Syahdan, saya berdialog via WhatsApp bersama sejarawan asal Bandung, yaitu saudara Budimansyah. Kang Odon, sebutan akrabnya. Di tengah kesibukan disertasinya, ia berpendapat bahwa saat ini kajian-kajian kritis terhadap manuskrip peta—yang pembuatannya secara manual atau menggambar dengan tangan—sebagai sumber sejarah merupakan “barang langka”.

Padahal jika mengkaji dan menggali segala macam informasi di dalamnya, akan memperkaya sumber-sumber sejarah yang lain. Sebuah catatan sejarah akan benar-benar utuh dan sangat bermanfaat untuk kepentingan pariwisata. Khususnya wisata arkeologi sejarah, seperti sejumlah komunitas penggiat sejarah telah lakukan. Misalnya, Komunitas Aleut, Komunitas UPIlawas, Bogor Historical Walk, Roode Brug Soerabaia, Cimahi Heritage, dan banyak lagi.

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Facsimile Peta Ciela/Wikimedia Commons

Saya sependapat dengan Kang Odon terkait kelangkaan kajian manuskrip peta. Berdasarkan hasil penelusuran, saya melihat kajian manuskrip peta wilayah Nusantara di masa lalu masih sangat minim. Baik buatan masyarakat Nusantara dahulu kala (misalnya peta Ciela, atau peta Nusantara beraksara Bugis) maupun buatan Barat, seperti manuskrip peta wilayah Nusantara era VOC—yang terkompilasi di dalam Atlas Induk VOC (Grote atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie) Vol. II dan III.

Di Indonesia, baru tiga orang pakar yang telah berkolaborasi meneliti manuskrip peta Nusantara, khususnya mengkaji Peta Kuno Ciela, yaitu Undang Ahmad Darsa, Yuyu Yohana Risagarniwa, dan Anton Charliyan; yang hasil penelitiannya terdapat di dalam artikel Peta Ciela Garut: Sebuah Peta Kontinental di Sunda Abad XVI Masehi. Sementara itu pakar Indonesia yang mengkaji manuskrip peta VOC, sejauh yang saya tahu belum ada. Padahal dari sana kita dapat melihat bagaimana VOC secara sistematis membuat peta sebagai alat hegemoni politik, yakni dengan menentukan batas wilayah, mengubah toponimi, mengubah peletakannya, dan lain-lain.

Hal yang dapat kita gali dari sebuah manuskrip peta adalah daftar toponimi (nama tempat) yang akan bermanfaat untuk penelitian-penelitian lanjutan. Selain toponimi, pada sebuah manuskrip peta sering pula ditemukan catatan tambahan yang biasanya ditulis oleh si pembuat peta. Ilmu kartografi menyebutnya sebagai commentary.

Contoh Kajian Manuskrip Peta Secara Mandiri

Saya mencoba melakukan kajian mandiri terhadap sebuah manuskrip peta MS VEL 1168. Saya mengunduhnya di situs Nationaal Archief Belanda secara gratis dan telah menjadi domain publik. Manuskrip peta tersebut berangka tahun 1701, yang menggambarkan wilayah (saat ini) Bogor dan sekitarnya. Peta tersebut hasil buatan Cornelis Coops (kartografer VOC) dan Michiel Ram (perwira VOC).

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
MS VEL 1168 (identitas digital NL-HaNA_4.VEL_1168)/Nationaal Archief

Untuk dapat mengkaji demi mendapatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya, saya menggunakan metode yang terbagi dalam tiga langkah utama. Pertama, menganalisis elemen-elemen pembentuk peta, yaitu simbol-simbol, skala, compass rose (arah mata angin), dan lain-lain. Kedua, menganalisis elemen-elemen tekstual yang ada pada peta, seperti teks toponimi dan commentary. Ketiga, tahapan interpretasi, yaitu membandingkan hasil analisis tersebut dengan sumber-sumber lainnya, baik sumber kartografis (manuskrip peta Portugis, Spanyol, Ottoman, dan lain-lain) maupun non-kartografis (prasasti, naskah kuno, catatan arsip VOC) yang bersifat diakronis (antarmasa) maupun sinkronis (semasa). Selain itu dibandingkan pula dengan hasil-hasil penelitian terdahulu terkait wilayah yang terdapat pada peta VOC tersebut.    

Bagian tersulit untuk mengkaji manuskrip peta VOC adalah menganalisis elemen tertulis, baik toponimi maupun commentary. Analisis tersebut terdiri dari dua tahapan, yaitu transliterasi ke aksara modern lalu menerjemahkannya. Penyebab kesulitan tersebut adalah aksara di dalamnya masih berupa tulisan tangan khas VOC abad ke-17—18.

Untuk dapat membacanya, saya terbantu dengan buku Schriftspiegel, Oud-Nederlandse handschriften van de 13e tot de 18e eeuw, karya P. J. Horsman dan J. P. Sigmond. Pada tahap penerjemahan, penulis juga berpedoman pada kamus A Large Dictionary English and Dutch Vol. I dan II terbitan 1708 karya W. Sewell, yang di dalamnya terdapat penjelasan aturan tata bahasa Belanda.

Tata bahasa Belanda saat itu masih menggunakan “kasus”, atau aturan penggunaan artikel pada kata benda yang dapat menunjukkan apakah kata benda tersebut merupakan subjek, objek, atau atribut. Ditambah pula dengan terdapatnya kesalahan tulis, kata-kata bahasa Belanda arkais yang sudah tidak digunakan lagi saat ini, serta afkortingen atau singkatan-singkatan—yang jika tidak teliti maka akan salah dalam membacanya.  

Data Toponimi dalam Manuskrip 

Dari hasil analisis, saya menemukan banyak hal yang luar biasa. Tentu saja tidak mungkin saya jabarkan semuanya, tetapi contohnya saja. Misalnya dari segi toponimi, terdapat tiga toponimi yang menarik, yaitu Padjajaran (teridentifikasi sebagai Pajajaran), Rands jamaja (teridentifikasi sebagai Rancamaya), dan Jamboelowok (teridentifikasi sebagai Jambuluwuk).

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar toponimi Padjajaran dalam MS VEL 1168/Nationaal Archief

Ketiga toponimi tersebut sangat identik dengan Kerajaan Sunda abad ke-13—16. Menurut Saleh Danasasmita di dalam buku Mencari Gerbang Pakuan dan kajian lainnya mengenai Budaya Sunda, Pajajaran merupakan nama Kerajaan Sunda. Akan tetapi, Ayatrohaedi di dalam bukunya yang berjudul Sundakala berpendapat bahwa Pajajaran merupakan nama ibu kota.

Kemudian toponimi Rancamaya di dalam MS VEL 1168 ini terdapat di dalam naskah Carita Parahyangan, yang letaknya telah diteliti oleh Budimansyah dkk, dan tercurah dalam artikel jurnal Patanjala berjudul Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya: Telaga Buatan sebagai Solusi Bencana.

Rancamaya pada MS VEL 1168 memiliki dua toponimi, yaitu sebagai toponimi permukiman dan sungai. Rancamaya sebagai permukiman di dalam MS VEL 1168, kurang lebih sama dengan letak Rancamaya berdasarkan hasil penelitian dari Budimansyah dkk.

Selanjutnya, Jambuluwuk merupakan toponimi sebuah batur (tempat suci) yang terdapat di dalam naskah Sunda kuno, yang oleh Noorduyn di dalam buku Three Old Sundanese Poems, diberi judul The Sons of Rama and Ravana. Sementara pada MS VEL 1168, Jambuluwuk adalah toponimi sebuah sungai.

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar toponimi Jamboelowok dalam MS VEL 1168/NationaalArchief)

Data Commentary dalam Manuskrip

Selain toponimi, terdapat pula informasi menarik pada commentary yang terdiri dari 89 baris. Catatan ini merupakan laporan perjalanan survei untuk pembuatan peta MS VEL 1168. Berdasarkan commentary, ternyata manuskrip peta tersebut sangat eksklusif dan hanya untuk kepentingan Gubernur Jenderal VOC saat itu, yaitu Willem van Outhoorn. Perjalanan survei berlangsung dari tanggal 23 Juli sampai dengan 1 Agustus 1701. Hal yang sangat menarik adalah catatan perjalanan tanggal 30 Juli 1701, yang memuat informasi berikut ini.

