalam gua ini tidak terlalu sulit. Kami akan melewati dua bagian aula yang lapang, katanya lebih luas dari area kemah kami ini. Dua area lapang tersebut dinamai Aula 1 dan Aula 2. Selain itu memberikan informasi mengenai medan di dalam gua, Kak Sugar juga memberi kami arahan terkait hal-hal yang tidak boleh dilakukan di dalam gua.
Sekitar pukul sembilan pagi, kami memulai perjalanan. Menaiki puluhan anak tangga sebelum sampai di mulut gua. Kak Sugar berjalan paling depan, sementara Kak Yusuf sebagai sweeper di barisan paling belakang. Rombongan kami berjumlah sekitar 12 orang dengan mayoritas perempuan tanpa pengalaman susur gua sebelumnya.
Sejauh ini, medan yang kami lewati tidak sulit. Begitu melewati mulut gua, kami berhadapan dengan atap gua yang rendah dengan banyak stalagmit. Agak berbahaya jika tidak berhati-hati. Untuk melewatinya, kami harus berjalan jongkok sekitar 100 meter sebelum sampai di Aula 1, area gua yang begitu lapang, dingin, dan lembab. Sedihnya, saya mendapati vandalisme di beberapa titik. Coretan nama-nama orang menempel di dinding gua.
Setelah melewati Aula 1, jalan terbagi dua. Kami mestinya melewati jalan sebelah kiri untuk sampai ke Aula 2, tetapi setelah pemandu kami mengeceknya, ternyata ada penyempitan jalur sehingga kami harus melewati jalur sebelah kanan. Di jalur ini, terdapat jurang yang dalamnya mencapai tiga meter tepat di sisi kanan. Sementara itu, pijakan kaki kami sangat sempit, hanya setapak yang hanya bisa dilalui satu orang. Hal ini tentu saja membuat saya cukup khawatir.
Rombongan berhenti tepat di depan jalur tersebut. Seperti sebelumnya, Kak Sugar dengan satu teman lelaki memeriksa keamanan jalur di depan terlebih dulu. Setelah dinyatakan aman, baru rombongan kembali melintas.
Seorang teman yang telah berjalan lebih dulu kembali dengan napas tersengal-sengal dan muka pucat. Aku yang masih menunggu giliran pun bertanya.
“Kenapa, Kak?”
“Tidak ji. Mauka keluar karena sesak kurasa di dalam.” Katanya singkat.
Iya berniat kembali ke Aula 1 sendiri. Namun, hal itu tidak diizinkan. Si kakek kemudian menemaninya. Saya juga mengikuti dari belakang, sebab kakek akan kembali bersama rombongan. Jadi saya merasa setidaknya harus menunggunya, berjaga-jaga jika ada kejadian yang tidak terduga.
Alhasil, perjalanan susur gua pertamaku berakhir sebelum sampai di Aula 2. Sangat menyenangkan mendengar cerita anak-anak lain yang berhasil sampai ke danau dalam dan bermain air di sana. Terlihat dari baju mereka yang basah kuyup dan penuh tanah merah bahkan sampai ke bagian kepala.
***
Setelah beristirahat, kami memutuskan menunggu hingga lepas waktu salat Zuhur sebelum memulai perjalanan pulang ke Kota Makassar. Meskipun saya tidak sampai ke dalam danau, tetapi menyaksikan gua dengan medan yang cukup berbahaya membuat diri ini bertekad menguatkan mental terlebih dulu sebelum kembali mencoba aktivitas ektrem ini. Seperti tempat-tempat indah lainnya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Leang Saripa sama cantik dan ramahnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.