Kala itu siang di Kota Yogyakarta cukup terik dengan sorot mentari yang tepat berada di atas kepala. Meskipun panas menyengat, aku beserta teman-temanku tidak mengurungkan niat untuk berkeliling di kota istimewa ini. Ambisi yang tengah menggebu untuk menyusuri kota gudeg menjadi alasan agar kembali mengepaki barang bawaan bekal melanglang Yogyakarta.
Baru saja kami selesai melaksanakan shalat Dzuhur, sontak kulihat terdapat seorang kawanku yang hendak menikmati santap siangnya, terlihat sedikit kebingungan. Entah pikiran apa yang tengah hinggap di kepalanya hingga nampak kelimpungan di sela-sela perlawatan kami, yang semestinya dapat dinikmati dengan hikmat.
Di selasar Masjid Soko Tunggal Kelurahan Patehan, Kemantren Kraton, sedikit aku berkelakar. Berniat agar guyonan recehku ini dapat mencairkan suasana di balik konflik batin yang tengah merasuki salah seorang kawanku itu.
Ketika kurasa momennya sudah jauh lebih cair, kuberanikan diri untuk bertanya padanya mengenai pikiran apa yang hinggap di kepalanya. “Heh mikir apa, kok sajak pikirane abot?” Tak lama kemudian ia menjawab dengan ekspresi yang membutuhkan saran. Rupanya ia memikirkan tujuan kami selanjutnya. Kemana kita akan pergi setelah ini? Tempat mana yang akan kita tuju setelah ini?
Beberapa kawan lain yang turut mendengar mencoba memberi saran agar ngadem di mal yang berada tak jauh dari Malioboro. Sebagian dari kami menerima tawaran itu, tetapi beberapa lainnya termasuk diriku sendiri kurang setuju. Sayang rasanya jika menghabiskan waktu di kota wisata ini tanpa menelusuri setiap sudut Yogyakarta.
Maklum, kala itu kami benar-benar hanya bertujuan ingin dolan ke Jogja tanpa tahu lebih detail akan ke mana saja.
Tanpa pikir panjang dan tak butuh waktu lama lagi, salah seorang temanku memesan satu taksi online dengan tujuan Museum Benteng Vredeburg. Benteng yang masih berada di sekitaran Malioboro—tepatnya di sebelah selatan Pasar Beringharjo dan sebelah utara Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Ia keheranan setelah melihat biaya ongkos yang mencapai hingga Rp300.000,00 padahal jarak kami dengan tempat tujuan hanya 3 km.
Hal tersebut membuat kami semua terheran-terheran. Kutengok gawai yang tengah digenggamnya. Sontak aku terkejut dan sedikit menahan tawa lantaran taksi online yang dipesannya bertujuan Benteng Vastenburg, benteng peninggalan Belanda yang berada di Kota Surakarta. Selasar rest area Masjid Soko Tunggal menjadi sedikit agak riuh dengan canda tawa kami. Tujuan taksi online kemudian diubah menuju tujuan yang semestinya.
Tidak lama setelah memesan taksi online, sudah ada saja ide muncul dari seorang teman yang mengajakku ke Situs Warungboto. Untung saja belum ada driver yang menerima pesanan kami.
Awalnya kami sedikit heran ketika pertama mendengar namanya. Apa tempatnya penuh dengan tumpukan batu-bata? Atau mungkin pondasi bangunannya hanya berupa batu-bata? Karena dari namanya saja ada istilah boto yang dalam bahasa Indonesia berarti batu-bata.
Katanya, Situs Warungboto memiliki konstruksi yang hampir sama dengan Situs Tamansari tetapi ukurannya lebih sempit jika dibandingkan dengan Taman Air Keraton Yogyakarta tersebut. Warungboto secara administratif masuk di dua kelurahan dan dua kemantren yakni Kelurahan Warungboto, Kemantren Umbulharjo dan Kelurahan Rejowinangun, Kemantren Kotagede.
Tiba di Warungboto
Sekitar 15 menit lamanya kami menumpang taksi online dari pusat kota, aku melihat setiap jalanan Yogyakarta yang kala itu tengah ramai di akhir pekan. Sudut demi sudut kota pelajar itu nampak jelas di balik jendela kendaraan yang membawa kami. Hingga tak lama kemudian sudah sampai tujuan.
Sayangnya yang kulihat hanya tembok dengan hiasan mural setinggi satu meter di pinggir jalan. Rasa heran kembali datang, di mana Situs Warungboto itu berada? Aku putuskan untuk mencari tahu pada salah seorang warga yang tengah duduk menyantap sebungkus nasi kucing di angkringan pinggir jalan Jalan Veteran, Kelurahan Warungboto, Kemantren Umbulharjo, Kota yogyakarta. Ditunjukkannya jalan menuju Situs Warungboto.
Rupanya situs yang kami maksud hanya berada di balik tembok yang menutupi situs tersebut. Sedikit melalui turunan akhirnya kami menemukannya. Saat memasuki Situs Warungboto, tidak kami temukan loket arah masuknya situs tersebut. Hal ini yang menjadi penanda bahwa pengunjung Situs Warungboto tidak perlu membayar untuk mengunjungi, hanya saja perlu membayar biaya parkir yang dikelola penduduk setempat jika membawa kendaraan.
Salah satu sudut bangunan Situs Warungboto yang tampak megah/Rosla Tinika S Tampak jendela di Situs Warungboto/Rosla Tinika S
Dari luar, situs terlihat seperti sepi pengunjung, suasananya pun cukup senyap. Namun, setelah melangkahkan kaki lebih dalam ke sisi bangunan, ternyata pengunjung cukup banyak. Bahkan kami sempat juga tak tersadarkan diri tengah mengganggu sepasang kekasih yang hendak melaksanakan foto prewedding.
Tempo lalu, tepatnya di tahun 2017. Warungboto digunakan prewedding oleh Mbak Kahiyang Ayu—anak kedua dari Pak Joko Widodo, Presiden RI ke-7. Situs ini ini akhirnya makin sering digunakan sebagai latar foto prewedding.
Kami menyingkir ke sisi lain yang ternyata mendapati sebuah keluarga yang tengah berswafoto. Alhasil kami yang masih muda merasa harus hormat pada yang lebih tua. Mencarilah kami ke sisi lain yang dirasa tak mengganggu orang lain.
Jika dilihat sekelebat, konstruksi bangunan situs ini memang hampir sama dengan situs Tamansari. Dindingnya yang tebal dengan aksen lengkung di setiap bagian pintu dan jendela ditambah dengan dua bekas kolam di bagian tengah. Dua kolam tersebut ada yang berbentuk setengah lingkaran dan ada yang berbentuk persegi dengan saling berhubungan.
Rest area Masjid Soko Tunggal/Rosla Tinika S Bagian depan Situs Warungboto/Rosla Tinika S
Dari informasi yang aku dapat, ternyata nama asli dari Situs Warungboto adalah Pesanggrahan Rejowinangun. Seperti namanya, tempat ini dulunya ditujukan untuk tempat singgah keluarga keraton. Fungsi utama dari pesanggrahan ini dulunya sebagai peristirahatan para priyayi Kasultanan Ngayogyakarta. Wajar saja jika nampak ada kolam, taman, segaran, dan kebun yang dapat menimbulkan ketenangan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menikmatinya.
Petilasan ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I yang kemudian diteruskan di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Pembangunan situs ini jika dihitung dalam kalender Masehi dimulai dari tahun 1785 yang awalnya khusus sebagai tempat pemandian dengan sumber mata air. Terhitung megah dan kokoh untuk ukuran bangunan di waktu tersebut, apalagi di masa sekarang masih terlihat elok.
Situs ini dibangun pada dua sisi yakni di sebelah barat dan sebelah timur Sungai Gajah Wong. Di mana pesanggrahan bagian barat adalah komplek bangunan berkamar dengan teras dan kolam pemandian. Kolam pertama berdiameter sekitar 4,5 m di bagian tengahnya ada pancuran air sedangkan kolam kedua persegi dengan sisi sekitar 10X4 m. Kolam tersebut berada tepat di depan kamar sehingga jika dilihat dari dalam kamar akan tampak pemandangan kolam yang pasti terasa menenangkan.
Jika ditengok sedikit ke belakang awal penemuan Pesanggrahan Rejowinangun ini hanya terlihat berupa puing-puing yang tidak beraturan. Sebelum adanya renovasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat, situs ini terlihat kurang terawat. Beruntungnya sejak beberapa tahun silam Situs Warungboto dilakukan pembersihan dan renovasi. Apalagi akhir-akhir ini setelah dibuka sebagai objek wisata.
Setelah puas memahami cerita dibalik situs tersebut serta puas memenuhi memori ponsel dengan swafoto di Warungboto, kami segera bergegas kembali ke Pusat Kota Yogyakarta lantaran harus pulang sebelum ketinggalan kereta.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!
Sekarang aku tengah menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Teman-teman bisa mengunjungi akun instagramku @roslats_ untuk sekadar ngobrol atau berbincang-bincang mengenai berbagai hal.