Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Erupsi 2010 disebut-sebut adalah yang paling dahsyat dalam 100 tahun..
Setelah malapetaka tersebut, tahun 2014 ditawarkan wisata petualangan menggunakan mobil jip ke area terdekat Gunung Merapi yang terdampak erupsi. Namanya Lava Tour Merapi. Pada awal Juni 2024 lalu, saya dan istri mengunjunginya.

Telusur Bekas Erupsi
Banyak komunitas yang menawarkan jasa petualangan ini di sekitar Jalan Mbah Maridjan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kami memilih salah satunya. Ada tiga paket yang mereka tawarkan, yakni paket panjang dengan durasi tiga jam, berbiaya Rp600.000. Pengunjung yang memilih paket ini bakal diajak ke Bungker Kaliadem, The Lost World Park, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip.
Lalu paket menengah dengan durasi dua jam, berbiaya Rp500.000. Tempat-tempat yang ditawarkan antara lain Bungker Kaliadem, Petilasan Mbah Maridjan, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip. Terakhir paket pendek dengan durasi 1,5 jam, berbiaya Rp400.000. Tempat-tempat yang dikunjungi seperti paket menengah, tetapi tanpa off-road air.
Kami memilih paket pendek saja. Sebab, saya hanya penasaran dengan Petilasan Mbah Maridjan dan Museum Erupsi Merapi.
Jip-jip terbuka terparkir di halaman luas salah satu komunitas trip Merapi, sewaktu kami tiba dari penginapan di seberang Stasiun Yogyakarta. Gunung Merapi sudah terlihat saat kami dalam perjalanan menuju lokasi jip.
Perkampungan yang beberapa rumahnya sudah kosong, kebun-kebun warga, dan jalan penuh bebatuan mengawali petualangan kami dengan jip. Kami melewati jalanan penuh bebatuan dan pasir, mirip sungai yang sudah kering. Menurut pemandu, yang juga sopir jip, area yang kami lewati itu dahulu titik aliran lahar Gunung Merapi. Guncangan-guncangan kecil tentu saja terjadi, tetapi itulah yang membuat seru.
Dari titik ini, jika beruntung tak tertutup awan, pengunjung bisa melihat puncak Gunung Merapi sangat dekat. Sayang sekali, saat kami ke sana, awan sudah tebal menghalangi pandangan ke puncak itu.
Puas mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan ke Petilasan Mbah Maridjan. Menurut pemandu, yang saya lupa namanya, jarak dari petilasan ke puncak Gunung Merapi sudah dekat, hanya sekitar lima kilometer.
Kemudian jip membawa kami ke Bungker Kaliadem yang punya cerita miris. Terakhir, ke Museum Erupsi Merapi dan kembali ke titik jip tadi berangkat, saat siang mulai datang.
Ada Kisah di Balik Tempat
Petilasan—atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan bekas peninggalan—Mbah Maridjan menyimpan banyak cerita amuk Gunung Merapi pada 2010 lalu. Mbah Maridjan adalah kuncen Merapi. Sosok ini cukup terkenal karena keberanian dan kebijaksanaannya. Ketenarannya bahkan sampai mengantarkannya ke industri hiburan, menjadi bintang iklan minuman berenergi.
Mbah Maridjan mulai menjadi juru kunci Gunung Merapi pada 1982, setelah ditunjuk Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Tugasnya adalah merawat situs dan menjalankan upacara adat di lereng Merapi. Juru kunci Merapi dipercaya menjadi sosok sentral yang memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan keselamatan lewat pendekatan kultural dan supranatural. Dia memiliki nama lain Raden Ngabehi Surakso Hargo. Saat awan panas erupsi turun dari puncak Merapi tanggal 26 Oktober 2010, Mbah Maridjan menolak dievakuasi.
Dalam wawancaranya dengan Andy F. Noya dalam acara Kick Andy episode “Menonton dengan Hati”, Sultan Hamengkubuwana X pernah ditanya soal Mbah Maridjan yang menolak dievakuasi saat letusan Merapi tahun 2006. Sultan mengatakan, tak pernah memerintahkan Mbah Maridjan agar turun gunung dan mengungsi karena hal itu tidak mungkin dilakukan Mbah Maridjan.
“Sebab, kalau Mbah Maridjan sampai mengungsi, ibarat di dunia militer, itu berarti dia sudah desersi. Saya sangat memahami, buat dia keputusan untuk tetap tinggal di sana (lereng Gunung Merapi) hingga mati lebih berharga daripada mengungsi,” ujar Sri Sultan.
Wawancara tersebut ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta pada awal November 2007. Namun, dalam erupsi 2010, Mbah Maridjan meninggal dunia.

