Ada harapan besar masyarakat adat Namblong pada sulur-sulur bunga vanili yang tumbuh menjalar. Perlu komitmen bersama agar usaha perkebunan vanili rakyat tetap produktif dan berkelanjutan, demi menuju kemandirian ekonomi.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri
Hampir sebagian besar masyarakat adat suku Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua sudah terbiasa membudidayakan vanili (Vanilla planifolia) secara organik. Tanaman yang termasuk dalam famili anggrek (Orchidaceae) ini dikenal karena menghasilkan bubuk vanili sebagai bahan baku aroma atau perisa pada makanan dan minuman.
Di wilayah adat Namblong yang mendiami Lembah Grime—mencakup Distrik Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong—secara umum vanili tidak dibudidayakan dalam perkebunan skala besar. Meskipun begitu, komoditas mahal tersebut melengkapi kakao yang sebelumnya pernah menjadi sumber ekonomi unggulan karena berkualitas ekspor.
Biasanya, petani vanili menyetor hasil panen basah ke Koperasi Serba Usaha (KSU) Nimboran Kencana. Namun, sebagai pengepul—dan mungkin jadi satu-satunya di sana—koperasi tersebut membeli vanili basah dengan harga yang fluktuatif untuk semua ukuran per kilogramnya. Baik vanili yang berkualitas bagus maupun yang kurang pun dibeli dengan satu harga yang sama. Skema jual beli—permainan harga—seperti ini jelas merugikan petani. Akibatnya, beberapa petani kecil merasa kecewa dan malas untuk membudidayakan vanili lagi. Tidak sedikit pula ditemukan bekas lahan vanili yang telantar dan sudah tidak produktif.
Kondisi itulah yang turut mendasari pendirian Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Pembentukan BUMMA merupakan inisiatif dan kolaborasi bersama antara Mitra BUMMA, Samdhana Institute, masyarakat adat Namblong. Kelembagaan ini hadir sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mengelola sumber daya alam hulu–hilir berbasis adat dan berkelanjutan. Pada 30 September 2024 lalu, BUMMA resmi menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan kepemilikan saham berada di tangan 44 Iram (pemuka atau pemimpin marga) suku Namblong.
Nicodemus Wamafma (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, menegaskan vanili jadi prioritas pertama pengembangan bisnis BUMMA. Lahan-lahan dan sebaran tanaman vanili yang ada perlu dimaksimalkan kembali. “Sebab, sudah ada aktivitas [budi daya] yang betul-betul berjalan [sejak lama],” kata pria berdarah Biak yang biasa disapa Niko itu.
Vanili, si emas hijau yang manja
Vanili bukan tanaman asli Indonesia. Manusia pertama di dunia yang menemukannya adalah suku Aztec di pedalaman Meksiko pada abad ke-15. Di masa itu, vanili dimanfaatkan sebagai pewangi minuman cokelat. Vanili kemudian berkelana keliling dunia, khususnya Eropa, yang fungsinya berkembang menjadi penambah rasa dan aroma untuk makanan dan minuman, alkohol, tembakau, dan parfum.
Di Indonesia, vanili baru masuk pada 1819 lewat botanis Belanda, Prof. Dr. Reinwadt. Dari semula untuk bibit koleksi Kebun Raya Bogor, kemudian berhasil dibudidayakan kali pertama di Jawa. Namun, dalam setengah abad kemudian menyebar luas ke Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Pada 2020, organisasi pangan dunia (FAO) menyebut Indonesia merupakan negara produsen vanili terbanyak kedua di dunia (2.306 ton) setelah Madagaskar (2.975 ton). Keduanya menopang hampir tiga perempat produksi vanili global.
Di pasar dunia, harga vanili kering berkualitas—khususnya yang dihasilkan melalui pertumbuhan secara alami—bisa menembus kisaran angka sedikitnya 1–3 juta rupiah per kilogram. Kira-kira setara atau bahkan melebihi nilai dari satu gram emas, sehingga vanili kerap disebut “emas hijau”. Selain aroma yang lebih kaya dibanding vanili sintetis, vanili organik dihargai mahal karena prosesnya yang rumit dan memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk menghasilkan buah.
