Di akhir 2019 lalu, sebelum pandemi tiba di Indonesia, saya bersama ke empat rekan menutup 2019 di Ujung Jawa. Tahun ini, di tengah kisruh PCR, Antigen dan Vaksin, saya dan Vero memutuskan untuk pergi ke Bali. Ya, saya memang seringkali memilih akhir tahun atau awal tahun untuk berhenti sejenak dan menghabiskan waktu di luar ruangan, bersama dengan teman, keluarga maupun pasangan.
Kami berencana untuk tinggal kurang lebih 1 bulan di Canggu bersama 2 rekan lainnya. Harga sewa vila di sini per bulan lumayan murah karena corona. Pun, Vero belum pernah menghabiskan tahun baru di Bali. Namun tentunya, pergantian tahun ini tak ada party-party di bar dan pub bernama latin yang berserakan di Canggu dan Seminyak. Semuanya dibatasi, warga dan turis “terpaksa” melewati malam tahun baru di rumah atau vila masing-masing.
Kami yang berkunjung ke vila teman di Canggu pun demikian, hanya memasak bersama dan membuat sangria. Vila teman ini berlokasi dekat La Favela yang minus antrian turis -turis mabuk. Malam itu, La Favela sepi, gelap, dan tampak suram. Tak ada gegap gempita petasan dan kembang api, malam perpindahan tahun dibungkam oleh corona.
Saya sebenarnya mensyukuri tidak ada pesta-pesta kembang api itu. Kami bisa menghabiskan malam dengan mengobrol hingga pagi, bicara tentang tahun-tahun sebelum corona, tentang mantan pacar dan bos yang menjengkelkan dan juga berjasa, tentang ibu mertua dan komplek-komplek rumah dinas pertambangan di Sumatera, dan tentang harapan-harapan tahun depan.
Tapi ternyata Vero telah menyusun rencana diam-diam, menyiapkan sebuah “surprise trip” untuk kami berdua. Lewat kenalannya, Vero mendapatkan kontak jasa penyewaan mobil camper (campervan ) yang baru buka di Bali, bernama Puku Camper. Berlokasi di Denpasar, Puku Camper selain menyediakan beberapa armada campervan, juga memberikan rekomendasi tempat-tempat yang bisa dikunjungi dan singgah untuk bermalam.
Ini merupakan pengalaman pertama saya maupun Vero, melakukan trip kecil, mengendarai dan menginap di mobil campervan di Bali. Oleh karena itu, saya hendak berbagi pengalaman tentang trip singkat selama 3 hari 2 malam dengan mobil campervan. Semoga bisa menjadi inspirasi yang baik, mungkin bisa menjadi pilihan perjalanan saat di Bali.
Hari 1: Kabut di Pinggan, Kintamani
4 Januari. Kami bersiap melakukan perjalanan pertama dengan campervan. Sebelumnya, kami telah sepakat dan juga direkomendasikan oleh pihak Puku, untuk menjadikan Pinggan, sebuah desa di Kintamani sebagai tujuan hari pertama.
Dari tempat tinggal kami di Canggu, kami mendatangi basecamp Puku di daerah Penatih, Denpasar. Puku sebenarnya memberikan layanan antar-jemput, namun kami memilih untuk datang menjemput, sambil mengobrol dengan Indra, pengelola Puku Camper.
Puku memiliki beberapa jenis mobil yang dijadikan armada, mulai dari Suzuki APV, Daihatsu Gran Max dan Volkswagen Transporter. Semua armada ini telah dimodifikasi, ditambahkan fitur-fitur tempat tidur, laci, sumber listrik, alat memasak dan makan, hingga tenda pendukung.
Kami memilih menggunakan mobil yang paling “besar” untuk perjalanan ini, yaitu Volkswagen Transporter. Setelah Indra menjelaskan fitur dari armada beserta tips dan triknya, kami memulai perjalan ke tujuan pertama yakni daerah Pinggan.
Ini pertama kalinya saya menyetir kendaraan sepanjang ini. Butuh waktu untuk beradaptasi, terutama di jalanan Bali yang relatif sempit dan ramai pengendara motor. Tapi berkendara, baik dengan sepeda, sepeda motor maupun mobil (di luar Jakarta) adalah hal yang saya lakukan untuk menenangkan diri. Jadi sebenarnya, saya menikmati mengendarai campervan ini.
Setelah berhenti untuk membeli bahan makanan dan diesel, kami bergerak pelan menuju Pinggan, menyusuri Abiansemal lalu ke atas ke arah Ubud dan Tegalalang. Jalanan menanjak perlahan-lahan, dan hari tiba- tiba mendung. Di bulan Januari ini, memang hujan rajin datang hampir tiap hari di Bali.
Lewat kaca kami mulai melihat banyak buah terutama jeruk dijajakan di kios-kios pinggir jalan, dan tiba-tiba kabut turun. Jarak pandang yang menjadi lebih dekat membuat kami memacu mobil lebih pelan. Vero lumayan bawel kalo urusan mengemudi, jadi dia sibuk melihat kanan kiri dan mengingatkan saya untuk selalu waspada.
Puku Camper telah mengabarkan kami untuk menjadikan Pura Puncak Penulisan sebagai patokan untuk mencapai daerah perkemahan di Pinggan. Kami sampai di Pura Puncak Penulisan di Kintamani di sore hari, dan jalanan semakin menanjak dan berkelok. Suasana ini mengingatkan saya pada jalan- jalan menuju Leuwi Hejo di Cibadak, Jawa Barat.
