Menyejukkan Hati di Masjid Lautze 2

Siang itu, ada tempat yang semestinya aku tuju, namun ternyata langkahku tak membuahkan hasil. Karenanya aku segera putar arah dan mataku tertuju ke sebuah bangunan unik dengan warna merah dan kuning yang dominan. Bangunan tersebut tampak unik dan menarik. Gedung ini berada di depan patung pemain PERSIB di Jalan Tamblong No. 25 Kota Bandung. Di depannya terlihat lampu lampion, menandakan bahwa gedung ini sebuah bangunan bernuansa budaya Tionghoa. Hingga hal itulah yang membuat aku semakin penasaran untuk mendatanginya dan ingin lebih tahu apa yang ada di dalamnya. 

Sekilas, bisa jadi orang yang baru pertama kali melihatnya akan menyangka gedung tersebut  hanyalah sebuah ruko atau kantor. Tetapi jika dicermati lebih dekat ternyata di depan gedungnya ada bentuk kubah yang menandakan bahwa tempat tersebut merupakan tempat ibadah. Jelas demikian adanya karena pintu masuk ke dalam masjid mirip dengan pintu masuk sebuah gedung perkantoran. Unik, memang. Tidak seperti bangunan masjid pada umumnya. Namun hal tersebut tak pernah mengurangi kesakralannya untuk beribadah. 

Masjid Lautze 2
Masjid Lautze 2/Deffy Ruspiyandy

Menyusuri Masjid Lautze 2, Bandung

Gedung ini adalah Masjid Lautze 2. Berada di kawasan yang strategis, banyak karyawan di kantor-kantor terdekat beribadah kemari kala waktu salat Dzuhur dan salat Ashar tiba. Saat hari Jumat, tak jarang jalan di depannya ditutup untuk dialihfungsikan sebagai tempat salat Jumat.

Sementara, berdasarkan cerita dari seseorang yang ditugaskan menunggu masjid tersebut, demi keamanan, masjid akan dikunci saat malam tiba, dan dibuka kembali ketika subuh. Lalu, ada berbagai kegiatan kajian keislaman yang berlangsung setiap hari Minggu. Geliat ini memperlihatkan bahwa Masjid Lautze 2 ini tidak sepi dari kegiatan keagamaan wajib dan juga tempat untuk menimba ilmu agama.

Berdasarkan literatur yang ada, masjid Masjid Lautze 2 didirikan oleh Haji Karim Oei pada tahun 1997. Lalu diberi nama Masjid Lautze 2 karena ada masjid pertama yang ia dirikan berada di Jakarta. Tempat ini tak sekedar menjadi tempat ibadah, namun juga sebagai tempat bagi siapa saja yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama Islam. 

Jadi sebagai warga Bandung aku merasa bangga dan bersyukur dengan adanya Masjid Lautze 2, terlihat akulturasi dan keberagaman budaya. Masjid Lautze 2 pun menjadi sarana bertemunya orang-orang tanpa melihat latar belakang dan suku mereka. Di tempat ini aku melihat persaudaraan tercipta begitu erat, tak ada pembeda lagi karena semangat kebersamaan selalu tercipta di dalamnya.

Diketahui, masjid ini telah mengalami renovasi pada tahun 2004 dan 2007 dengan menunjuk arsitek asal ITB Umar Widagdo untuk memperkuat arsitektur Tionghoa di beberapa titik bangunan. Bangunan masjid juga diperluas, bahkan terdapat ruang singgah untuk para musafir.

Tak bisa kupungkiri, memasuki Masjid Lautze 2 seolah kita sedang berada di negeri tirai bambu, nuansa dan ornamen budaya Tionghoa cukup kuat. Namun bagiku, itulah yang membuat semakin betah berlama-lama di sana. Tempat ini membuat hati makin sejuk, mungkin karena akulturasi budaya yang ada. Padahal siang itu, di dalamnya sedang dilakukan pemugaran bagian toilet untuk memperluas tempat salat. Kulihat pula tumpukkan brangkal dalam karung di dalam gedung itu.

Saat waktu Dzuhur tiba kudengar lantunan adzan dari seorang muadzin, seorang keturunan Tionghoa. Di dalam ruangan itu kemudian orang-orang pun memenuhi saf yang ada dan salat berjamaah. Karena pandemi COVID-19 ini pula, lantai masjid diatur sedemikian rupa supaya jemaah bisa menjaga jarak satu sama lain. Protokol kesehatan pun diperhatikan dengan sangat.

Di depan masjid, tak jarang orang berlalu lalang, atau sekadar berdiam diri menikmati suasana jalan. Di sana aku bisa melihat gedung-gedung, mobil motor yang melintas, orang-orang yang berjalan dan beragam aktivitas lainnya. Satu perjalanan tak terduga, siang hari itu.

Dari sini aku makin memahami, jika kehidupan di atas dunia ini beraneka ragam, ada berbagai budaya di dalamnya. Masjid Lautze adalah salah satu bentuk akulturasi yang nyata, dimana komunitas Tionghoa dan masyarakat lokal menjalin keakraban dan kebersamaan sejak masjid ini berdiri. Intinya, dengan mengunjungi masjid ini sama artinya kita bersilaturahmi atau berkunjung menemui saudara sesama hamba Tuhan.

Tinggalkan Komentar