Travelog

Menyambangi Gedung Sate Menjelang Momen Puncak Reformasi 1998

Mei, 1998. Di ruang depan sebuah rumah seluas 90 meter persegi, di salah satu sudut Kota Bandung, aku dan sejumlah kawanku memelototi televisi 17 inci. Yang kami tonton petang itu adalah acara laporan langsung aksi demo mahasiswa di ibukota Jakarta.

Sejatinya, tak cuma di Jakarta, di kota-kota lainnya, para mahasiswa juga melakukan aksi yang sama. Tak terkecuali di Kota Kembang, Bandung. Khusus demo-demo mahasiswa di Bandung, aku ikuti perkembangannya dari adikku yang saat itu masih kuliah di sebuah perguruan tinggi partikelir, dan sudah beberapa hari pulang malam setelah mengikuti aksi demo di Gedung Sate. Aku juga memantau terus siaran radio Ganesha dan juga Mara FM, yang getol memantau kondisi terkini dari lapangan terkait perkembangan aksi-aksi demo mahasiswa se-Bandung Raya.

Sejak hari pertama para mahasiswa Bandung turun ke jalan berdemo, aku sendiri sesungguhnya ingin ikut juga turun ke jalan. Bukan untuk ikut berdemo bersama mereka, tetapi sebatas ingin mengabadikan aksi-aksi mereka. Cuma, karena urusan pekerjaan yang belum bisa kutinggal, keinginan tersebut masih belum terlaksana. 

Ketika tanggal 12 Mei 1998 tersiar kabar peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan pasti menyulut aksi demo mahasiswa yang kian besar dan meluas, malam hari menjelang tidur, aku bertanya kepada adikku soal agenda dan lokasi demo mahasiswa se-Bandung Raya untuk esok hari.

Ia mengatakan bahwa lokasi utama demo tetap sama yakni di Gedung Sate. Ia menambahkan bahwa untuk keamanan, para mahasiswa lebih dulu berkumpul di kampus masing-masing baru kemudian menuju Gedung Sate.

Mahasiswa menggunakan bus DAMRI ke Gedung Sate, Mei 1998/Djoko Subinarto

Keesokan harinya, berbekal kamera Pentax Spotmatic dan satu lensa fixed 200 mm, serta satu rol film Konica XG asa 100, aku pun meluncur ke stasiun KA Cimahi. Aku membeli tiket KRD lokal, tujuan stasiun Bandung. Dari Cimahi, perlu waktu 20 menit untuk sampai di Bandung. Lebih cepat ketimbang naik angkot yang bisa memakan waktu hingga satu jam, bahkan bisa lebih, terutama ketika angkot lebih sering ngetem atau terjebak macet.

Pagi itu, untuk menuju Gedung Sate dari Stasiun KA Bandung, aku terpaksa berjalan kaki. Sejak mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi demo di Bandung, sejumlah pengemudi angkot memilih mengubah sebagian rute perjalanannya untuk menghindari terjebak iring-iringan mahasiswa yang akan menuju Gedung Sate. Bahkan, tak sedikit pengemudi angkot, untuk rute-rute tertentu, yang memilih tidak beroperasi, terutama setelah pukul 09.00 hingga petang hari.

Bagiku, hal ini tidak terlalu masalah. Jarak Stasiun Bandung ke Gedung Sate toh tidak terlalu jauh. Lagian aku bisa mengambil jalan potong kompas yang membuat jarak tempuh lebih singkat.

Mahasiswa berkumpul di Gedung Sate, Mei 1998/Djoko Subinarto

Siang itu, kebetulan pula agak mendung, sehingga perjalananku dari Stasiun KA Bandung menuju Gedung Sate terasa lebih nyaman. Sebelum pukul 10.00, aku sudah tiba di Gedung Sate. Di sisi selatan Lapang Gasibu, yang menghadap Gedung Sate,  terlihat beberapa kelompok mahasiswa. Begitu pula di depan Gedung Sate. Aku memilih mengamati dahulu situasi sekitar. 