Vanili biasa tumbuh di tanaman gamal—sejenis perdu—atau media tanam sederhana, seperti batang kayu atau tiang penyangga sebagai tempat rambatan vanili yang tumbuh horizontal ke atas. Meskipun putik dan serbuk sari berada dalam satu kelopak bunga, proses penyerbukannya tetap melibatkan tenaga manusia. Sebab, putik pada bunga vanili terhalang oleh lidah bunga (labellum), sedangkan bagian kepala sari terletak lebih tinggi daripada kepala putih. Petani harus menempelkan secara manual tepung sari ke atas kepala putik yang memiliki kandungan cairan perekat. Dari situ baru bisa terjadi pembuahan.
Bunga vanili yang telah mekar hanya mampu bertahan satu hari saja. Jika tidak segera dikawinkan, bunga akan layu dan rontok seketika. Bahkan apabila terjadi kesalahan saat mengawinkan putik dan serbuk sari, semisal kepala putik jatuh ke tanah, maka tidak akan terjadi pembuahan.
“Kalau sampai gagal, maka saya harus menunggu sembilan bulan lagi supaya vanili bisa berbunga,” ujar Yonas Yaung (40), petani vanili anggota mitra BUMMA Yombe Namblong Nggua. Belum lagi vanili yang gugur secara alami karena penyerbukan kurang sempurna.
Yonas memiliki lebih dari 800 pohon vanili di lahan seluas 150 meter persegi di Kampung Sarmai Atas, Distrik Namblong. Bisa dibayangkan berapa lama ia berkeliling setiap pagi dalam satu hari untuk mengontrol perkembangan bunga vanili. Senjatanya hanya satu: sebatang tusuk gigi atau jarum. Satu tangan membuka bunga yang muncul dari ketiak daun di ujung batang, satu tangan lagi melekatkan putik-serbuk sari dengan alat tersebut. Itu pun belum menjamin satu bunga akan menghasilkan bakal buah yang diharapkan.
Salah satu indikator pembuahan berhasil adalah warna bunga vanili akan berubah lebih pucat. Buah vanili akan mencapai kematangan optimal setelah beberapa bulan. Dari yang semula hijau, lama-lama akan berwarna cokelat tua dan mengeluarkan aroma harum. Hasil panen buah vanili yang masak inilah yang disebut vanili basah. Di Lembah Grime, rata-rata puncak musim panen vanili berlangsung pada bulan Agustus.
Yonas mempraktikkan cara mengawinkan vanili yang sudah berbunga/Deta Widyananda
Ribka Waibro (60), petani sekaligus manajer divisi vanili BUMMA, mengaminkan kalau merawat vanili itu gampang-gampang susah. Gampang, karena budi dayanya organik tanpa obat macam-macam. Susah, karena seorang petani vanili harus meluangkan waktu dan tenaga ekstra, terutama masa-masa berbunga dan siap untuk dikawinkan secara generatif.
“Vanili itu tanaman manja,” seloroh Mama Ribka—sapaan akrabnya. Meski terhitung cukup baru mengenal budi daya vanili, tetapi ia cepat belajar dan mampu mengenal proses budi daya vanili dengan baik. Sebelumnya Mama Ribka lebih banyak berkebun pinang.
Mama Ribka terbilang sosok perempuan lokal yang progresif di Lembah Grime. Ia optimis dengan masa depan vanili Namblong, terutama karena keberadaan BUMMA yang mendukung petani lokal dan terbuka untuk kolaborasi ekonomi berbasis masyarakat adat. Pembawaannya yang ceria, jenaka, dan luwes membuatnya mudah berbaur dengan masyarakat. Terutama saat turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi BUMMA sebagai mitra bisnis dan pembeli vanili basah paling potensial di Lembah Grime.
Kepercayaan Mama Ribka pada prospek BUMMA dibuktikan dengan kerelaannya menyediakan lahan kosong di samping kediamannya untuk dibangun rumah pengeringan (dry house) vanili. Rumah pengeringan itu hingga per September 2024 kemarin sekaligus menjadi bangunan kantor dan sekretariat BUMMA Yombe Namblong Nggua.
