Dengan hamparan kebun teh, kentang, dan kopi Malabar, Pangalengan tidak sepopuler Ciwidey. Padahal jaraknya cukup berdekatan.
Di salah satu desa di Pangalenganlah saya menghabiskan waktu setahun lebih tinggal di sebuah rumah kontrakan tiga kamar. Sang pemilik kontrakan berbaik hati menyewakan rumah beserta isinya dengan harga dua kali lipat lebih murah daripada kontrakan di Bandung. Hasil bumi seperti sayuran di Pangalengan harganya juga relatif murah. Lebih segar pula tentunya. Alasan lainnya kenapa saya tinggal dalam waktu lama di sana adalah karena akhirnya saya bisa merasakan dingin yang selalu saya anggap mewah; Pangalengan adalah tempat bagi saya untuk balas dendam.
Dari kecil hidup di wilayah tropis membuat saya selalu beranggapan bahwa dingin itu hanya untuk orang kaya. Untuk merasakan suasana dingin, rumah kita perlu AC—dan itu pasti mahal harganya—atau kita perlu liburan dan mengeluarkan uang untuk menginap di vila dengan latar pegunungan seperti dalam sinetron. Sewaktu bersekolah dan menikmati romantisme Jogja, Kaliurang selalu menjadi tempat favorit saya untuk sekadar merasakan dinginnya udara. Terkadang, jika ada waktu yang lebih luang, Tawangmangu ataupun Dieng menjadi sasaran saya. Segarnya akurat. Cocok dengan hobi saya yang tak suka mandi.
Begitulah. Sampai sekarang saya tetap beranggapan bahwa merasakan suasana sejuk, segar, dan dingin adalah kemewahan. Karena itulah ketika mengenal Pangalengan saya merasa tempat itu pas untuk melampiaskan dendam masa kecil saya.
Saya tak hafal berapa Celsius Pangalengan saat pagi hari, mungkin 10 atau 15 derajat. Yang pasti, minyak goreng di rumah selalu membeku padahal tidak dimasukkan ke dalam kulkas. Dan jangan harap teh panasmu akan bertahan lama. Melamun sebentar saja minuman itu sudah keburu dingin.
Selama tinggal di Pangalengan, saya mesti beradaptasi. Tidak manja dengan dingin menjadi syarat utama. Dingin itu memanjakan. Selimut dan kasur lebih menggoda daripada keluar rumah. Saya juga jadi membiasakan mandi tanpa memanaskan air, walaupun untuk itu saya harus berjuang mengumpulkan niat.
Pangalengan memang cocok buat mereka yang suka bermalas-malasan. Atau ingin menikmati hidup santai. Menikmati pensiun hari tua, orang bilang. Sayangnya, saya bukan di golongan itu, sebab tidak punya tunjangan pensiun. Sekali lagi saya bilang, tujuan saya tinggal di Pangalengan adalah untuk menjawab rasa penasaran saya sejak kecil.
Kabut tipis selalu hadir di antara pagi dan sore hari, membuat jarak pandang di luar menjadi terbatas. Kesannya memang misterius. Tapi, selama di Pangalengan, ketimbang mengingat film horor, saya lebih sering membayangkan film Kabayan yang kerap mengangkat suasana pedesaan di gunung. Ada salah satu adegan yang bagi saya membekas dalam film itu, yakni saat Nyi Iteung (Nike Ardilla) menangis di kebun teh. Melihat Kabayan (Didi Petet) sedang mengobrol asyik berdua dengan entah siapa, Nyi Iteung cemburu. Padahal Kabayan yang polos itu sedang berbicara dengan jin. Dialognya saya lupa, tapi suasana tempatnya masih jelas dalam ingatan.
Selain ke pasar membeli kebutuhan di rumah, menyusuri jalan-jalan di Pangalengan adalah salah satu kegiatan favorit saya. Senang sekali rasanya melihat hamparan teh di Cukul, atau makan mi ayam di depan Vila Jerman, atau menikmati matahari terbit di Situ Cileunca, atau bersantai di Gunung Nini.
Pada akhirnya saya memang harus meninggalkan Pangalengan untuk pergi ke tempat lain. Saya mesti berkata cukup untuk Pangalengan, meskipun saya tidak bisa juga mengatakan bahwa dendam saya untuk tinggal di tempat dingin sudah mencair. Tapi, kadang hal-hal yang tidak tercukupkan itulah yang membuat rindu terhadap masa lalu terasa lebih menyenangkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.