Menurut penuturan wartawan Regina Safitri yang meliput langsung kejadian itu, Mbah Maridjan meninggal pada 26 Oktober 2010 dalam posisi sujud. Kepastian wafatnya diperoleh dari RSUP Dr Sardjito, 27 Oktober 2010 pagi. Jika Merapi mengeluarkan awan panas, kata dia, Mbah Maridjan langsung mengambil posisi sujud.
“Saya tidak tahu alasan ia sujud jika Gunung Merapi mengeluarkan awan panas, mungkin karena kedekatan beliau dengan Merapi. Mbah Maridjan sangat erat hubungannya dengan Merapi, ia sangat menghormati Merapi, ia bahkan tidak suka awan panas disebut wedhus gembel,” kata Regina.
Ada 37 orang warga Dusun Kinahrejo, Sleman—kampung sekitar rumah Mbah Maridjan, yang kini jadi petilasan—yang meninggal dunia karena letusan Gunung Merapi tahun 2010. Ditambah seorang relawan dan seorang wartawan. Nama-nama mereka terpampang di batu marmer Petilasan Mbah Maridjan.
Sisa amuk Merapi masih bisa kita lihat dari hancurnya barang-barang, yang masih terdapat sisa abu vulkanik. Ada perabot rumah tangga, kursi dan meja, sepeda, sepeda motor, gamelan milik Mbah Maridjan, dan satu unit mobil relawan yang menjadi saksi bisu peristiwa itu. Foto-foto peristiwa letusan tertempel di dinding.
Tempat Mbah Maridjan meninggal dengan posisi sujud ditandai dengan petilasan berbentuk mirip makam dan ada foto besar di belakangnya. Petilasan itu dilindungi di bangunan mirip pendopo.
Menurut pemandu, Mbah Maridjan teguh memegang kewajibannya “menjaga” Merapi sehingga dia menolak untuk mengungsi. Sebelum meninggal, kata pemandu, Mbah Maridjan sempat berkata, “Kehormatan seseorang itu dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajibannya.”
Dari Petilasan Mbah Maridjan, jip yang kami tumpangi bergerak menuju Bungker Kaliadem. Tak seperti namanya, “adem”, bungker ini pernah diguyur lava. Kami menuruni anak tangga menuju dalam bungker. Ada tiga ruangan di sini, yakni kamar mandi, gudang, dan ruang tengah yang besar. Di tengahnya ada batu besar, yang katanya sisa lava yang sudah menjadi batu. Jika jari kita ditempelkan ke dinding dalam bungker, bakal ada bekas abu vulkanik yang masih melekat.

Menurut penuturan pemandu, saat erupsi Gunung Merapi 2006, ada dua orang yang berlindung di dalam bungker. Namun, mereka tewas di sana karena suhu yang sangat tinggi hingga 200 derajat Celsius. Bungker ini dibangun pada 2001. Fungsi awalnya memang sebagai tempat berlindung warga. Namun, karena peristiwa letusan tahun 2006, bungker ini tidak lagi digunakan.
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Museum Erupsi Merapi. Kami melewati tanah-tanah kosong yang sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan, rumah-rumah warga yang hancur karena dampak erupsi, dan sebuah sekolah yang sudah tak lagi berpenghuni.
Museum kecil yang awalnya sebuah rumah ini, punya nama asli Omahku Memoriku Merapi. Didirikan pada 2013, museum ini menjadi saksi bisu dahsyatnya amuk Merapi 2010. Di halaman depan, ada dua kerangka sapi yang masih utuh. Masuk ke dalam, ada gamelan dan lukisan wayang milik sebuah sanggar, serta dua unit sepeda motor.
Lebih ke dalam lagi, di ruang tengah, ada kursi dan meja tamu. Di atas meja, ada rangka kelinci yang dilindungi kaca. “Warga di sini, selain beternak sapi, ada juga yang beternak kelinci,” kata pemandu kami.



Dari kiri ke kanan: Bagian belakang Omahku Memoriku Merapi dipenuhi perabot rumah tangga dan galeri foto di dinding, dua unit sepeda motor yang menjadi saksi bisu ganasnya erupsi, dan jam yang menunjukkan waktu erupsi Merapi 5 November 2010/Fandy Hutari
Di bawahnya, ada toples-toples yang menyimpan abu erupsi. Di dinding, terpacak foto-foto letusan Gunung Merapi dari beragam tahun. Ada juga jam dinding besar yang sudah meleleh, bertuliskan “THE MOMENT TIME OF ERUPTION 5 NOV 2010.” Jam itu menunjukkan waktu saat erupsi terjadi pada tanggal tersebut.
Di bagian belakang, ada tabung-tabung gas 3 kilogram. “Dulu sebelum erupsi (Merapi 2010), seminggu sebelumnya itu, ada penyuluhan tabung gas. Jadi, warga dibagikan gas-gas,” tutur pemandu. Di bagian atasnya, ada foto-foto hewan ternak yang terkena awan panas, tetapi masih hidup dan diselamatkan relawan. Ada juga perabot rumah tangga, seperti panci, gentong, gelas, piring, dan ember yang semuanya sudah meleleh. Fosil batu-batu besar sisa erupsi juga dipajang.
Sebelum jip mengantar kami turun, ada warung oleh-oleh persis di depan museum. Kami memesan secangkir kopi khas Merapi sebagai penutup perjalanan kali ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.