Sekitar jam sepuluh pagi saya menuju prasasti yang masih tersisa di sekitar Kota Salatiga. Tujuan saya adalah Museum Salatiga yang memiliki koleksi prasasti Plumpungan. Museum ini terletak di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.

Jika ingin berkunjung ke sini, kita bisa naik angkutan umum yang mudah untuk dicari. Tinggal naik angkot nomor 3 yang menuju ke arah Pabelan Kabupaten Semarang. Kemudian turun di pertigaan bawah flyover atau pertigaan Watu Rumpuk. Lalu kita tinggal jalan kaki ke arah timur kurang lebih 200 meter, di kiri jalan kita bisa menemui museum Salatiga. Museum Salatiga buka hari Senin sampai Jumat pukul 8 sampai 3 sore. Sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu dapat berkunjung asalkan reservasi terlebih dahulu. Biaya masuknya juga gratis, entah berkunjung sendiri ataupun rombongan.

Prasasti Plumpungan
Museum Salatiga/Abdul Karim

Prasasti Plumpungan adalah asal-usul berdirinya Kota Salatiga. Prasasti ini berbentuk batu dengan 6 pesan yang berisi deklarasi sebuah daerah perdikan. Daerah perdikan itu bernama Desa Hampra yang kini dikenal dengan Dukuh Plumpungan yang terletak di daerah Trigramyama yang kini dikenal dengan Kota Salatiga. Hampra dibebaskan pada tahun 672 penanggalan saka atau tahun 750 masehi, tepatnya tanggal 24 Juli, kini tanggal tersebut diperingati sebagai menjadi hari jadi Kota Salatiga.

Saya disambut oleh penjaga museum, Surotun (32). Beliau mengajak saya berkeliling melihat pelbagai koleksi museum seperti arca, yoni, lapik, dan beberapa bagian candi. Semuanya berasal dari Kota Salatiga. Surotun dengan sigap mengenalkan saya dengan satu per satu koleksi di dalam museum. Ia seperti sudah hafal di luar kepala setiap detil sejarah yang ada di Kota Salatiga.

Museum Salatiga hanya memiliki satu ruangan saja sebagai etalase koleksi. Untuk prasasti Plumpungan sendiri berada di halaman dekat jalan dan dibuatkan pendopo. Beberapa koleksinya juga ditempatkan di halaman, terutama koleksi dengan ukuran besar. Walaupun tempatnya cukup kecil, museum ini memiliki 70-an koleksi.

Prasasti Plumpungan
Prasasti plumpungan/Abdul Karim

Saya dan Surotun lebih asyik ngobrol dan diskusi seputar sejarah Kota Salatiga. Ia sedikit menjelaskan kenapa di Kota Salatiga tidak ditemukan bangunan candi. Hanya ditemukan sisa-sisa candi seperti batuan dinding, hiasan candi, atau hanya arca.

Menurutnya, dulu Belanda pernah mendirikan sebuah benteng di daerah Pasar Loak Shoping. Benteng tersebut menggunakan batuan dari candi—yang terbuat dari batuan adesif keras—sebagai bahan bangunan benteng. Namun kini, benteng tersebut telah diratakan menjadi taman, lalu dijadikan sebagai pasar.

Ketika saya mau melihat prasasti Plumpungan, gerimis mulai turun dan hujan. Saya diberitahu oleh Surotun, jika ingin melihat prasasti Plumpungan waktu paling tepat adalah di sore hari. Ketika sore cahaya matahari akan jatuh di atas prasasti, sehingga tulisan di atas prasasti akan lebih mudah dilihat. Bukit tempat prasasti ini berada juga tepat mengarah ke barat, seolah telah sengaja ditaruh di sini.

Prasasti Plumpungan
Prasasti plumpungan/Abdul Karim

Prasasti Plumpungan ditulis dengan  aksara jawa kuno dan berbahasa sansekerta. Terjemahan dari prasasti Plumpungan kurang lebih seperti ini, “Semoga bahagia! Selamatlah rakyat sekalian! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat tengah hari. Dari dia, demi agama untuk kebaktian kepada yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka yaitu Desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan dari Siddhi Dewi (Sang Dewi yang Sempurna atau Mendiang) berupa daerah bebas pajak atau perdikan ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam dari dia yang bernama Bhanu. (Dan mereka) dengan bangunan suci atau candi ini. Selalu menemukan hidup abadi.”

Menurut penjelasan Surotun, dari teks tersebut bisa disimpulkan jika dulu daerah Salatiga adalah tempat beribadah. Sampai wilayah ini dijadikan sebagai tanah perdikan atau daerah bebas pajak. Namun teks ini juga masih memiliki misteri, para sejarawan belum mengetahui siapa itu “Bhanu”. Tidak dijelaskan apakah Bhanu merupakan seorang utusan atau penguasa di wilayah Hampra ini.

Museum Salatiga sering digunakan untuk berbagai kegiatan.  Setiap tahunnya, pada peringatan hari jadi Kota Salatiga selalu digelar pertunjukan wayang di halaman museum. Pada hari-hari tertentu umat Hindu di sekitar museum juga beribadah di halaman Prasasti Plumpungan. Menurut mereka, di area Plumpungan masih memiliki aura yang positif untuk berdoa.

Tak jarang pengunjung dengan tujuan mistis kerap datang. Entah untuk sekedar berkunjung atau memenuhi beberapa ritual. Terkadang mereka hanya memberikan persembahan bunga, membakar kemenyan, bahkan memandikan keris.

  • Prasasti Plumpungan
  • Prasasti Plumpungan
  • Prasasti Plumpungan

Pihak museum sendiri juga sering mengadakan kegiatan. Tiap tiga bulan sekali, diadakan konservasi benda museum untuk menjaga koleksi. Museum juga mengadakan kegiatan gali sejarah secara tematik, seperti pada zaman klasik atau zaman Hindia-Belanda. Kegiatan seru yang patut ditunggu adalah pelatihan menulis di atas daun lontar. Konon menulis di atas daun lontar merupakan budaya nenek moyang kita sebelum mengenal kertas. Kitab-kitab kuno dan serat ditulis menggunakan bahan ini.

Surotun sangat menyayangkan akan pengunjung museum yang masih sepi. Ia menyadari bahwa koleksi dan fasilitas yang diberikan juga belum maksimal. Namun ia akan dengan senang hati menerima dan memandu pengunjung museum berapapun jumlahnya.

Museum Salatiga ini bisa menjadi alternatif kunjungan jika mampir ke Salatiga. Apalagi jika mencari wisata sejarah, maka kita akan menemukan banyak sumber di sini. Apalagi di museum kecil ini kita masih pemandu yang kompeten.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar