Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Begitulah penggalan-penggalan puisi “Beri Daku Sumba” karya Taufiq Ismail, ditulis jauh sebelum ia datang ke Sumba. Adalah cerita-cerita sahabatnya, Umbu Landu Paranggi, yang menjadi referensi imajinasi dirinya tentang Sumba. Akhirnya, dua puluh tahun setelah puisi itu ditulis, sang penyair pun menjejakkan kaki di sana.
Saya bersyukur menunggu tak harus selama itu untuk akhirnya datang ke Sumba. Saya pikir-pikir ulang, mimpi-mimpi ke Sumba rasanya muncul jauh di 2014 silam, dari film berjudul Pendekar Tongkat Emas, lalu Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang baru bisa saya tonton di sebuah tempat pemutaran film kecil di Kemang, tahun 2018 lalu. Tapi, jalan ke Sumba baru seperti terbuka ketika saya bertemu Greg R. Daeng, pengacara asal Flores yang tahun lalu mengenalkan saya pada Asti Kulla, pemudi asli Lamboya, Sumba Barat.
Akhirnya, di pengujung Agustus lalu, saya dan tiga rekan, si kembar Vero dan Vali dan Niko, berangkat ke Sumba. Selain menghabiskan cuti, saya dititipi amanah untuk mengantarkan sepatu, topi, dan kaus kaki untuk adik-adik binaan Asti Kulla dan teman-teman Yayasan English Goes to Kampung (EGK).
Di pesawat menuju Sumba, di atas Laut Jawa dan Flores, saya menyembunyikan sedikit gelisah. Bepergian kala pandemi, saya pikir yang terberat bukan melengkapi administrasi dan tes kesehatan, namun meyakinkan diri sendiri untuk tidak merasa bersalah karena bepergian di saat angka kasus corona semakin melambung.
Kami tiba sore hari di Bandara Tambolaka. Bang Son, supir kami, tetap meyakinkan kami untuk mengunjungi Danau Weekuri di ujung barat. Di perjalanan menuju Weekuri, saya memandang ke luar, melihat kuda-kuda kurus yang digembalakan di pinggir jalan. Rumah-rumah dengan atap khas Sumba, sepaket dengan batu kubur, kadang menyembul di antara rumah-rumah (semi) permanen beratap seng. Pohon-pohon jambu monyet (Anacardium occidentale) penghasil kacang mede mendominasi lanskap kering. Kacang mede menjelma menjadi komoditas andalan Sumba. Ya, komoditas pangan, dengan patokan ekonomi, menjadikan pangan tak lagi sebagai the primary determinant of survival. Tahun 2020, harga kacang mede anjlok. Saya membayangkan nasib mereka-mereka yang menjadi bergantung padanya. Saya memendam pikiran-pikiran itu, menggantinya dengan bercerita tentang pohon-pohon lain yang saya lihat di jalan kepada tiga rekan yang mungkin bahkan tidak peduli tentang kelas Biologi—mendadak dan kacangan—ini.
Matahari mulai turun ketika kami sampai di Weekuri. Saya bergegas menuju danau. Saya menarik napas panjang, terposona pada Weekuri yang berwarna pirus terang dan tampak tenang. Tak ramai pengunjung, saya segera berenang. Saya lalu mengiyakan ajakan seorang anak, yang ikut berenang, untuk melompat dari atas tebing. Saya pikir, saya mungkin harus belajar mengatakan tidak pada ajakan-ajakan seperti itu—atau setidaknya mengambil waktu untuk memikirkan.
Setelah hampir satu jam berenang, saya naik ke darat, memesan kelapa muda sambil mengobrol di warung. Di pinggiran danau banyak warung, dibangun sederhana dengan kayu dan sebagian beratap terpal, menjajakan makanan dan suvenir. Si penjual bercerita, selama pandemi pengunjung berkurang drastis, ditandai kelapanya yang tak laku-laku. Tiga rekan saya hampir selesai berfoto-foto ketika matahari akhirnya benar-benar jatuh di Weekuri. Kami berganti baju, membayar kelapa, dan bergerak menuju Kota Tambolaka kembali, mencari makan sebelum menuju penginapan di barat daya, Lamboya.
Vero dan Vali yang pernah ke Sumba tahun 2016 menyarankan untuk makan di Warung Gula Garam, tak jauh dari Bandara Tambolaka. Warung Gula Garam, kepunyaan warga Prancis yang telah lama keliling Indonesia, mungkin lebih cocok disebut kafe. Warung dengan atap khas Sumba itu berpadu dengan furnitur dan hiasan-hiasan kayu dan etnik lainnya, seperti kontras, jomplang dengan rumah-rumah setengah permanen di sekitarnya. Dari obrolan kami, pria Prancis itu bercerita tentang bagaimana dia jatuh cinta pada alam Sumba hingga memutuskan pindah dari Bali ke sana. Pendapat-pendapatnya tentang bagaimana harusnya alam dijaga, bagaimana harusnya masyarakat Sumba memanfaatkan sekaligus menjaga alamnya, mengingatkan saya pada The White Man’s Burden-nya William Easterly. Tapi, saya menikmati pizza dan salad yang disajikan di Warung Gula Garam; saya merasa telah disogok dengan baik, padahal saya membayar sendiri tiap kunyahan itu.
Selesai makan, Bang Son memacu mobil seperti berburu dengan waktu menuju Lamboya, tempat kami akan menginap malam itu. Tak ada lampu jalan dan jalanan sangat sepi. Kadang kami bertemu pengendara motor yang tak jarang juga tak berlampu. Kami telah menyimpan peta jalan menuju penginapan dalam ponsel untuk membantu navigasi Bang Son. Tapi, Bang Son sepertinya tak butuh itu. Mungkin aplikasi-aplikasi navigasi itu hanya untuk kita, manusia-manusia urban yang semakin bergantung padanya, bukan untuk Bang Son.
Kami sampai di penginapan hampir tengah malam dan menghabiskan waktu cukup lama di halaman depan kamar, menikmati langit malam di Lamboya yang bertabur bintang. Hening sekali, seolah bintang dan malam memeluk dan meredam semua suara. Saya menanyakan kepada staf penginapan apakah gerangan cahaya yang benderang di kejauhan itu?
“Itu Nihiwatu, Kakak,” jawabnya.
Dan kata Nihiwatu itu dengan sendirinya membawa ingatan saya pada tulisan Sarani Pitor, “Memagari Ombak: Cerita Selancar Sumba.” Lebih jauh, saya mengingat sedikit memori dari tesis Sarani yang berjudul “Waves Are Sleeping” dan cerita-cerita tentang Sikerei, Ebay, dan Mapaddegat nun jauh di barat Sumatra. Malam itu, saya tidur sambil bermimpi tentang kuda-kuda di Nihiwatu, gemuk dan berbulu mengilat, rajin dimandikan demi kesan dan pengalaman-pengalaman eksotis para tamu hotel “terbaik” di dunia itu.
Keesokan hari, kami sudah bersiap sedari pagi. Saya pada akhirnya bertemu dengan Asti Kulla yang penuh dengan energi. Asty yang mungil, dengan mata yang berbinar dan senyum yang manis, menjelaskan kepada kami tentang rencana acara hari itu.
Pertama, kami mengunjungi Desa Adat Deke yang beberapa waktu lalu terbakar, menghanguskan sekitar 22 rumah adat. Asty dan teman-teman di EGK menjadi sukarelawan membantu mengumpulkan bantuan, memasak, mendirikan pos-pos darurat, hingga membuatkan healing center untuk anak-anak keluarga korban kebakaran.
Duo Vero dan Vali menghibur anak-anak di pusat penyembuhan itu dengan dengan cerita Tiga Anak Babi, cerita warisan dari oma mereka. Saya terpingkal-pingkal lebih dari tawa anak-anak Desa Deke waktu mendengar dan melihat mereka bercerita. Saya pikir, aksi teatrikal mereka lebih menggelikan dan menghibur ketimbang cerita babinya. Selesai di Deke, kami menuju Desa Lamboya Dete untuk makan siang bersama dan menyampaikan donasi sepatu, kaos kaki, dan topi. Sekitar 70 orang anak berkumpul untuk makan siang dan menerima donasi.
Selesai acara, Asty mengajak kami ke Pantai Morosi. Kata Asty, matahari terbenam di Morosi cantik sekali. Saya pemuja makanan, bukan kaum “kopi dan penikmat senja,” tapi saya harus setuju dengan Asty. Saya menikmati Morosi dengan mataharinya yang terbenam pelan-pelan. Beberapa orang mencari rumput laut di antara bebatuan dan karang. Mereka menawari saya, mencoba rumput laut mentah itu. “Buat dimakan, nanti pakai nasi, Abang,” kata bapak yang embernya hampir penuh.
Ketika matahari benar-benar tenggelam, dan ketiga rekan saya sudah cukup puas dengan foto-foto untuk konten, Asty mengajak kami menuju Pantai Dassang. “Kita bikin panggang ayam, makan pinggir pantai kaka e,” ujar Asty.
Ketika sampai di Dassang, teman-teman EGK yang lain telah membuat api, menyiangi ayam, mencucinya dengan air laut, dan memanggangnya perlahan. Sebagian menyiapkan sayur bayam dan pepaya rebus untuk lalapan. Yang lain mengulek sambal rujak terasi. Kami makan dengan lahap. Saya berani bertaruh bahwa ayam panggang itu adalah ayam panggang terbaik yang pernah saya makan.
Saya berbisik pada Asty, terima kasih untuk makan malam istimewa, untuk keramahan tiada tara. Acara makan malam ditutup dengan berdansa, diiringi musik pop timur yang hentak-hentak. Hari kedua di Sumba segera selesai, kami pulang ke penginapan dan tidur dengan pulas.
Bagian pertama dari seri Mengulang Waktu di Timur: Sumba. Bagian kedua dapat dibaca di tautan ini.
Memuja makanan, juara mengeluh, dan kadang meneliti.