Adil dan berkelanjutan dengan sistem grading
Pengalaman pahit masyarakat saat berurusan dengan koperasi pengepul vanili tidak ingin diulang oleh BUMMA. Ketika BUMMA hadir di tengah masyarakat, para petani vanili hanya meminta satu hal mutlak terhadap tanaman mereka: harga wajar dan stabil. Intinya, ada garansi ekonomi atas jerih payah petani membudidayakan vanili.
Untuk itulah BUMMA menerapkan sistem grading atau pemeringkatan dengan standar harga yang tetap per kilogram. Ada tiga tingkat atau kelas (grade) untuk mengelompokkan vanili basah yang dibeli dari petani setempat. Indikator utamanya adalah ukuran (panjang) vanili, Grade A (18 cm ke atas) Rp17.500/kg, Grade B (15–17 cm) Rp12.500/kg, dan Grade C (10–14 cm) Rp10.000 per kg.
Pada kuartal pertama tahun ini, tercatat BUMMA sudah membeli 56,7 kg vanili basah dari 27 petani. Rincian tingkatannya sekitar 23,5 kg Grade A, 17,2 kg Grade B, dan 16 kg Grade C. Total pembelian mencapai 7,8 juta rupiah. Masing-masing petani membawa hasil panen beragam, paling sedikit 0,6 kg dan paling banyak 13,9 kg.
Angka itu diharapkan bertambah, baik dari sisi jumlah petani maupun produksinya. Menurut Yohana Yokbeth Tarkuo (29), Direktur BUMMA Yombe Namblong Nggua, pihaknya berharap secara bertahap menargetkan bisa membeli 200 kg vanila basah secara reguler setiap bulannya. Yang jelas, berapa pun kilogram yang terbeli akan sangat berarti bagi petani.
Kepastian harga berdasarkan sistem grading tersebut menepis kekhawatiran petani vanili soal siapa yang akan membeli hasil panen mereka. Dampaknya, para petani akan semangat melanjutkan eksistensi budi daya vanili di wilayah adat Namblong. Soal pemasaran atau mencari pembeli selanjutnya adalah tugas BUMMA.
Maka, keberadaan rumah pengeringan vanili menjadi amat krusial. Meskipun sederhana, setidaknya BUMMA telah berupaya mengoperasikannya sesuai standar yang berlaku. Tantangannya sejauh ini mencakup kapasitas penyimpanan yang terbatas dan masa simpan yang pendek, biasanya 1–2 tahun jika kondisi ruang dan perlakuan penyimpanan bagus.
Sebagai upaya mendukung pemasaran vanili, Mitra BUMMA menyediakan halaman khusus sebagai lokapasar vanili Namblong di situs web resminya: www.mitrabumma.com/vanilla. Informasi terakhir, tersedia prapesan untuk vanili kering hasil panen 2023 lalu dengan varietas benih planifolia yang sangat aromatik, bercita rasa seperti buah kering, pala, dan jeruk bali. Pemanfaatannya bisa untuk bahan baku makanan atau minuman, baik dengan biji maupun ekstrak. Kisaran harganya mulai dari Rp250.000 untuk berat 10 gram. Semakin banyak yang dibutuhkan semakin mahal.
Niko pun berharap agar petani Namblong bisa tekun merawat dan meningkatkan kapasitas pemahaman budi daya vanili. Sebab, harga jualnya tinggi. “Kalau mereka bisa menjaga kualitas dan mendapatkan jumlah banyak [sedikitnya] 30–40 kilogram [setiap panen] itu kan lumayan [pendapatannya],” ujar Niko.
Tantangan dan prospek ekonomi vanili Namblong
Ambrosius Ruwindrijarto (53), salah satu pendiri Mitra BUMMA, mengungkap vanili Namblong memiliki prospek besar untuk ekspor. Pertengahan November 2024 lalu Ruwi—panggilan akrabnya—menyampaikan kabar baik. Puluhan kilogram vanili kering produksi BUMMA Yombe Namblong Nggua berhasil dibawa ke Amerika Serikat oleh Dominique Tan, pendiri dan juga direktur eksekutif Mitra BUMMA.