Pada tanggal 30 pagi hari pukul 6, kami meninggalkan Kampong Baroe dan mengambil jalan menuju Padjajaran, [kami] menyeberangi sungai besar di sekitar negorij tje Bantar Kambang, dan tiba di Padjajaran sekitar jam 7; dahulu [tempat itu] merupakan istana raja Pakkowangh, yang terletak di ketinggian yang ideal di antara sungai Tsiliwong dan Tangerang, dengan lebar sekitar 250 roed; di tempat reruntuhan ini ditemukan berbagai peninggalan kuno, seperti: batu pipih setinggi sekitar 6 atau 7 dan 8 kaki; lebar, bundar dan diapit dengan beberapa batu besar, dan dengan aksara usang dan tidak terbaca [yang berasal] dari zaman kuno [yang berjumlah] 6 baris sama [panjang]. Di dekatnya masih ada 6 batu bulat berdiri, seperti tunggul pohon, setinggi 2, 3, 4, dan 5 kaki, sementara yang terbesar, yang berdiri tiga kaki dari batu tulis pipih, jatuh karena gempa bumi yang hebat. Enam atau tujuh roed dari batu pipih tersebut di atas, berdiri lagi tiga patung, setinggi 2½ dan 1½ kaki, sekilas menyerupai manusia, tetapi sangat montok dan tidak dipahat dengan halus; tidak tampak hal lain lagi yang perlu diperhatikan, selain struktur yang tinggi dan juga rendah, serta dua pohon tua besar di pintu keluar, yang menurut orang-orang pribumi, adalah benteng dan parit, sementara sepasang pohon itu adalah gerbang benteng yang hancur ini.  

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar “Commentary”, catatan 30 Juli 1701 dalam MS VEL 1168/Nationaal Archief

Sekilas catatan tersebut tampak menggambarkan situs Prasasti Batutulis dan situs Arca Purwakalih. Namun, setelah penelitian lebih lanjut ternyata menggambarkan sesuatu yang berbeda. Perbedaan pertama, Prasasti Batutulis berisi 8½ baris, bukan 6 baris. Kedua, batu tunggul yang ada di dekat Prasasti Batutulis hanya satu, sementara pada informasi commentary berjumlah 6 buah batu tunggul; yang mana batu tunggul terbesarnya telah tumbang akibat gempa. Ketiga, berdasarkan Google Maps jarak antara Prasasti Batutulis dan Arca Purwakalih adalah sekitar 150 meter, sedangkan menurut commentary jarak keduanya adalah 7 roed (1 roed=3,77 meter) atau sekitar 26,39 meter.

Berdasarkan perbedaan itu, maka yang tertera pada commentary bukan merupakan gambaran lokasi kedua situs, melainkan tempat yang berbeda. Mungkinkah ada prasasti peninggalan Pajajaran lainnya selain Prasasti Batutulis? Jika ada, maka di mana lokasi tempat prasasti tersebut berada? Apa saja isinya? 

Harapan Penelitian Manuskrip Lanjutan

Itulah kira-kira ringkasan hasil kajian yang telah saya lakukan secara mandiri pada MS VEL 1168. Makin dalam menelusuri, maka kian penuh misteri dan pertanyaan.

Mungkin, jika hasil kajian saya bisa terbit, saya berharap bisa membuka jalan ke penelitian manuskrip peta wilayah Nusantara lainnya. Sehingga gairah para arkeolog, sejarawan, komunitas penggiat sejarah, serta masyarakat umum akan kembali dinamis. Semangat dalam penggalian kisah dari sumber-sumber sejarah, apa pun dan di mana pun, makin meningkat. 

Selanjutnya, apabila penelitian-penelitian manuskrip peta lainnya telah dilakukan, maka hasil kajian yang didapatkan tentunya dapat menjadi bahan kajian bagi peneliti selanjutnya. Baik para sejarawan maupun arkeolog.

Tak hanya itu. Hasil kajian bisa juga menjadi bahan untuk memperkaya penyajian beberapa kisah tertentu, khususnya oleh para komunitas penggiat sejarah dan cagar budaya. Tentu saja dalam menyajikan dan menikmatinya perlu upaya mencerna secara kritis. 

Sumber peta:

Facsimile Peta Ciela (Public Domain), https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Facsimile_of_the_Ci%C3%A9la_Map.jpg

MS VEL 1168 (Public Domain), https://www.nationaalarchief.nl/en/research/map-collection/NL-HaNA_4.VEL_1168?searchKey=1895025c00fd240a482e3a48f3fe63b5

Peta Nusantara Beraksara Bugis (Public Domain), https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Buginese_chart_of_the_East_Indian_Archipelago_-_ca._1820_-_UB_Utrecht.jpg


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar