Setiap kali aku hendak bepergian ke luar pulau (Talango), otomatis aku melewati jalan raya Kalianget. Begitu pula tiap aku hendak pulang ke rumah, pastilah aku tak bisa melintasi jalan lain kecuali Kalianget. Walau demikian, baru beberapa tahun belakangan aku tahu kalau ternyata Kalianget pernah menjadi kota modern di Madura. Sialnya, aku mendapatkan informasi itu justru dari seorang perempuan yang domisilinya sangat jauh dari Kalianget, yaitu istriku.
Kepada teman-temannya, dia kerap mendaku bahwa sejarah dan segala ihwal tentang Sumenep adalah “pelajaran” favoritnya. Sebab itulah dia tidak mau ketinggalan informasi apa pun mengenai Sumenep. Dia pun sat-set apabila ada destinasi wisata, kuliner, atau hal-hal baru lainnya di Sumenep. Sebagai lelaki yang malas jalan-jalan, aku sering terpaksa menjadi sopir yang mengantarnya ke tempat-tempat yang dia suka, sehingga lambat laun aku pun tertarik keluyuran ke berbagai tempat penting.
Kami suka pergi ke museum, situs sejarah, makam keramat, wisata alam, warung kuliner, maupun acara-acara kesenian. Suatu waktu istriku pernah mengajakku mengunjungi Kota Tua Kalianget. Aku menuruti. Tujuan utamanya untuk foto-foto, selain ingin memerhatikan lebih saksama bangunan-bangunan peninggalan Belanda di sana. Namun, karena tidak berniat menjadikannya sebagai tulisan, kami hanya melihat-lihat dan memotret objek seperlunya.
Hingga sore lalu (14/04/2024), dalam perjalanan menuju rumah untuk suatu keperluan, aku kebelet mampir ke Kota Tua Kalianget demi melihat-lihat lagi sejumlah bangunan lawasnya. Kali ini mesti lebih serius, tekadku. Sayang sekali, istriku tidak ikut lantaran harus mengurus nenek (mertua) yang dibelit demam. Tentu aku akan sedikit kerepotan menyusuri tempat ini, karena biasanya dialah pemandu perjalanan berbekal pengetahuan lokalitasnya.
Benteng Kalimo’ok
Apa boleh buat. Aku tidak punya banyak waktu untuk keluyuran sebab kungkungan pekerjaan. Kesempatan juga tidak selamanya terulang. Mau tak mau aku tetap menepi ke lokasi sebuah benteng lapuk di Desa Kalimo’ok. Kuparkir motor lalu menengok layar ponsel tepat pada pukul 16.11 WIB.
Pandanganku menyapu ke semua sisi depan benteng. Dindingnya mengelupas, lumut berbiak di sana-sini, rumput dan semak belukar tumbuh liar di sela-sela retakan beton. Ratusan tahun bersekutu, cuma efek itu yang ditimbulkan oleh ulah hujan dan matahari. Mereka belum mampu merobohkan benteng yang berdiri sejak tahun 1785 tersebut—sebagaimana tertulis di prasasti yang ditandatangani Bupati Sumenep, KH. Moh. Ramdlan Siraj, pada 31 Oktober 2001 silam.
Menurut keterangan papan informasi berwarna biru yang dibuat oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur, benteng itu memiliki dua pintu masuk. Di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang konon merupakan persembunyian serdadu asing, lengkap dengan bastion penyimpanan meriam di setiap sudut benteng. Kini bekas persembunyian itu telah disulap menjadi tempat peternakan.
Sementara di depan pintu benteng pada sisi kanan, sebuah gapura masih tegak kokoh. Di dindingnya ada sisa-sisa potongan huruf dan angka yang tak dapat kueja. Adapun di balik gapura kusam itu terbujur kijing-kijing bertanda salib. Tak banyak. Hanya belasan pusara yang semuanya berhulu ke barat. Namun, setelah aku melangkah masuk ke balik gapura, ternyata ada satu kijing yang nyeleneh: tidak bertanda salib dan berhulu ke utara.
Selama berpijak di tanah pemakaman, entah kenapa aku merasakan aura yang “liyan”. Persis aura yang pernah kurasakan dulu saat ikut teman menyambangi toko buku Kristen di Jogja.
Rumah Tua dan Jejak Kolonial Lainnya
Aku melanjutkan penjelajahan ke Desa Kalianget Timur. Di sepanjang jalan, mudah sekali ditemui rumah-rumah khas Eropa di tepian kiri. Bak manusia dewasa, rumah-rumah itu terlihat segar bugar meski ada beberapa yang sudah diperbaharui dengan tetap mempertahankan bentuk asli arsitekturnya. Tiada rumah tanpa pagar. Semua pagar dirantai dan digembok. Sebagian besar ditempeli papan nama “Rumah Dinas PT Garam (Persero)”.
Kebetulan ada satu rumah yang pagarnya tengah terbuka. Seorang lelaki berkepala empat sedang menyiram tanaman. Buru-buru aku menghampirinya begitu ia sudah selesai dengan pekerjaannya dan bersiap-siap untuk pergi. “Rumah-rumah tua di sini kenapa banyak yang ditempeli nama ‘Rumah Dinas PT Garam’, ya, Pak?” tanyaku dengan polos sehabis berbasa-basi.
“Iya. Itu milik PT Garam. Ditempati orang-orang PT Garam. Sebagian juga disewakan,” jelasnya tersenyum renyah.
“Berarti bapak nyewa di sini?”
“Tidak. Cuma nyiram tanaman.” Bapak itu bergegas pergi usai kuucapkan terima kasih padanya.
Beragam corak rumah tua di Kalianget Timur dengan motir pagar yang hampir senada (Daviatul Umam)
Aku pun kembali memacu kendaraan ke arah timur, sampai berjumpa bangunan paling gigantik di antara bangunan klasik yang lain. Kendati berukuran tinggi dan luas, gedung ini hanya memiliki satu ruangan. Temboknya terkikis zaman dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman. Beberapa bagian juga ditumbuhi perdu. Sepasang daun pintunya besar menjulang. Di depan pintu bercat kuning gading inilah anak-anak muda suka berpose. Sekali waktu aku juga pernah menyaksikan pasangan calon mempelai mengabadikan momen pranikahnya di sana.
Di seberang gedung, sebuah pos pantau berdiri. Pintunya ternganga lebar. Kendaraan roda dua terparkir di terasnya. Dari balik kaca jendela berwarna gelap dapat kutangkap bayangan seseorang yang sedang duduk di atas kursi. Aku beranjak masuk teras lalu memanggil salam di muka pintu. Laki-laki kurus berkaus satpam bangkit dari kursinya sembari menyambut salamku.
“Anu. Numpang tanya, Pak. Gedung ini dulunya ditempati apa, ya?” aku menunjuk bangunan perkasa itu dengan jari jempol kanan.
“Itu gudang mesin, Mas. Pembangkit tenaga listrik,” terang Pak Satpam.
“Kalau rumah-rumah tua di jalan ini milik siapa?” tanyaku untuk memastikan.
“Milik PT Garam.”
Lagi-lagi betapa polosnya diriku, “Dibeli PT Garam atau gimana?”
“Nggak. Itu aset negara. PT. Garam kan bagian dari BUMN.”
“Oh. Ya, sudah. Terima kasih banyak, ya, Pak.”
Aku berlalu pergi dan berlanjut menyusuri cagar budaya lainnya. Sesudah melaju pelan sepanjang ratusan meter, aku berhenti sejenak di seberang kantor PT Garam, mengamati sebuah monumen lokomotif yang sengaja dipamerkan. Hanya saja barang antik tersebut tidak dilengkapi plang atau tulisan singkat terkait keberadaan serta kegunaannya di masa penjajahan. Pengunjung awam sepertiku dipaksa bertanya sendiri ke Mbah Google.
Kemudian aku meluncur ke arah utara, mengitari lingkungan perumahan purbakala di sekitar jalan Brawijaya–Sam Ratulangi, Kalianget Timur. Sinar matahari mulai meredup. Pohon-pohon hias nan rindang menambah remang cakrawala. Meniti jalan aspal yang agak rusak membuat motor sedikit mengguncang-guncang tubuhku. Bagai mahasiswa semester akhir yang melakukan penelitian, sambil menyetir aku tak hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri.
Di daerah inilah rumah-rumah tua bercorak Eropa dengan aneka bentuk itu berpusat. Namun, aku lebih dulu tertarik menelisik pilar penyangga langit yang melampaui pohon tertinggi sekalipun. Sudah sejak lama aku penasaran terhadap kisah di balik beton raksasa ini. Difungsikan untuk apa ia oleh orang-orang Belanda dulu?
Tepat di sebelah baratnya, aku menemui seorang pemuda yang kelihatan sibuk menjamu para tamu. Aku bertanya secara singkat perihal fungsi dari pilar tersebut. “Itu PDAM, Mas,” jawab si pemuda sambil berdiri memegang senampan air gelas kemasan.
“Kalau di masa Belanda dulu?” kejarku.
“Saya gak tahu. Coba tanya sama yang lebih sepuh saja, Mas.” Tampaknya dia memang betul-betul sibuk dan aku telah mengganggunya.
“Baik, Mas. Terima kasih, ya.”
Sesuai sarannya, aku menyongsong ibu lansia yang berjalan kaki seraya menyunggi tabung gas elpiji tiga kilo. Masih menyorong pertanyaan yang sama dan ibu beruban itu pun menyuguhkan jawaban yang sama dengan si pemuda. Tak ada penjelasan komplet yang memuaskan rasa keingintahuanku.
Langit kian berjelaga. Azan Magrib berkumandang dari pelantang suara masjid. Kukira tak bakal memungkinkan untuk melanjutkan rekreasi. Akan terasa janggal jika aku memaksakan diri menjumpai orang-orang yang tak kukenal hanya untuk dimintai keterangan terkait sekelumit riwayat Kota Tua Kalianget. Setelah memotret salah satu rumah kuno dan gereja, aku segera pulang dengan berniat kembali datang keesokan harinya.
Sejarah Gereja dan Rumah-rumah Lawas
Esoknya, aku menepati janjiku sendiri. Langsung saja aku menuju suatu titik di mana penjelajahanku kemarin terpotong. Kubidik ulang gereja sederhana itu demi menghasilkan gambar yang lebih bagus. Kukatakan “sederhana” sebab rumah ibadah Protestan itu tak ubahnya kediaman penduduk desa. Di terasnya terdapat satu set sofa merah serta sebuah meja. Dindingnya bertempelkan kayu salib cokelat dengan dua pintu kayu bercat kuning nyalang. Beberapa jendelanya juga berbahan kayu, sama dengan rumah-rumah tua di sekitarnya.
Walau sederhana, ia tampak sangat terawat. Baluran catnya masih baru. Rerumputan di halamannya terpangkas rapi, selain bebas dari sampah. Cuma guguran daun mangga kering berserakan, tetapi itu wajar belaka. Di samping bangunan ada seekor anjing berbulu lebat. Ia melongo di balik pintu berkawat tatkala aku menapaki halaman gereja. Karena waswas, langkahku urung untuk mendekat ke beranda. Aku cepat-cepat keluar karena khawatir binatang itu menggonggong sehingga membuat warga menaruh rasa curiga terhadapku. Walau sebenarnya aku telah mendapatkan izin dari seorang kakek yang menjadi juru kuncinya.
Dari kakek pemotong rumput ini aku menerima sejumlah informasi berharga. Katanya, hingga kini gereja itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Tiap Minggu umat Kristen berdatangan dari berbagai daerah untuk beribadah. Dia juga menjelaskan tahun berdirinya bangunan-bangunan bersejarah di desa itu.
“Rumah paling besar di sebelah ini dibangun tahun 1910. Dulu jadi kantor PT Garam. Kalau gedung pembangkit tenaga listrik di sana sekitar 1914. SD Taman Muda itu (dia menunjuk bangunan bercat kuning) lebih baru lagi, 1957,” tuturnya antusias.
“Kalau PDAM itu tahun berapa?” Aku masih sangat penasaran sama pilar penyangga langit.
“Itu bukan peninggalan Belanda. Warga sini sendiri yang bikin. Belum lama itu. 1984 kalau tidak keliru.”
Tak lupa, aku juga menanyakan biaya sewa rumah-rumah yang dikontrakkan oleh PT Garam. Kakek itu bilang, biayanya tergantung ukuran rumah. Beda-beda. Lumrahnya tiga atau empat juta lebih per tahun. Sebagian dari para penyewa adalah warga pribumi, sebagian lain pendatang dari Jawa. Mereka merintis bermacam usaha di sana. Jualan soto, bakso, telur ayam, dan mebel.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Daviatul Umam, lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Menulis puisi dan prosa. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah ini kini bergiat di Komunitas Damar Korong dan Malate Artspace, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Bisa disapa di Instagramnya: @daviatul.umam.