Di warung-warung kecil, di tengah gerimis, banyak anak-anak anjing Kintamani meringkuk di kandang, menanti laku. Ketika hampir mencapai tempat yang direkomendasikan oleh Puku, ladang sayur banyak di kiri kami, sementara di kanan, banyak disediakan tempat camping, baik yang berupa camping ground ataupun hanya sepetak tanah di ujung tebing, guna menginap dan menikmati matahari terbit keesokan hari.
Kami memilih berhenti di Pinggan Sunrise Spot, ketika hari sudah senja. Setelah membayar Rp20 ribu untuk ongkos masuk, menggunakan toilet, dan juga listrik untuk mengecas handphone, kami mendirikan tenda. Saya juga mengeluarkan kompor gas kecil dan memanggang jagung. Tidak ada satupun orang lain yang berkemah pada malam itu, hanya saya dan vero. Setelah itu kami mandi, menyusun kasur, mengobrol dan menikmati hening, hingga tertidur.
Keesokannya, pagi sekali vero sudah bangun. Setelah menikmati matahari terbit, kami memasak sarapan. Setelah vero selesai berfoto-foto,mencuci piring, mengemasi tenda, kami beranjak meninggalkan Pinggan. Tujuan berikutnya adalah Pantai Keramas.
Hari ke 2: Tak jadi Keramas, putar balik Karangasem
Untuk menuju Pantai Keramas, kami harus jauh turun ke daerah By Pass Gianyar. Dari Pinggan, sebelumnya kami berencana untuk menuju air terjun Tukad Cepung. Namun, dalam pemberhentian kami di sebuah coffee shop dekat danau Batur, si barista mengingatkan kami bahwa hujan dan siang hari bukan waktu yang baik untuk mengunjungi Tukad cepung. Oleh karena itu, kami mengubah rencana.
Setelah berdiskusi sejenak, akhirnya kami sepakat untuk mengunjungi Pura Tirta Empul, di Tampak Siring. Terletak bersebelahan dengan Istana Presiden, Tirta Empul terlihat sangat sepi. Ini kali kedua nya buat saya datang ke Tirta Empul, sementara Vero datang untuk yang pertama kali. Kami berganti baju, menggunakan sarung, dan ditemani seorang pemandu merangkap fotografer, kami siap mandi di kolam Tirta Empul.
Bagi masyarakat Hindu, terdapat ritual penyucian pembersihan diri di Tirta Empul yang biasa disebut dengan “melukat.” Sang pemandu menjelaskan banyak hal kepada kami, yang setengah kedinginan diguyur segarnya air Tirta Empul.
Selesai di sini kami bergegas menuju Pantai Keramas. Jalanan yang relatif kecil, berkelok, dan naik turun membuat saya untuk cukup berhati-hati mengendarai campervan. Namun, untuk kamu yang gemar berkendara, sungguh ini adalah perjalanan yang memanjakan mata. Melewati sawah-sawah yang menguning, rumpun-rumpun jepun, dan desa- desa dengan pagar dan pura khas Bali.
Kami sampai di dekat Keramas, dan menuju warung seafood. Sayangnya, tak sesedap warung-warung di dekat Pasar Kedonganan, Jimbaran. Dengan sedikit kecewa, kami menuju pantai Keramas, namun kami tambah kecewa. Pantai Keramas tidak seperti yang kami bayangkan, bahkan kami rasa kurang “asik” untuk dijadikan tempat berlabuh hari itu. Kami meminta rekomendasi ke Indra dan berdiskusi, hingga akhirnya memutuskan untuk menuju Bumi Perkemahan Bukit Asah di Karangasem.
Matahari telah jatuh, kami memacu mobil cukup kencang di jalanan By Pass yang lenggang. Vero menyetir dari Keramas hingga Candi Dasa, sebelum berhenti untuk membeli Hatten putih. Dari Candi Dasa, perjalanan ke Bukit Asah memakan waktu hingga 40-50 menit. Jalanan yang menanjak dan tidak ada lampu jalan, membuat kami memacu kendaraan pelan.
Untuk masuk ke daerah Bukit Asah yang satu arah dengan Virgin Beach, kita harus membayar Rp10 ribu. Sementara untuk biaya menginap, termasuk parkir dan menggunakan fasum seperti toilet di Bukit Asah sebesar Rp30 ribu per orang. Di sini terdapat warung yang menjual makanan dan minuman, membuat kami malas untuk memasak. Hujan kemudian datang deras sekali hingga tengah malam, kami pun tidur ditemani rintik hingga pagi.
Kami terbangun cukup siang dari yang kami harapkan, kemudian segera bergegas. Saya memastikan semua peralatan tak ada yang ketinggalan, mengecek bahan bakar dan lampu-lampu indikator. Vero membersihkan dalam campervan, mengecek alat- alat sudah dibersihkan, dan duduk manis di bangku depan.
Sebelum kembali pulang, kami sepakat untuk mengunjungi Virgin Beach yang tak jauh dari Bukit Asah. Vero yang sudah sering ke Virgin Beach, terperangah melihat betapa sepi nya pantai itu. Hanya ada rombongan kecil bule yang menyewa tempat perkemahan di depan pantai. Warung-warung hampir semua tutup. Kabar gembiranya, tak ada sampah plastik menggunung ataupun bertebaran di bibir pantai. Kami memesan kelapa muda dan makan pisang goreng.
Setelah pamit, kami bergegas pulang menuju Denpasar. Vero tertidur di bangku depan. Saya menyetir dengan tenang, mendengarkan lagu-lagu dari Silampukau, melintasi jalan By Pass yang cukup lenggang. Sekitar jam 4 sore, kami tiba di markas Puku Camper.
Saya rasa, kami berdua cukup menikmati pengalaman ini, terutama bagi saya yang bermimpi di suatu hari dapat berkunjung mengelilingi Patagonia nun jauh di utara dengan campervan. Semoga ya. Astungkara.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.