Selain kuliner bercita rasa gurih manis, Jogja selalu mengingatkanku pada kerajinan lokal yang unik dan njlimet. Aku tak pernah bosan mampir ke kios-kios aneka kriya di Pasar Beringharjo. Tiap sudut lantai dua Blok III pasar menawarkan serba-serbi kerajinan bagaikan toserba (toko serba ada). Mulai dari kerajinan bunga-bunga kering, peralatan makan dan memasak dari kayu, tas goni, hingga dekorasi-dekorasi rumah dari anyaman bambu.
Pun sama halnya ketika bertandang ke sentra gerabah di Kasongan, Bantul. Dekorasi-dekorasi rumah masif dipasarkan di sana. Bahkan, dekorasi yang gigantik, pot tanah liat aneka bentuk, dan furnitur-furnitur berukir kayu mewarnai pinggir ruas jalanan.
Benakku selalu hanyut dalam kagum ketika melihat satu per satu kerajinan yang ada di Pasar Beringharjo maupun Kasongan. Barangkali, belum ada mesin yang mampu menyamai detail anyaman dan ukiran. Belum ada robot yang jemarinya seteliti jari-jemari para perajin.
Namun, pada saat yang sama benakku merasa miris karena usaha-usaha para perajin itu hanya dianggap sepintas lalu. Barang-barang hasil kerajinan hanya menjadi barang dagangan. Posisi mereka dalam dunia seni seringkali berada dipinggirkan alias tak diperhitungkan.
Hasil dagangan mereka pun belum tentu setara dengan jerih payah tangan-tangan yang setia menganyam dan mengukir. Tidak semua usaha seni kriya menjadi eksportir seperti yang dipopulerkan dalam media daring.
Dalam suatu perhelatan internasional seni rupa kontemporer, aku menemukan bahwa kerajinan lokal mampu memiliki posisi dalam dunia seni kontemporer.
Bertandang ke Biennale Jogja 17
Suatu hari ketika suhu udara Yogyakarta menyentuh 32 derajat Celsius, dua orang kawanku dari ibu kota bertandang ke Jogja. Kala itu Jogja sedang padat perhelatan seni, salah satunya perayaan seni kontemporer dua tahunan yang diadakan Yayasan Biennale Yogyakarta.
Ketika mereka berdua mengajakku bervakansi sejenak, sontak kusarankan untuk mengunjungi beberapa lokasi pameran Biennale Jogja. Pada tahun ini, perhelatan itu menjadikan dua desa sebagai lokus pembuatan karya, yakni Panggungharjo dan Bangunjiwo. Kemudian menyambangi 13 tempat sebagai lokasi memapar karya-karya.
Kami memutuskan untuk berkunjung ke tempat-tempat pameran di Desa Panggungharjo. Kami mengunjungi The Ratan, Kampoeng Mataraman, dan Pendhapa Art Space (PAS) Podjok. Kunjungan paling menarik dari area Panggungharjo adalah pameran di PAS Podjok.
Tepat di tikungan bahu kiri jalan Ring Road Selatan, terdapat bangunan galeri bernama Pendhapa Art Space. Bangunan itu menyatu dengan sebuah kafe bernuansa putih terang di sebelahnya.
Kami pikir bangunan galeri Pendhapa Art Space itu menjadi lokasi pameran Biennale Jogja 17. Maka, masuklah kami ke sana dan memandang seisinya dari pintu masuk. Namun, pemandangan yang ada di depan mata tak seperti pameran Biennale yang sudah-sudah.
Dinding galeri itu dipenuhi foto-foto beresolusi tinggi dan fokus yang tajam. Foto yang dipapar beragam dan beberapa agaknya ngeri, seperti foto punggung seseorang yang dipenuhi luka tembak. Kenapa foto semua? Apa Biennale Jogja kini menyediakan Biennale Photography?
Ah, rupanya galeri itu memapar pameran lain, yakni World Press Photo. Ruang yang menjadi ajang Biennale Jogja berada di bangunan sebelah, bangunan yang menjadi kafe. Kafe itu menyediakan sebuah bilik kecil memanjang sebagai ruang papar karya.
Setelah menjelajahi jepretan-jepretan dari peristiwa-peristiwa ngeri lainnya, aku mendahului kawan-kawanku menuju ke kafe. Memasuki lantai pertama bangunan kafe, mataku langsung disambut oleh patung-patung beragam rupa dan bentuk.
Patung-patung itu berkisar pada tubuh-tubuh manusia versi mungil hingga patung anjing sedang berak. Mereka begitu rupawan dan realis, persis dengan bentuk dalam kenyataannya. Memandangi patung-patung itu mengingatkanku akan pameran-pameran di galeri white cube, di mana karya-karya biasanya berkisar pada lukisan dan patung.
Namun, patung-patung itu rupanya bukan karya-karya dari Biennale Jogja. Patung-patung tadi merupakan karya-karya tetap di kafe PAS Podjok. Aku beranjak ke lantai dua untuk memastikan pameran Biennale Jogja.
Sesampainya di sana, baru kujumpai karya-karya Biennale Jogja 17. Kupandangi karyanya satu per satu. Karya-karya itu tak biasa kutemui di galeri-galeri seni. Di sana, aku justru bertemu pandang dengan tikar mendong, wayang kulit dan lukisannya, serta sehelai batik jumputan. Bahkan, ada pula kincir angin!
Pameran Biennale Jogja di PAS Podjok justru membuatku serasa kembali ke masa lalu, tepatnya ke masa kecil sewaktu duduk di bangku sekolah dasar (SD). Beberapa karya yang terpampang telah lama sekali luput dari pandanganku. Terakhir kali aku duduk di atas tikar mendong adalah semasa lebaran di kampung kerabat sepuluh tahun silam. Terakhir kali aku meniup-niup kincir angin pun demikian.
Aku tak pernah menonton wayang sehingga gambar aneka karakter wayang masih cukup asing di mataku. Hanya muncul satu atau dua nama karakter di pikiranku, seperti Rahwana dan Srikandi. Barangkali aku yang telah hidup dalam belantara urban sudah terasing dengan wayang.
Kupandangi satu per satu karya. Rupanya karya-karya itu memang dibuat oleh para perajinnya langsung. Tikar mendong itu hasil jari-jemari Bu Legiyem yang setia menganyam untuk menghidupi dirinya dan keluarga selama 41 tahun. Wayang-wayang kulit yang diwarnai sapuan kuas bercorak pastel adalah hasil karya Ibu Atmo. Kemudian, lukisan wayang dengan stilisasi yang detail merupakan kecermatan dan kepiawaian tangan Pak Sagio dan Subandi.
Selain itu, ada pula instalasi yang disandingkan dengan salah satu kerajinan, yakni tikar mendong. Instalasi tersebut berupa lampu gantung yang didekorasi. Kap lampu berbentuk lonjong tak beraturan dan terbuat dari kertas. Lapisan kapnya diberi corak abstrak dari cat minyak. Bentuknya yang tak mulus dan cat yang seperti ditemplok sana sini menghadirkan kesan bentuk serupa sarang lebah.
Instalasi itu diberi judul Untitled, karya dari Mit Jai Inn Studio bersama komunitasnya bernama CCCCC. Mereka adalah seniman yang berasal dari Chiang Mai, Thailand. Kehadiran instalasi tersebut ternyata bukan semata memperindah dan menerangi karya tradisional di sampingnya. Posisi instalasi yang sejajar dengan tikar mendong justru menghadirkan narasi bahwa kerajinan tradisional tak harus terpinggirkan dari seni kontemporer.
Beberapa meter dari tikar mendong, terpajang sehelai batik ijo (hijau) toska dengan hiasan berbentuk bulat-bulat putih. Kain itu masih sangat familiar bagiku karena batik jumputan masif ditemui di toko batik dan Pasar Beringharjo. Akan tetapi, yang menarik dari batik tersebut bahwa kain yang digunakan merupakan kolaborasi antara perajin kain tenun dari Watublapi, Maumere dan seniman domisili Yogyakarta yang bekerja dengan tekstil.
Perajin tersebut ialah Rosvita Sensiana. Setelah kupahami teks pendamping karya, ternyata ia tidak hanya menenun kain. Rosvita juga menenun jejaring ibu-ibu akar rumput dalam sebuah Sanggar Kain Tenun dan Ikat yang ia beri nama Watubo.
Sementara, seniman yang melakukan eksperimentasi dengan tekstil itu bernama Caroline Rika. Karya-karya tekstilnya selalu didasari pada kain-kain tradisional dan teknik-teknik yang ia temui dalam perjalanan artistiknya.
Setelah meresapi bacaan teks sejenak, aku memandang kain di dinding galeri itu lain daripada kain yang tersebar dalam pasar komersial. Aku memandang ada jalinan persaudarian yang merangkul perajin lokal dari seberang lautan dan karya tradisional yang terpinggirkan dari jagat seni kontemporer.
Seni Kriya dalam Semesta Seni Kontemporer: Refleksi Perjalanan
Barangkali, karya-karya kerajinan yang terpampang pada dinding-dinding PAS Podjok tak pernah kita temui. Bahkan, di Pasar Beringharjo atau pameran-pameran kerajinan. Nama-nama para perajinnya juga mungkin tak pernah terdengar.
Kehadiran karya-karya dari Legiyem, Bu Atmo, Rosvita Sensiana, Caroline Rika, Pak Sagio, dan Pak Subandi menunjukkan kepada pengunjung bahwa kerajinan menjadi bagian dari dunia seni kontemporer. Terlebih, pelibatan perajin lokal menandakan sebuah pengakuan bagi upaya para perajin. Khususnya, pengakuan terhadap upaya mereka merawat pengetahuan hingga berpuluh tahun demi keberlanjutan seni kriya.
Kerajinan lokal seringkali hanya dianggap sebagai barang dagangan atau dekorasi rumah-rumah warga kelas menengah ke atas. Bukan karya yang berada dalam lintasan sejarah seni.
Padahal, kerajinan tidak hanya memiliki nilai estetika. Akan tetapi, terdapat nilai pengetahuan yang sudah diturunkan bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi lainnya. Pengetahuan itu nyatanya yang membuat suatu individu dan keluarganya dapat bertahan hidup. Bahkan, menggerakkan perekonomian di lingkungan sekitarnya, seperti yang dilakukan Legiyem dan Rosvita. Pada akhirnya, pameran ini bukan demi estetika semata, melainkan ada maksud politis di mana perjuangan para pengrajin selama puluhan tahun diakui.
Meski lokasi pameran berada di sebuah galeri kafe yang cukup mentereng, tetapi Biennale Jogja tak bertendensi hanya menampilkan karya-karya seni bertaraf galeri nasional atau internasional. Biennale Jogja justru mengikutsertakan karya-karya yang selama ini terpinggirkan karena tak dianggap sebagai seni. Hal itu justru menjadi sebuah langkah dalam memperluas makna dari apa yang disebut sebagai seni.
Agenda vakansi kecil-kecilan bersama kawan-kawanku ternyata bukan jadi agenda tur kesenian semata. Tanpa harus bertemu langsung dengan Legiyem, Bu Atmo, Pak Sagio, dan Rosvita, aku seperti mendengar suara-suara perjuangan mereka menganyam, melukis, merangkai, dan menenun pengetahuan dari pinggiran.
Aku merasa seperti mendengar suara-suara yang dimunculkan setelah tenggelam dalam arus elitis seni kontemporer. Pertemuanku dengan karya-karya mereka justru membuahkan keinginan untuk bertemu langsung dengan mereka.
Foto sampul:
Wayang dan kincir angin sebagai mainan anak karya Ibu Atmo Wiyono/Biennale Jogja
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.