Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik pedagang dan pembeli silih berganti mewarnai aktivitas pasar tradisional tersebut setiap harinya.

Harga jual di Pasar Cepogo cenderung lebih murah ketimbang pasar perkotaan. Jika membeli dalam jumlah besar, harga bisa ditawar. Tawar-menawar juga berlaku untuk komoditas lain, seperti buah-buahan dan hewan ternak—saat hari pasaran tiba. Jika mengunjungi Pasar Cepogo pas hari pasaran, jangan terkejut apabila menjumpai berbagai macam dagangan dari bahan pokok hingga peralatan perkebunan.

Para pedagang biasa berjualan dari subuh hingga senja hari. Tidak sedikit dari mereka tak kuat menahan kantuk sehingga tertidur di samping dagangan. Pemandangan yang lumrah terjadi di pasar tradisional. Untuk menyiasatinya, mereka saling bertegur sapa dan membantu menjual barang dagangan satu sama lain. 

Momen-momen Penuh Kehangatan di Pasar Cepogo

Ketika mulai menginjakkan kaki menyusuri gang-gang kecil Pasar Cepogo, saya langsung disambut berjejer kios dengan aneka jenis dagangan. Sekadar lewat tanpa belanja pun tidak masalah. Tiada henti saya menyorotkan mata kamera untuk mengabadikan setiap momen yang sangat berharga.

“Mari silakan, Mas, mau cari apa?” para pedagang menyapa sepanjang jalan dan saling bersahutan tiada henti. Salah satu cara membalasnya adalah cukup dengan tersenyum dan menyapa balik. Begitu saja mereka sudah sangat senang. Tampak sederhana, tetapi belum tentu mudah dilakukan.

Selama menyusuri pasar, saya menyaksikan sesama pedagang tidak ada yang saling iri ketika ada pembeli yang menghampiri salah satu lapak. Batin saya, rezeki sudah ada yang mengatur. Pasti nanti juga laku semua.

Tatkala asyik mengabadikan potret seorang pedagang, tiba-tiba pedagang lain di belakang saya berteriak, “Wah, Mas! Masuk majalah apa ini nanti? Saya juga mau kalau difoto. Gratis kan, Mas?”

“Oh, iya, Bu. Boleh, gratis. Nanti saya masukan majalah Kuncung (majalah jadul)!” jawab saya dengan nada bercanda.

Lensa kamera tak henti merekam setiap tingkah laku si ibu, yang berhasil membuat saya ikut tertawa. Maklum, kehidupan warga desa di pasar tradisional pasti ada saja keunikannya. Di sela-sela obrolan, ibu itu masih sempat bercanda menawarkan sayur mentah kepada saya. 

“Murah, Mas. Seunting (satu ikat) hanya 1.000 rupiah,” ungkapnya dengan aksen bahasa Jawa.

Murah sekali memang. Namun, karena tujuan awal ke Pasar Cepogo untuk jalan-jalan dan memotret, dengan berat hati harus saya tolak tawarannya.

  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali

Setelah puas bercengkerama, saya melangkahkan kaki menyusuri Pasar Cepogo lebih dalam. Sayup-sayup terdengar suara sapi dan kambing berbalas-balasan di sela kebisingan pekerjaan pandai besi. Sejumlah induk sapi dan kambing berjejer memenuhi halaman tengah pasar. Bukan untuk disembelih lalu dijual dagingnya, melainkan dijual dalam bentuk indukan. Para pedagang ternak melakukan itu karena mereka ingin mengembangbiakkan anakan yang dimiliki.

Ongkos perawatan seekor sapi indukan cukup mahal. Tidak sedikit juga sapi atau kambing yang dijual masih produktif. Pedagang sapi indukan biasanya sudah memiliki ikatan bisnis dengan peternak yang kelebihan jumlah sapi indukan.

Saya sempat melihat sedikit keunikan di antara pengunjung. Mereka mengerubungi hewan ternak yang dijajakan. Ternyata, mereka sedang tawar-menawar dan bertanya jenis sapi yang sehat dan baik kepada para pedagang.

“Banyak yang tanya jenis sapi dan minta dicarikan untuk diternakkan. Kalau beli secara langsung dan dibawa pulang sendiri tidak banyak,” ungkap salah satu pedagang.

Harga yang ditawarkan bervariasi, tergantung jenis sapi perah atau pedaging dan seberapa besar ukurannya. Calon pembeli tidak perlu khawatir karena harga yang dipatok masih bisa ditawar. Tak ayal para pengunjung berjubel menyaksikan dan mencari informasi lebih dekat. Proses jual beli diadakan di lokasi, langsung berhubungan dengan pedagang.

Hewan ternak di Pasar Cepogo sebagian berasal dari luar kota Boyolali. Para pedagang pada umumnya melakukan itu demi mengadu keberuntungan. Tidak sedikit dari mereka, ketika hari pasaran ternak tiba, berpindah-pindah dan keliling ke kota lain.

“Jualannya tidak hanya di pasar ini [Cepogo] saja, tetapi juga kota lain. Tergantung situasi kondisi dan harga ternak di pasaran mana yang cocok, itu yang akan kita datangi,” ungkap salah satu pedagang ternak kepada saya.

Obrolan kami terhenti ketika datang salah satu pembeli. Ia menanyakan harga seekor sapi indukan penghasil susu. Tak butuh waktu lama, keduanya intens berbicara mengenai kondisi sapi yang sedang dijual. Ternyata si pembeli adalah warga Desa Sukabumi, Cepogo, yang juga seorang peternak sapi. Ia bercerita sedang mencari anak sapi perah untuk dikembangkan sendiri. 

Kabupaten Boyolali memang menjadi sentra produksi susu sapi. Hampir merata seluruh desa di Boyolali, sehingga terkenal dengan julukan Kota Susu.

Puas melihat jual beli ternak, rasa penasaran yang menggebu membawa saya ke tepi jalan di depan pasar. Di sana aktivitas pedagang tak kalah riuh. Saya melihat kemacetan dan lalu-lalang warga maupun para tengkulak. Silih berganti menghiasi jalan utama penghubung Boyolali dan Magelang.

“Ah, untung saja ada ibu-ibu jualan buah. Coba izin mengabadikan, semoga boleh,” gumam saya sembari tersenyum melihat ibu paruh baya berjualan di pinggir jalan.

Belum sempat meminta izin, si ibu sudah lebih dahulu meminta difoto karena menyadari kamera yang saya bawa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika saya tak henti memotret, tiba-tiba muncul ibu-ibu lain datang menghampiri dan meminta ikut masuk frame kamera.

“Mas! Mbokdhe ikut foto, ya? Masuk TV!” teriak salah satu ibu sambil tertawa dengan aksen bahasa Jawa khas pedesaan.

Ia lantas mengajak kawan lainnya untuk ikut berfoto. Pemandangan ini sudah sangat jarang ditemukan. Meski hanya warga desa, keakraban dan kebersamaan merekalah yang menambah mewah setiap momen. Lagi asyik mengobrol, salah seorang ibu pedagang buah tiba-tiba menyodorkan pisang jualannya.

“Ayo, Mas, sambil dimakan. Adanya cuma pisang,” pintanya. Kan pisang dijual, kenapa diberikan cuma-cuma? Sejatinya pisang yang diberikan kepada saya tidak layak jual karena patah pada bagian tangkai, tetapi masih baik untuk dimakan.

Sebagai sesama orang desa, akhirnya saya terima pisang yang patah tersebut dan berbincang bersama. Ia sempat bilang kalau pisang satu tundun yang dijual harganya 15 ribu rupiah. Murah, matang pohon. Karena matang pohon terlalu lama, tangkai pisang rawan patah. Pisang patah sejatinya juga dijual dengan harga lebih murah. Namun, yang saya makan sejatinya milik si ibu tersebut.

Setelah lega bertukar cerita, waktunya saya pamit dan berterima kasih atas pemberian pisang dari si ibu. Belum sempat berdiri, ia kembali memberikan pada saya tiga buah pisang untuk bekal perjalanan. Sungguh, nikmat Tuhan yang tidak mungkin saya dustakan. Benar-benar saya syukuri.

Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
Senyum kegembiraan terpancar dari ibu-ibu penjual pisang di seberang pasar/Ibnu Rustamadji

Perlu Sinergi untuk Revitalisasi Pasar

Sepanjang jalan penghubung Boyolali–Magelang, persisnya di depan Pasar Cepogo, menjelang siang akan kian ramai dengan lalu lintas kendaraan dari Boyolali ke Magelang dan sebaliknya. Sebagian di antara pengendara tidak hanya sekadar lewat, tetapi juga transaksi jual beli.

Tidak sedikit yang bertransaksi di tepi jalan, karena situasi dan kondisi yang tidak menentu. Jika hari pasaran tiba, dapat dipastikan akses jalan utama akan tersendat. Kendaraan yang hendak menjual hasil panen pun ikut tertahan di pinggir jalan. Meskipun begitu, pemandangan tersebut lazim terjadi di Pasar Cepogo.

Para pengemudi tampak sesekali membuka terpal penutup bak mobil berisi sayuran segar. Tujuannya memastikan tidak ada kerusakan karena bisa menurunkan kualitas dan harga sayur. Salah satu dari pengemudi itu merupakan warga Desa Jrakah, Kecamatan Selo, daerah perbatasan dengan Kabupaten Magelang. Ia mengaku berangkat Subuh guna menghindari penumpukan kendaraan di Cepogo, walau faktanya tetap harus menunggu sampai menjelang siang. 

“Pasar Cepogo ini sentral perdagangan sayur-sayuran areal Merapi–Merbabu. Jadi, para tengkulak kalau beli sayur jumlah besar langsung ke sini. Kita yang dari atas mengumpulkan di sini, jadi mereka tidak perlu mencari sendiri,” jelasnya. 

Sebagai jantung ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Cepogo memberikan nilai lebih untuk kehidupan warga sekitar. Hanya saja, kondisinya terlalu semrawut dan kurang tertata. Tidak adanya kantung parkir dan keterbatasan bidang jalan membuat Pasar Cepogo kerap menyebabkan kemacetan.

Besar harapan saya, Pemerintah Kabupaten Boyolali dan stakeholder terkait mampu bersinergi. Bersama-sama dengan masyarakat menata pengelolaan Pasar Cepogo menjadi lebih baik, sekaligus tetap mampu mempertahankan keramahan orang-orangnya.

Tidak ada yang salah dengan revitalisasi pasar tradisional. Alangkah bijaknya melakukan revitalisasi tanpa menghilangkan keunikan yang sudah ada dan mendarah daging di dalamnya.

Kabut senja mulai mengiringi langkah saya. Memungkasi perjalanan menyusuri denyut kehidupan pasar tradisional Cepogo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar