Sejarah panjang menaungi Perpustakaan 400. Tepat 10 November 2024, usia perpustakaan yang berlokasi di Jalan Brigjen Dharsono No. 11, Kota Cirebon itu resmi memasuki usia 40 tahun.

Sejenak kita kilas balik peristiwa akhir perang dunia kedua. Negeri Matahari Terbit mengibarkan bendera putih. Tanpa bulatan merah di tengahnya. Pada 15 Agustus 1945, mereka mengaku kalah. Padahal, sebelumnya serdadu Dai Nippon menggila. Pasifik diterjang, Pearl Harbor diserang. Dunia dibuat geleng-geleng. Apa maunya mesin tempur dari timur Asia itu?

Hilang sudah kesabaran Amerika Serikat dan teman-temannya. Mereka bersumpah mengejar ke partai final. Hingga akhirnya berlangsung pertandingan puncak. Amerika Serikat yang jadi andalan tim, menurunkan “pemain” terbaik: Enola Gay. Punya senjata andalan yang sudah dipersiapkan, Little Boy, si “Bocah Kecil” yang menghabisi Hiroshima di set pertama, 6 Agustus 1945.

Enola Gay makin beringas. Tak ingin kehilangan momen, dihunjamkannya jurus maut kedua, Fat Man alias “Orang Gemuk” di set kedua, 9 Agustus 1945. Nagasaki pun tersungkur. Perlawanan Tokyo terhenti. Pasukan Sakura menyerah. Perang Dunia II tamat. Tim Sekutu keluar sebagai juara umum, dengan raihan ratusan ribu nyawa manusia melayang. Mulai balita sampai orang tua. 

Tidak ada tepuk tangan, sorak-sorai, apalagi pengalungan medali. Telah tertoreh tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan di atas podium peperangan. Belum lagi, yang di kemudian hari menanggung cacat seumur hidup. Mereka terpapar radiasi bom atom yang dibawa terbang pesawat Enola Gay dengan pilot Paul Tibbets.

Perpustakaan 400: Jejak Pengabdian Tentara Pelajar (1)
Tampak patung R.E. Mohamad Sulaeman, Komandan Pasukan Gerilya Kelana Sakti di halaman depan gedung Perpustakaan 400. Perpustakaan ini dikelola Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Cirebon/Mochamad Rona Anggie

Peran Tentara Pelajar Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Kabar keoknya Jepang hinggap di bumi Nusantara. Tak ingin “medali emas” hilang. pejuang negeri khatulistiwa menghimpun kekuatan. Membaca setiap peluang, detik demi detik. Aroma kemerdekaan tercium dekat sekali. 

Hingga saat yang dinantikan tiba. Bulan puasa, di hari kesembilan Ramadan 1364 Hijriah atau 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta, memproklamasikan kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.

Perjuangan merebut kemerdekaan mencapai titik puncak. Segenap penjuru menyambut bahagia. Pekik ‘Merdeka! Merdeka!’ meramaikan jagat langit. Dari pagi sampai malam, mengiringi lantunan tadarus Alquran dari surau ke surau selepas tarawih. Sampai dini hari menjelang sahur esok hari, seruan itu masih membahana di antara kumandang azan Subuh. Semua bergembira.

Namun, di lain tempat, sekelompok bule memandang sebelah mata pernyataan kemerdekaan itu. Mereka berupaya menguasai Nusantara lagi. Tidak rela negeri ini menghirup udara kebebasan. Sedari awal, Belanda tidak sudi pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang menjadikan Indonesia negara berdaulat. 

Komandan tempur pasukan Belanda terus memobilisasi anak buahnya secara masif. Bersiap konfrontasi besar-besaran. Puncaknya adalah Agresi Militer Belanda I (21 Juli–5 Agustus 1947) dan Agresi Militer Belanda II (19–20 Desember 1948). 

Akibatnya, di beberapa titik bentrok fisik tak terhindarkan. Rakyat Indonesia melawan mati-matian untuk mempertahankan harga diri. Emoh dijajah lagi. Kapok disiksa kompeni. Tak terkecuali barisan pelajar, yang telah mengonsolidasikan kekuatan lewat Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) atau Tentara Pelajar (TP).

TP di Jawa Barat ada di bawah komando Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution, yang berkedudukan di Tasikmalaya. Batalyon 400 terbentuk sejak Juni 1946, mempunyai wilayah Karesidenan Cirebon (2 kompi), Purwakarta (1 kompi), dan Pekalongan (1 kompi). Berpusat di Cirebon, dengan markas besar di Yogyakarta. Salamun AT ditunjuk sebagai komandan batalyon (Danyon), sedangkan Ismail Rahardjo menjabat kepala staf (Kartasumitra, 1981:33).

Lebih lanjut, Kartasumitra dan Langgeng (1980:2) mengungkap sosok para tentara remaja itu: “Mereka adalah pelajar-pelajar sekolah lanjutan yang relatif masih muda-muda usianya. Jika digolongkan dalam pasukan bersenjata, maka mereka adalah pasukan ir-regular yang tidak terikat oleh disiplin militer untuk berjuang di teritorial Cirebon.

Sementara Ekadjati dkk (1987:87) menyebutkan, pada akhir Juni 1946, TP Cirebon memisahkan diri dari Markas Pusat TP Jawa Barat. Sebab, hubungan antarmarkas terputus akibat gangguan militer Belanda. Setelah melakukan tata ulang organisasi, TP Cirebon berubah menjadi Batalyon 400 Brigade XVII Siliwangi, memegang kendali perjuangan di Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Sebagai Danyon ditunjuk Salamun Alfian Tjakradiwirja (AT) dan Kepala Staf Ismail Rahardjo, sedangkan Komandan TP Kuningan adalah R.E. Mohamad Sulaeman. Di antara pengikutnya ada Abdul Adjid, Afidik, dan Mohammad Chalil. Ketiga nama terakhir gugur sebagai kusuma bangsa, setelah tertembak pasukan Belanda pada 1948.

Peran Tentara Pelajar di masa mempertahankan kemerdekaan sangat vital. Selain gagah berani bertempur menghadapi prajurit Ratu Wilhelmina, para pelajar yang ikhlas meninggalkan bangku sekolah demi perjuangan itu juga diandalkan menyusup ke wilayah yang dikuasai musuh.

Seperti saat peristiwa Hijrah “Maung” Siliwangi ke Yogyakarta, imbas dari Perjanjian Renville 17 Januari 1948. Anggota TP Batalyon 400, terkhusus di Kuningan, banyak terlibat aktivitas mata-mata. Mereka mengumpulkan pelbagai informasi penting, yang disampaikan ke gerilyawan Tentara Republik Indonesia (TRI).

Kartasumitra (1981:31) mengisahkan dalam bukunya: “Dengan adanya ketentuan ini, maka Letnan Kolonel Abimanyu, menyarankan supaya anggota-anggota pelajar pejuang masuk kembali ke kota dan tinggal di daerah pendudukan Belanda, untuk tetap memelihara semangat perjuangan…

Lambat laun, kompeni mengendus aksi spionase tersebut. Maka dilakukan pembersihan besar-besaran. Ketiga sahabat, Abdul Adjid, Afidik, dan Mohammad Chalil, terciduk aparat Belanda pada 22 Agustus 1948 dan langsung dieksekusi. Sementara komandan mereka, R.E. Mohamad Sulaeman, berhasil meloloskan diri dengan bergabung ke markas gerilyawan di Sagarahiang, pelosok desa di Kuningan.

Perpustakaan 400: Jejak Pengabdian Tentara Pelajar (1)
Perpustakaan 400 masih sering dikunjungi pelajar sekolah untuk melakukan pembelajaran di luar kelas/Mochamad Rona Anggie

Mengenang Jasa Pasukan Kelana Sakti 

Guna mengenang kepahlawanan ketiga Tentara Pelajar, pemerintah membangun Monumen Perjuangan Tentara Pelajar pada 1971 di sisi barat Jalan Raya Cirebon–Kuningan. Tidak jauh dari jembatan Sungai Cisande, tempat jenazah ketiganya ditemukan (Ibid, hal. 86). Adapun untuk mengenang keberanian R.E. Mohamad Sulaeman selaku komandan tempur pasukan Kelana Sakti—tim inti Yon 400, dibuatlah patung berbahan kuningan murni, mengabadikan sosoknya di halaman depan Perpustakaan 400.

