Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian Blambangan dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada 24–26 Oktober 2024. Acara tersebut merupakan puncak kegiatan dari penerbitan antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu” yang diisi 200 penyair setelah dikurasi oleh tim kurator. Kami termasuk di antaranya.
Angka 200 terlalu banyak untuk ukuran bunga rampai. Meski disaring dari 400 lebih pengirim puisi, bagiku tetap terkesan sebagai antologi keroyokan. Itulah mengapa, aku tidak cukup percaya diri atas keterlibatanku dalam buku itu. Sekalipun ada embel-embel “Asia Tenggara” di sana. Lagi pula, 95% penyair terpilih adalah orang dalam negeri.
Bagaimanapun, aku bersyukur. Berkat JSAT, aku bisa berpelesir ke Banyuwangi dan merayakannya bersama orang-orang sehobi. Tentu saja tidak sekadar selebrasi. Menemukan pengalaman-pengalaman baru jauh lebih penting dari sebatas hore-hore dan pamer gigi di depan kamera.
Hari Pertama di Kemiren
Matahari hampir memerah di ufuk barat ketika kami menginjakkan kaki di halaman Rumah Budaya Osing (RBO) Kemiren. Mestinya kami bisa tiba beberapa jam lebih awal, seandainya mobil rombongan tidak terjebak macet panjang karena proyek jalan di Bangkalan.
Di RBO, panitia menyambut hangat. Usai mengisi daftar hadir, kami menerima kaus seragam JSAT dan sekotak nasi. Lalu kami dibonceng oleh beberapa panitia ke tempat penginapan milik rumah warga Kemiren. Mereka menyebutnya homestay. Satu homestay berisi dua sampai empat orang sesuai kelompok. Aku berhasil satu kelompok bersama Helmy Khan—kawan karibku—setelah melakukan negosiasi dengan panitia.
Tuan rumah kami, Bu Ti’anah dan Pak Suroso, sangat ramah dan gaya bicaranya renyah. Pasutri berusia 60 tahunan tersebut hidup bersama seorang anak dan cucu perempuan. Sehabis membersihkan badan, sembahyang dan makan, kami disuguhi teh hangat dan sepiring aneka kudapan. Akan tetapi, belum sempat kami menghabiskan minuman dan kudapan itu, kami harus segera berangkat ke Pendopo Bupati Banyuwangi untuk mengikuti gala dinner.
Penampilan musik dan tari Sanggar Seni Joyo Karyo membuka acara perdana. Kemudian dilanjutkan dengan senarai acara inti, antara lain peluncuran antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, sambutan bupati, pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh, ramah-tamah, pembagian buku sekaligus pembagian tugas Penyair School Visit ke sekolah-sekolah sasaran.
Menyapa Para Siswa SMPN 1 Kalipuro
Pukul enam keesokan paginya aku dan Helmy sudah bersiap-siap pergi ke sekolah sasaran. Helmy mendapat tugas ke MA Mambaul Huda, sedangkan aku ke SMPN 1 Kalipuro. Ini agenda kedua dari JSAT. Sehabis menyantap hidangan yang disuguhkan Bu Ti’anah, kami berjalan kaki ke RBO agak tergesa-gesa. Sebab, kata panitia, mobil penjemputan dari pihak sekolah sudah menunggu cukup lama di sana. Di RBO, kami berpencar menemui pihak sekolah masing-masing.
Kanti Rahayu namanya. Seorang guru paruh baya yang ditugaskan menjemputku bersama dua peserta lainnya, Eki Thadan (Jakarta) dan Nor Faizah (Sumenep). Setelah berkenalan dan berbincang ringan, kami berempat menaiki mobil jemputan. Di kursi depan samping sopir, sudah ada Bu Nisa, kepala SMPN 1 Kalipuro. Mobil melaju. Obrolan ringan kembali bersambut di sepanjang perjalanan.
Cuma butuh waktu setengah jam dari Kemiren ke Kalipuro dengan kecepatan sedang. Ketika kami hendak memasuki halaman sekolah, selawat berkumandang diiringi tabuhan rebana. Personel hadrah itu tak lain para siswa SMPN 1 Kalipuro sendiri. Mereka beserta segenap guru berdiri sejajar di kiri-kanan, tampak sangat antusias menyambut kedatangan kami.
Lepas dari keriuhan itu, aku berkata pelan kepada Faizah, “Kayak baru datang umrah aja kita.” Faizah cengar-cengir. Bukan apa-apa. Di Madura, penyambutan semacam itu lumrahnya dipersembahkan untuk orang yang baru tiba dari tanah Haramain. Mendapati bentuk penyambutan yang sama untuk kedatangan penyair, terlebih penyair abal-abal sepertiku, sungguh bagai mimpi di siang bolong dan sukses bikin aku terharu sekaligus salah tingkah.
Di ruang diskusi, puluhan siswa-siswi sudah duduk tertib di atas bangku. “Waalaikum salam..,” jawab mereka serempak begitu kami beruluk salam di mulut pintu. Kami duduk di bangku depan. Berbagai jenis kuliner lokal tersaji di meja kami. Acara segera dimulai. Seni mendongeng, pembacaan puisi, dan penampilan musik tradisional menjadi pembuka yang manis.
Menurut sambutan kepala sekolah, SMPN 1 Kalipuro didirikan sejak 1996. Dengan rendah hati, beliau bilang sekolah ini terpencil.
“Ya, beginilah keadaannya. Mewah. Mepet sawah,” candanya diikuti ledak tawa seisi ruangan. Letak gedung sekolah memang berada di pinggir sawah. Meski begitu, SMPN 1 Kalipuro tak senasib sekolah-sekolah di kampungku yang krisis murid. Tiap tingkatan ada enam kelas. Itu pun, per tahunnya, tidak semua calon siswa baru ditampung.
Lebih lanjut, Bu Nisa membeberkan bakat-bakat yang dimiliki para siswa di bidang seni dan olahraga. Semua bakat itu terwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler, kecuali seni membatik. Seni yang satu ini mendapat perhatian khusus dan diunggulkan daripada keterampilan lain sehingga menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Tak hanya itu. Sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan tersendiri, kain batik hasil karya seorang siswa dijadikan seragam wajib pada hari tertentu.
Kemudian Faizah, aku, Pak Eki, dan Pak Suhandayana (asal Surabaya yang datang belakangan dari Kemiren), bergantian bicara di depan siswa. Intinya, kami memaparkan sekelumit pengetahuan dasar tentang sastra dan dunia tulis-menulis. Selebihnya kami menceritakan proses kreatif sebagai pemantik bagi mereka supaya punya ketertarikan untuk membaca dan menulis.
Selesai diskusi, kami diajak ke Geopark. Sebuah miniatur Watu Dodol dan beberapa situs lain di sudut halaman sekolah. Geopark ini dikerjakan dan dirawat oleh seorang lelaki gempal bernama Pak Mujianto dengan bantuan sejumlah siswa. Hal tersebut, kukira, menunjukkan betapa sangat intimnya hubungan orang Banyuwangi dengan alam. Adapun SMPN 1 Kalipuro sendiri memang berdiri di tengah panorama mooi indie. Selain mepet sawah sebagaimana kata Bu Nisa, ada aliran Kali Sumber Penawar membelah halaman sekolah. Puitis sekali, pikirku.
Bersama para guru, kami lantas menyantap nasi pecel rawon. Setahuku, pecel dan rawon adalah dua jenis masakan yang tidak punya hubungan kekerabatan. Baru kali ini aku menjumpai keduanya sekandung dalam satu piring. Irisan daging sapi bertemu sayur kangkung; kuah sup hitam berbaur sambal kacang. Sebuah kolaborasi yang guyub, langsung akrab di lidah dan bikin nagih. Apalagi dimakan dengan kerupuk udang, yang seakan memang hanya ditakdirkan menjadi pelengkap bagi makanan berkuah seperti rawon.
Mampir ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan
Di mana-mana, perpisahan pastilah menjadi konsekuensi dari pertemuan. Usai menerima kenang-kenangan dari Bu Nisa berupa kain batik karya para siswa, kami berpamitan. Namun, sebelum kembali ke Kemiren, Pak Mujianto dan Bu Kanti terlebih dahulu mengantar kami ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan sebagai bagian dari kegiatan Penyair School Visit.
Watu Dodol merupakan objek wisata gratis yang relatif dekat dengan Pelabuhan Ketapang. Kurang lebih sama dengan miniaturnya di Geopark SMPN 1 Kalipuro. Maksud “watu dodol” tak lain batu hitam besar menjulang yang terjepit dua lajur jalan raya.
Tidak cukup lama kami di sana. Begitu selesai mengabadikan momen di bawah patung penari gandrung berlatar Selat Bali, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Cacalan. Cahaya sore masih lumayan terik. Kami ngadem di pinggir rawa, berpayung pohon-pohon hias nan rindang. Dari bangku kayu yang kami duduki, di kejauhan tampak terbujur daratan Pulau Dewata.
Rawa itu amat terawat. Airnya jernih. Pengunjung bisa bersenang-senang dengan menyewa kano atau perahu karet seharga Rp10.000–20.000. Kami sendiri lebih memilih mengobrol saja sambil menikmati tahu walik dan es degan.
Seminar Sastra di Marina Boom
Sabtu pagi (26/10/2024), aku dan Helmy mengemasi barang-barang ke dalam tas. Saatnya kami pamit pulang ke Bu Ti’anah dan Pak Suroso sembari berterima kasih dan memohon maaf atas segalanya.
“Kapan-kapan main lagi, ya. Nginap di sini,” ujar Bu Ti’anah lalu menyodorkan dua kain mafela batik kepada kami. Kami hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih.
Kami tidak langsung pulang ke Sumenep, karena kami hendak mengikuti acara Seminar Sastra di Pantai Marina Boom. Setibanya kami di Gedung Juang, tempat seminar, acara sudah dimulai. Dipandu Dr. Tengsoe Tjahjono, acara bertajuk Revitalisasi Sastra Lokal Memperkaya Sastra Nasional itu mulanya diisi Riri Satria yang memaparkan materi tentang tantangan menulis di era kecerdasan buatan. Selanjutnya Sofyan RH. Zaid menyampaikan hasil bacaannya terhadap puisi-puisi dalam buku “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, lalu disusul orasi sastra oleh D. Zawawi Imron. Sesi tanya jawab memungkasi seminar.
Itulah acara terakhir kami di JSAT Banyuwangi. Sejatinya kami ingin menonton pagelaran tarian Gandrung Sewu di pantai itu. Namun, kami harus segera pulang karena salah satu teman rombongan hendak mengejar acara lain di Gedung Cak Durasim, Surabaya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.