Perempuan berdarah Indonesia-Amerika itu turut memasarkan lewat jejaringnya, baik itu hubungan kekerabatan maupun profesional. Walau tentu saja, karena baru skala uji coba, angka tersebut masih terbilang kecil. Namun, Ruwi tetap mengapresiasi. “Puji syukur, ya. Begitu hari ini laku) teman-teman di dry house lumayanlah ada [tambahan] semangat,” ujarnya.
Walaupun, kata Ruwi, segmentasi pasar lokal seperti wilayah adat Namblong maupun Kota Jayapura, tetap mendapat prioritas penjualan. Ia menganggap konsumen lokal juga penting, sebab secara karakter rasa lebih ada kedekatan dan mudah disukai. Ia membayangkan vanili Namblong juga bisa terserap oleh para pembeli di kafe, restoran, maupun masyarakat di Kota Jayapura.
Dalam liputan khusus M. Ikbal Asra di Betahita (4/11/2024), sejatinya tercatat capaian-capaian positif dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Yombe Namblong Nggua tahun ini. Salah satunya adalah kenaikan produksi dan pengolahan vanili sebesar 320% daripada tahun sebelumnya, dengan total 144 kg vanili basah berhasil dibeli dari petani lokal. Bersama sektor bisnis lain, seperti ekowisata, pendapatan bertambah signifikan mencapai ratusan juta rupiah. Penerima manfaat pun bertambah menjadi sebanyak 1.400 warga yang terlibat dalam sejumlah kegiatan ekonomi, termasuk budi daya vanili.
Menurut Yohana, kehadiran rumah pengeringan vanili sebenarnya merupakan progres fisik yang baik. Sebab, rumah ini merupakan bangunan pertama yang dioperasikan oleh BUMMA. Ia dan pengurus akan terus belajar menjalankan rumah pengeringan tersebut sesuai prosedur operasi standar (SOP), termasuk bermitra dengan Teman Belajar Jogja, yang telah sukses sebagai koperasi vanili.
Di luar itu, Ruwi mengingatkan satu hal penting, yaitu tantangan produktivitas yang masih rendah dan belum ada jaminan stabilitas pendapatan. Sebab, kondisi petani dan kebun vanili yang dikelola memiliki karakteristik berbeda-beda. Apalagi tidak sedikit kebun vanili yang sudah lama tidak diurus, sehingga berimbas pada produksi. Fokus pada perawatan dan produktivitas vanili juga memudahkan untuk menentukan proyeksi penjualan dan pendapatan di masa mendatang. Bahkan kelak mungkin BUMMA perlu mempertimbangkan diversifikasi produk turunan selain vanili kering.
Mama Ribka juga mengakui kendala yang dihadapi seputar produktivitas vanili dan keterbatasan sumber daya manusia. Untuk itu, sebagai manajer vanili BUMMA, ia akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi budidaya vanili kepada masyarakat agar sesuai standar yang diinginkan BUMMA. Mulai dari mengawinkan bunga vanili, memanen, memilah, mengeringkan, sampai menyimpan.
Namun, meskipun jalan kesuksesan masih panjang, Ribka terang-terangan menaruh harap pada emas hijau Namblong yang mulai bergeliat di daerahnya. Ia tidak akan kenal lelah untuk turun dari kampung ke kampung, mengajak warga mau menjalin kemitraan bersama BUMMA, menawarkan alternatif yang lebih baik dan berkelanjutan daripada bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Ke depannya, harapan dari mama, [semoga] vanili Namblong menjadi nomor satu di dunia,” ucap Mama Ribka bermimpi besar. Sepintas tampak berat, tetapi itu bukan kemustahilan. Tidak ada yang tidak mungkin. (*)
Foto sampul:
Ambrosius Waisimon—Iram (pemuka marga) Waisimon di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura—mengecek vanili yang sesaat lagi berbunga dan siap dikawinkan di kebun miliknya/Mauren Fitri
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.