Secara resmi, pemerintah membubarkan Tentara Pelajar pada 1950. Pada kesempatan itu, pemerintah juga memfasilitasi anggota Tentara Pelajar bila ingin meneruskan karier di kemiliteran, atau melanjutkan studi dengan biaya ditanggung negara.

Satu masa perjuangan bersama Tentara Pelajar Batalyon 400 Brigade XVII Siliwangi, yang di kemudian hari menjadi pejabat penting, di antaranya Solihin Gautama Purwanegara (Komandan Brigade XVII SLW). Ia menjadi Gubernur Jawa Barat periode 1970–1975 dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI.

Lalu, Umar Wirahadikusumah, yang saat berpangkat kapten turut mencicipi gerilya di Sagarahiang. Jenderal (Purn) TNI Umar Wirahadikusumah kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-9 (1969–1973), dan tercatat sebagai Wakil Presiden ke-4 RI periode 1983–1988.

Ada pula Letnan Jenderal (Purn) TNI Raden Mohammad Yogie Suardi Memet. Mantan Danjen Kopassus ke-8 (1975–1978), Panglima Kodam VI Siliwangi (1978–1983), Gubernur Jawa Barat (1985–1993), dan Menteri Dalam Negeri (1993–1998). 

Tidak ketinggalan, Komandan TP Batalyon 400, Drs. Salamun AT. Ia pernah duduk di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sampai tingkat III (1952), lalu lanjut ke Rijksbelasting Academie, Rotterdam, Belanda (1955). Kemudian mengabdi di pelbagai instansi pemerintah, menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan (1973–1981) dan Direktur Jenderal Pajak (1981–1988) di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Pria kelahiran Cirebon itulah yang menggoreskan tanda tangan di prasasti peresmian gedung Perpustakaan 400 pada 10 November 1984. Prasasti tersebut masih menempel di tembok depan gedung Perpustakaan 400 hingga saat ini.

Perpustakaan 400: Jejak Pengabdian Tentara Pelajar (1)
Prasasti peresmian Perpustakaan 400 pada tanggal 10 November 1984/Mochamad Rona Anggie

Salamun AT merupakan Ketua Umum Ikatan Pelajar (Ikkel) 400. Anak bungsu Salamun, Dra Saliranti (58) menuturkan dirinya baru berumur 18 tahun ketika sang ayah meresmikan gedung Perpustakaan 400. Namun, Sali—sapaannya—tidak ingat persis sejak kapan ayahnya menjadi ketua umum Ikkel 400. Yang dia tahu, tidak ada periodisasi kepemimpinan. Bahkan teman-teman ayahnya menghendaki eks Danyon 400 Tentara Pelajar itu terus menjabat. “Jadi, ya, seumur hidup,” katanya. 

Baru setelah meninggal tahun 2000, posisi Salamun AT digantikan Saleh Basarah, mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) 1973–1977. Beliau wafat tahun 2010. Kemudian, estafet kepemimpinan pengurus Ikkel 400 beralih ke putranya, Mohammad Lendi Basarah, sampai sekarang.

Pada 15 Juli 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi penghargaan kepada sepuluh mantan Dirjen Pajak selama rentang 1981–2017. Termasuk Salamun AT. 

(Bersambung)


Referensi:

Kartasumitra, R.E.S. dan Langgeng, S. 1980. Anjangsana ke Sagarahiang. Jakarta. Catatan Pribadi.
Kartasumitra, R.E.S. 1981. Kelana Sakti sebagai Pasukan Inti dari Batalion 400 Tentara Pelajar. Jakarta. Catatan Pribadi.
Ekadjati, Edi S., dkk. 1987. Monumen Perjuangan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar