Perjalanan saya di pengujung tahun 2023 lalu berbeda dari sebelumnya. Kali ini saya memilih menelusuri Museum Radya Pustaka. Museum tertua di Indonesia yang berada tepat di jantung Kota Solo. Tepat di timur Taman Hiburan Rakyat dan lapangan sepak bola Sriwedari.
Sebelum menginjakkan kaki ke halaman museum, tampak sebuah patung berdiri tepat di depannya. Terlihat dari Jalan Slamet Riyadi. Saya bergumam, “Oh, iya [patung] ini kan Raden Ngabehi Ronggowarsito? Betul dugaanku, prasasti makam Johannes Albertus Wilkens pasti ada di sini.”
Patung di depan Museum Radya Pustaka memang merupakan penggambaran sosok Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito, sang pujangga terakhir dari Jawa yang jasadnya dikebumikan di Palar, Klaten. Lantas apa hubungannya dengan Museum Radya Pustaka? Secara singkat, beliau adalah salah satu pionir berdirinya Radya Pustaka.
Tersebut juga nama Johannes Albertus Wilkens. Siapakah dia dan bagaimana hubungannya dengan R. Ng. Ronggowarsito? Inilah yang akan saya telusuri.
Pertama menginjakkan kaki di beranda depan, saya langsung disambut dua arca Hindu berdiri berdampingan. Tidak lama kemudian, muncul dua perempuan muda dari balik meja tamu di sisi kiri beranda. Mereka merupakan pegawai museum yang sedang bertugas mendata pengunjung yang datang. Untuk memasuki Museum Radya Pustaka tidak dikenakan biaya alias gratis. Pengunjung hanya diminta menuliskan identitas dan nomor telepon.
Selesai menulis, saya segera menelusuri areal dalam museum. Tanpa bantuan guide, mata tiba-tiba terfokus pada bagian ruang tengah dengan hiasan dua patung manusia setengah badan.
“Akhirnya ketemu prasasti Johannes Albertus Wilkens, penerjemah kepercayaan R. Ng. Ronggowarsito yang selama ini terlupakan,” pikir saya.
Segeralah saya abadikan detail dan mengirimkannya kepada Hans Boer untuk mengetahui latar belakang tokoh tersebut. Tidak sampai satu hari, kabar gembira datang dari Hans Boer.
Berawal dari Kerkop Carel Frederik Winter di Palar
Sudah cukup lama sebenarnya saya menelusuri kerkop Carel Frederik (C . F.) Winter yang berada tepat di samping pusara sang pujangga di Desa Palar, Kabupaten Klaten. Hanya saja ketika membuka artikel mengenai kedua tokoh tersebut, muncullah nama Johannes Albertus (J. A.) Wilkens yang juga memiliki hubungan dengan keduanya di Kota Solo.
Tiba-tiba rasa penasaran datang bercampur dengan keinginan menemukan jejak J. A. Wilkens. Hingga akhirnya saya putuskan pada suatu Selasa pagi beranjak ke Solo dan mengunjungi Museum Radya Pustaka untuk memecahkan teka-teki tersebut dengan bantuan Hans Boer.
“Akhirnya ketemu di mana makam Albertus Wilkens, Mas?” tanyanya melalui pesan singkat.
“Makam sebenarnya di kerkop Jebres berdampingan dengan C.arel Winter dan orang elit Belanda yang tinggal di Kota Solo kala itu. Medio 1960-an dilakukan penggusuran besar-besaran dan nisan-nisan indahnya turut serta rata dengan tanah. Ada dugaan beberapa di antaranya masih ada, terkubur di bawah rumah warga,” jawab saya.
Nisan prasasti J. A. Wilkens di Museum Radya Pustaka sejatinya reproduksi dari prasasti yang sudah hilang. Tak ayal hanya berisikan inskripsi sederhana. Berikut isi inskripsi nisan yang tersisa:
“Gewijd aan de Nagedachtenis van Johannes Albertus Wilkens, in Leven Ambtenaar Belaast Geweest met de Samenstelling van een Jav. Nederd Woordenboek. Geboren te Gresiq (Res. Soerabaja) den 29 Juli 1813, Overleden te Soerakartaden 19 December 1888.”
Nisan tersebut didedikasikan kepada J. A. Wilkens. Ia adalah seorang pegawai negeri sipil dan penanggung jawab penerjemahan kamus berbahasa Belanda-Jawa. Kelahiran Gresik (Surabaya) pada 29 Juli 1813 dan wafat di Surakarta, 19 Desember 1888.