Kulihat tak ada penjagaan mencolok dari petugas keamanan, dalam hal ini aparat kepolisian. Di halaman Gedung Sate, hanya petugas keamanan dalam Gedung Sate saja yang berjaga-jaga. Gerbang Gedung Sate terbuka lebar. Para mahasiswa dapat keluar-masuk area Gedung Sate dengan bebas.

Saat aku berdiri di pintu barat Gedung Sate, tak jauh dari Gedung DPRD, tiga bus DAMRI meluncur dari arah timur. Penumpangnya para mahasiswa. Sebagian diantaranya duduk di bagian atap bus DAMRI. Ketiga bus DAMRI itu langsung masuk ke halaman Gedung Sate, para mahasiswa yang telah lebih dulu berada di Gedung Sate serempak menyambut kedatangan mahasiswa dari bus DAMRI itu dengan sejumlah yel-yel. 

Mahasiswa di depan Gedung DPRD Jabar, Mei 1998/Djoko Subinarto

Berselang beberapa menit kemudian, dua bus DAMRI lain datang menyusul. Halaman Gedung Sate pun kian dipenuhi para mahasiswa. Beberapa mahasiswa terlihat membawa karangan bunga, sebagai tanda duka cita gugurnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Aku berbaur dengan mereka. Dari halaman tengah Gedung Sate, aku bergeser ke sisi timur. Di sebelah barat Gedung Sate, tiga mahasiswa tampak berdiri di atas atap gedung DPRD Jawa Barat. 

Sementara itu, di depan Gedung DPRD, beberapa tokoh mahasiswa bergiliran menyampaikan orasi dengan berapi-api. Usai orasi dilakukan, para mahasiswa yang hadir diminta merapatkan barisan. Dari halaman Gedung Sate, peserta demo bersiap melakukan long march menuju Gedung Merdeka. Rute yang dilewati yaitu Jalan Diponegoro, Jalan Sulanjana, Jalan Ir.H.Juanda, Jalan Merdeka, Jalan Lembong, Jalan Tamblong, dan Jalan Asia-Afrika.

Sejurus kemudian para mahasiswa itu bergerak keluar dari halaman Gedung Sate, menuju barat. Sambil berjalan beriringan dalam barisan, beberapa mahasiswa, terutama yang di bagian depan mengacung-acungkan sejumlah poster dan banner. Salah satu poster berisi tulisan berbunyi “Revolusi Harus Terjadi.” 

Tatkala rombongan mahasiswa memasuki kawasan Dago, aku memilih berjalan mendahului mereka. Suasana Dago saat itu sunyi. Kantor-kantor sepanjang Jalan Dago memilih tutup. Polisi tampak terlihat berjaga-jaga di depan kantor atau objek-objek vital lainnya.

Begitu juga di Jalan Merdeka. Di depan Bandung Indah Plaza (BIP) sejumlah polisi terlihat berjaga-jaga. Aku berlari kecil dan naik ke jembatan penyeberangan yang tak jauh dari perempatan Jalan Aceh dan Jalan Merdeka. Dari atas jembatan penyeberangan itu, aku sempat ambil beberapa foto saat barisan mahasiswa berjalan ke arah selatan.

Setelah kelar mengambil gambar, aku bergegas ke Stasiun KA Bandung dan kemudian memilih segera pulang ke Cimahi. Perkembangan demo mahasiswa di Bandung hari itu aku tetap ikuti lewat siaran radio serta dari cerita adikku.

Yang membuat aku merasa lega selama aksi-aksi demo mahasiswa di Bandung pada Mei 1998 adalah tidak terjadinya huru-hara dan kekerasan seperti di kota-kota lainnya. Hingga Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998, Bandung relatif aman. Tidak ada kerusuhan massal seperti di Jakarta, Solo, atau juga Makassar.

Mei 1998 sendiri disebut-sebut sebagai bulan yang menjadi momen puncak Reformasi. Tentu saja, motor penting gerakan Reformasi ini adalah mahasiswa. Disokong oleh para aktivis dan kelompok-kelompok pro-demokrasi, mereka menyerukan tuntutan rakyat — yang kemudian dikenal dengan sebutan Tritura Reformasi, yakni (1) turunkan harga sembilan bahan pokok (sembako); (2) hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; dan (3) turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Berjalan di Bawah Flyover Pasupati Bandung