Belum pudar ingatan kita tentang tragedi berdarah di Negeri Serambi Mekah, Nanggroë Aceh Darussalam. Konflik panjang lebih dari tiga dekade di sana telah mengubah segalanya. Konflik-konflik lainnya lahir, baik vertikal maupun horizontal, menyisakan kepedihan yang masih tersisa di setiap sudut kota.

Ribuan orang menjadi korban. Lainnya mengungsi ke berbagai penjuru, ke mana pun, asal bisa hidup dengan tenang.

Kontras dengan tetangganya, di areal hutan negara yang dikelola Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) suasana begitu tenang. Harimau sumatera berkeliaran di habitat terakhirnya. Orangutan bercengkerama ramah dengan sesama. Berbagai jenis burung terbang dengan riang dan bebas. Sungai-sungai besar mengalir membelah pegunungan megah.

Jadi tameng aktivitas ilegal

Lalu, apa hubungan antara TNGL dengan konflik yang terjadi di Aceh? Begini ceritanya.

Berdasarkan catatan, sejak tahun 1999 para pengungsi dari Aceh mulai berdatangan ke kawasan TNGL. Mereka eksodus ke Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Taman Nasional Gunung Leuser

Ekosistem Leuser yang masih hijau dan asri via instagram.com/kakikukaku_

Awalnya hanya ada enam kepala keluarga. Kini jumlahnya sudah mencapai hampir seribu kepala keluarga—jumlah yang cukup untuk mengubah kawasan hutan menjadi areal perkebunan. Tak ayal, konflik horizontal dengan masyarakat sekitar tidak dapat dihindarkan. Parahnya, kondisi ini dijadikan tameng oleh para perambah untuk melakukan aktivitas ilegal di kawasan taman nasional. Dari sinilah cerita konflik lahan di Besitang dimulai.

Konflik lahan juga terjadi antara Taman Nasional Gunung Leuser dengan dua perusahaan perkebunan sawit, yakni Perkebunan PIR … dan PT ….¹ Sebagian areal konsesi kedua perusahaan ini disinyalir masuk dalam kawasan taman nasional.

Akhir tahun 2006 Balai TNGL melakukan rapat dengan Kapolda Sumatera Utara dan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Pada kesempatan itu Kakanwil BPN mengatakan bahwa jika sebagian dari tanaman kelapa sawit kedua perusahaan tersebut terbukti masuk kawasan maka BPN akan membatalkan sertifikat dan hak guna usaha (HGU).

Senada dengan konflik sebelumnya, hal ini juga dijadikan alasan oleh para perambah untuk melakukan aktivitasnya. Ahtu Trihangga, penyuluh sekaligus staf Seksi Perlindungan, Pengawetan, dan Perpetaan Balai TNGL, menjelaskan hal ini secara rinci.

“Adanya perusahaan itu seolah-olah jadi pembenaran buat mereka, sampai mereka bilang jika perusahaan boleh beraktivitas di kawasan taman nasional kenapa kami tidak?” tuturnya penuh semangat. Luas hutan yang rusak akibat perambahan diperkirakan mencapai lebih dari 600 hektare.

Langkah penyelesaian

Menanggapi situasi ini, Taman Nasional Gunung Leuser telah melakukan berbagai langkah penyelesaian. Upaya preventif, persuasif, pre-emtif maupun represif telah dilakukan, namun belum dapat menyelesaikan konflik ini.

Taman Nasional Gunung Leuser

Jeram-jeram kecil di Taman Nasional Gunung Leuser via instagram.com/kakikukaku_

Sejak tahun 2002 hingga 2009, TNGL bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait berupaya melakukan relokasi terhadap warga perambah. Namun, hanya sebagian kecil yang secara sukarela mengikuti program itu. Sebagian lainnya tetap bertahan di areal TNGL.

Tak ketinggalan, operasi pengamanan hutan dengan melibatkan aparat berkali-kali dilakukan. Tahun 2006, Operasi Hutan Lestari yang melibatkan Polda Sumut berhasil mengeluarkan 33 kepala keluarga serta membebaskan 50 hektare tanaman sawit. Satu tahun kemudian, dengan membawa sebuah ekskavator, 100 hektare tanaman sawit milik perambah berhasil dimusnahkan.

Puncaknya, pada pertengahan tahun 2011 Balai Taman Nasional Gunung Leuser melakukan operasi besar-besaran. Operasi Hutan Lestari dilaksanakan dengan melibatkan 1.500 anggota dari berbagai unsur, baik Polri, TNI, maupun pemerintah daerah setempat.

Namun, rupanya kegiatan ini sudah terendus. Ketika tiba di lokasi, ratusan masyarakat yang melengkapi diri dengan berbagai senjata tajam telah siap melakukan pengadangan. Aksi anarkis tak terhindarkan sehingga terjadi kekacauan.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, delapan anggota masyarakat terkena tembakan peluru karet. Untuk menghindari aksi kekerasan lebih lanjut, kegiatan yang rencananya dilaksanakan selama tiga hari itu diurungkan.

Terus melakukan pendekatan

Pada akhir tahun yang sama, Taman Nasional Gunung Leuser kembali melakukan operasi serupa dengan terlebih dahulu melakukan penyuluhan kepada masyarakat perambah.

Tim gabungan antara Polisi Kehutanan dan TNI melakukan pendekatan selama tiga bulan secara terus-menerus. Hasilnya, 1.600 hektare lahan sawit berhasil dimusnahkan. Namun, pekerjaan rumah Balai TNGL belum selesai. Masih banyak para perambah yang belum berhasil dikeluarkan.

Taman Nasional Gunung Leuser

Sebuah sungai menembus TNGL via instagram.com/kakikukaku_

Menurut penuturan Ahtu, tidak mudah melakukan pendekatan kepada mereka. “Tidak mudah bagi kami untuk masuk ke sana. Bahkan, Kepala Balai kami sudah dianggap musuh oleh mereka,” terangnya.

Namun, Andi Basrul, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, tidak gentar dan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan kasus perambahan di seluruh kawasan TNGL.

Langkah penyelesaian tetap mengedepankan solusi yang terbaik untuk semua. Siapa pun tidak ingin kekerasan terjadi. Semoga iktikad baik semua pihak dapat melahirkan hasil yang baik juga. Masyarakat dapat hidup aman dan sejahtera, belantara Leuser bisa terus terjaga kelestarian fungsinya.


[1] Nama perkebunan dan perusahaan disamarkan (25/12/17)—ed.

Tinggalkan Komentar