Hans menambahkan, berdasarkan hasil penelusurannya, J. A. Wilkens merupakan putra dari kepala pengawas gudang garam di Gresik bernama Johannes Wilkens dan sang ibu Helena Diederika Elizabeth Hartog. Lazim kala itu nama ayah disematkan untuk nama putranya.
“Johannes Albertus Wilkens memiliki setidaknya tujuh saudara dan saudari. Mereka tinggal di beberapa negara, termasuk Belanda dan Inggris. Albertus Wilkens dan sang istrinya memilih tinggal di Hindia Belanda,” tambahnya.
J. A. Wilkens memiliki istri bernama Francina Elisabeth Wilkens (lahir: Rosemeier), kelahiran Surabaya, 16 Agustus 1816 dan wafat di Surakarta, 28 Maret 1845. Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.
Sang istri, Francina Elisabeth Rosemeier, anak kandung Coenraad Rosemeier dan Helena Charlotta Crusius. Ia sulung dari 10 bersaudara. Keluarga Rosemeier tinggal di Jalan Embong Wungu, Surabaya. Pernikahan antara Francina Elisabeth dan J. A. Wilkens digelar di kediamannya tersebut.
Sayangnya, umur pernikahan mereka sangat singkat. Pasca Francina Elisabeth Rosemeier wafat, setahun kemudian J. A. Wilkens menikah kembali dengan adik kandung sang istri. Pernikahan juga digelar di kediaman keluarga Rosemeier.
“Sepeninggal sang istri, ia (J. A. Wilkens) menikahi saudari kandung sang istri yang bernama Johanna Rosemeier pada 1846 dan memiliki 2 orang anak,” ungkap Hans.
Karya dan Kiprah J. A. Wilkens
Setelah menikah, J. A. Wilkens dan istrinya tinggal bersama di Kota Surakarta (nama lain Solo), hingga akhir hayat. Hal ini disebabkan J. A. Wilkens bekerja sebagai pegawai negeri di pemerintah Belanda di Surakarta kala itu. Selain sebagai pegawai negeri, beliau juga bekerja sebagai guru bahasa Jawa di Institut Bahasa Jawa Surakarta.
Ketika mengajar di sinilah, beliau bertemu C. F. Winter, sang penerjemah Eropa kepercayaan R. Ng. Ronggowarsito. Karya pertama J. A. Wilkens dan C. F. Winter adalah penyusunan Kamus Etimologi Jawa-Belanda pada 1835.
Di tahun yang sama, J. A. Wilkens diangkat sebagai inspektur kelasi 2 bidang kebudayaan Jawa di Institut Bahasa Jawa hingga 1843. Selain bekerja sama dengan C. F. Winter, beliau juga membantu R. Ng. Ronggowarsito menerjemahkan serat prosa dan babad berbahasa Sansekerta ke bahasa Jawa.
Karya R. Ng. Ronggowarsito dan J. A. Wilkens cukup banyak. Beberapa di antaranya masih relevan hingga saat ini. Salah satunya terjemahan Kitab Bharatayudha, yang hingga kini masih dipentaskan dalam bentuk wayang kulit. Hasil gubahan keduanya. Karya lain berupa prosa, puisi dan serat babad berbahasa Jawa.
Tidak hanya itu, beliau juga terlibat dalam proses penerjemahan perundang-undangan berbahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa. Supaya lebih mudah dipahami oleh seluruh masyarakat Jawa kala itu. Pekerjaan tersebut atas perintah residen Surakarta kala itu, Tuan J. F. W. van Nes.
Setahun kemudian, J. A. Wilkens dan C. F. Winter menerjemahkan kamus bahasa Jawa ke bahasa Jerman-Belanda hingga selesai pada 1848. Tidak lama setelahnya J. A. Wilkens mendapat tawaran bekerja sama dengan Profesor Roorda di Delft.
Beliau menerima tawaran penerjemahan naskah Jawa ke bahasa Belanda tersebut. Pekerjaan itu ia selesaikan selama tiga tahun di Delft. Tidak lama kemudian J. A. Wilkens kembali ke Hindia Belanda (Indonesia kala itu), dan bekerja kembali bersama C. F. Winter hingga Winter wafat pada tahun 1859.
Pasca wafatnya sahabat sekaligus guru dari J. A. Wilkens tersebut, pekerjaan menerjemahkan naskah Jawa di Surakarta ia lanjutkan hingga pensiun pada 1883. Selama lima tahun ia menghabiskan masa pensiun di kota yang dialiri Sungai Bengawan Solo itu.
“Tanggal 13 Desember 1888, Johannes Albertus Wilkens tutup usia di umur 75 tahun di Kota Surakarta,” ungkap Hans.
Pemakaman dilakukan di kerkop Jebres, dihadiri pejabat pemerintah Belanda, perwakilan Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran, dan rekan sejawat dari Institut Bahasa Jawa Surakarta. Prosesi pemakaman diawali sambutan perwakilan keluarga, lalu dilanjutkan pidato perwakilan rekan sejawat.
Salah satu rekan yang memberikan penghormatan dan sambutan terakhir adalah Prof. A. C. van Vrede. Dalam sambutannya, melalui data milik Hans, menyatakan sebagai berikut:
“Sosok Johannes Albertus Wilkens, merupakan priyayi Jawa berdarah Belanda yang menjunjung tinggi kebudayaan Jawa selama hidupnya.”
Tak ayal beliau mendapat tempat istirahat berdampingan dengan C. F. Winter, yang notabene penerjemah kepercayaan R. Ng. Ronggowarsito. Meskipun semasa hidup antara J. A. Wilkens, C. F. Winter, dan R. Ng. Ronggowarsito memiliki masa lalu yang pelik.
Ketika R. Ng. Ronggowarsito wafat, C. F. Winter dan J. A. Wilkens datang melayat dalam pemakaman. Begitu juga ketika C. F. wafat, J. A. Wilkens hadir. Meski sudah didahului tiga sahabat sebelumnya, pemakaman J. A. Winter tetap digelar cukup mewah.
Makam ketiganya tentu terbilang mewah untuk ukuran zaman itu, dibandingkan dengan kondisi saat ini. Minimal pada masanya berbentuk monumen berhias marmer dan simbol-simbol kehidupan. Lantas apa hubungan ketiga orang tersebut dengan Radya Pustaka?
Museum Radya Pustaka, selain menyimpan benda-benda peninggalan VOC dan Mataram Kuno, juga memelihara naskah-naskah berbahasa Jawa, Sansekerta, dan berbahasa Palawa. Peninggalan VOC dan Mataram Kuno merupakan hibah dari keluarga Keraton Kasunanan Surakarta yang dahulu menerimanya dari negara sahabat.
Adapun naskah-naskah kuno tersebut merupakan hasil karya J. A. Wilkens, C. F. Winter, dan R. Ng. Ronggowarsito. Untuk dapat mengakses, pengunjung harus datang langsung ke perpustakaan di dalam museum. Tepat di ruang kamar sebelah kiri dari pintu utama, yang dulunya kamar tidur keluarga Johannes Busselar, pemilik awal gedung sebelum menjadi museum.
“Johannes Busselar, [adalah] kapten infanteri militer KNIL Kota Surakarta, tetapi pertengahan 1909 ia dipindahtugaskan ke Jember hingga wafat 1913,” tambah Hans.
Setelah Johannes Busselar dan istri pindah, kediamannya dibeli oleh Patih Raden Tumenggung (R. T.) Sosrodiningrat IV atas perintah Sunan Pakubuwana IX. Kemudian berfungsi sebagai gedung Radya Pustaka yang baru, menggantikan gedung di Kepatihan Surakarta yang telah rusak parah.
Radya Pustaka berdiri sejak 28 Oktober 1890 atas prakarsa R. T. Sosrodiningrat IV dan Sunan Pakubuwana IX. Meledaknya geger Kepatihan Surakarta pada 1909 memaksa sang patih dan Radya Pustaka hengkang. Hingga akhirnya menempati gedung saat ini dan sang patih tinggal di Ndalem Wuryoningratan yang terletak di sebelah timur Radya Pustaka.
Patung R. Ng. Ronggowarsito di halaman depan diresmikan pada 1951 oleh Ir. Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, sebagai wujud penghormatan terhadap pujangga terakhir Jawa dari Surakarta. Patung C. F. Winter dan J. A. Wilkens pun berdiri sejajar di dalam Museum Radya Pustaka. Semoga karya mereka abadi, serta banyak generasi muda yang mampu dan mau meneruskan perjuangan mereka menjaga warisan budaya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.