Travelog

Mengenal Lebih Dekat Kehidupan di Tepian Waduk Jatigede

Sebagian jalan desa itu kembali terlihat. Musim kemarau yang berjalan beberapa bulan lamanya telah membuat air Waduk Jatigede surut. Bagian-bagian waduk yang biasanya terendam air, kini kembali menyembul ke permukaan. Bukan hanya jalan, sisa-sisa bangunan rumah milik warga yang kampungnya terpaksa ditenggelamkan demi pembangunan waduk juga kembali terlihat dengan jelas.

Persis Kamis, 9 September lalu, pagi itu, saya berdiri di salah satu sudut Desa Darmaraja, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa barat, yang sebagian wilayahnya kini berada di pinggiran Waduk Jatigede.

Perahu motor di Jatigede
Perahu motor di Jatigede/Djoko Subinarto

Angin bertiup kencang. Berjarak sekitar 300 meter dari tempat saya berdiri, sebuah kapal motor melaju perlahan mendekat. Di atas kapal motor itu dipasangi bendera merah putih. Kapal motor tersebut menjadi salah satu alat transportasi warga desa untuk menuju desa lainnya yang sejak 2015 lalu dipisahkan oleh Waduk Jatigede. Naik perahu motor jauh lebih cepat sampai di tujuan ketimbang menggunakan rute darat yang harus memutar.

Selain sebagai sarana transportasi penduduk, kapal motor itu juga dapat disewa oleh para wisatawan untuk berkeliling Waduk Jatigede.

Di sisi kanan, tak begitu jauh dari tempat saya berdiri, beberapa perempuan remaja belia terlihat berjalan-jalan di pinggir waduk sembari beberapa kali mengatur pose untuk melakukan swafoto. Pagi itu, mereka lebih dahulu datang ke Jatigede ketimbang saya.

Saya langkahkan kaki ke sisi utara. Angin pagi bertiup dengan kencang. Bagian-bagian waduk yang sepanjang musim hujan tergenangi air, kini terlihat kering kerontang. Saat berjalan itu, saya sempat menyaksikan beberapa reruntuhan bekas kamar mandi warga.

Bekas kamar mandi yang kembali terlihat
Bekas kamar mandi yang kembali terlihat/Djoko Subinarto

Bagi warga yang dulunya bermukim di daerah-daerah yang kini menjadi bagian Waduk Jatigede, tatkala melihat kembali reruntuhan bangunan-bangunan itu, boleh jadi bakal terlarut dalam romantisme atau bahkan rasa nelangsa yang mendalam.

Bayangkan, tempat yang dulu mereka diami, kampung yang dulu mereka huni, halaman tempat mereka bermain, kini harus lenyap, tenggelam, dan menjadi bagian dari sebuah waduk raksasa. 

Saya terus berjalan ke arah utara. Di ujung, terlihat beberapa pulau kecil. Ada tiga perahu berada di tepian. Yang satu masih kosong. Yang dua lagi berisi tumpukan-tumpukan pupuk. Pupuk-pupuk ini akan segera dibawa ke seberang, ke beberapa pulau kecil, di mana sejumlah warga melakukan aktivitas pertanian.

Saya melemparkan pandangan ke sudut lainnya. Terdapat sejumlah perempuan dan beberapa anak yang sedang nyemplung ke dalam waduk. Mereka terlihat kerap membungkukkan badannya, memungut sesuatu. Air waduk menutupi bagian bawah tubuh mereka.

Mencari tutut
Mencari tutut/Djoko Subinarto

Saya dekati mereka, karena penasaran ihwal apa yang sedang mereka lakukan.

“Sedang nyari tutut. Ayo, video! Biar nanti bisa masuk YouTube,” teriak salah seorang dari mereka, tatkala ditanya apa yang sedang mereka lakukan.

Tutut (Pila ampullacea) adalah siput kecil yang biasa hidup di air tawar. Selain di sawah, tutut juga hidup di sungai, danau atau waduk.

Mencari tutut menjadi aktivitas rutin yang dilakukan sebagian warga ketika air Jatigede surut. Tutut yang mereka dapatkan kemudian dijual kepada bandar. Harganya Rp4.000 per kilogram. Tapi, tak semua pencari tutut menjual tutut yang mereka dapatkan ke bandar. Sebagian mencari tutut untuk dikonsumsi sendiri, sebagai lauk-pauk pendamping nasi.

Tak jauh dari para pencari tutut, sebuah perahu motor terdampar di atas tanah yang kondisinya setengah mengering. Dua anak kecil bermain-main di dalam perahu motor itu.

Angin pagi yang sebelumnya bertiup kencang, kini tak terasa lagi. Hari mulai beranjak siang. Matahari terasa lebih menyengat. Air Waduk Jatigede terlihat semakin berkilauan disorot sinar matahari.

Ditanami jagung

Surutnya air Jatigede akibat kemarau menjadikan lahan-lahan yang tidak tergenangi air dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain. Misalnya, bercocok tanam. Maka, beberapa bagian waduk yang mengering akhirnya berubah menjadi lahan-lahan pertanian. Salah satu yang ditanam adalah jagung. Selain dipakai bercocok tanam, lahan-lahan yang mengering itu juga dimanfaatkan untuk membuka warung tenda sederhana oleh sejumlah warga. 

Lahan jagung di Jatigede
Lahan jagung di Jatigede/Djoko Subinarto

“Kalau lagi musim hujan, airnya sampai sini,” kata salah seorang pemilik warung tenda, yang lokasinya tidak jauh dari hamparan kebun jagung di Waduk Jatigede.

Warung tenda itu menyediakan makanan dan minuman ringan. Ada bangku panjang dari bambu untuk duduk-duduk para pengunjung. Menurut salah seorang warga, yang hari itu sedang mengantar barang dagangan menggunakan sepeda motor dan sempat diajak berbincang, Lebaran kemarin, permukaan air Jatigede masih tinggi.”Waktu Lebaran saya ke sini, yang sekarang jadi kebun jagung itu masih terendam air,” katanya.

Waduk Jatigede merupakan waduk terbesar kedua di Indonesia, setelah Waduk Jatiluhur di Purwakarta. Luas total Jatigede sekitar 4.983 hektare. Waduk ini menjadi sumber pengairan lahan-lahan pertanian di daerah Indramayu, Majalengka, dan Cirebon.

Dalam proses pembangunannya, sedikitnya 16.000 warga harus hengkang akibat kampungnya dijadikan lahan Waduk Jatigede. Meski telah direncanakan pembangunannya sejak era pemerintahan Hindia-Belanda, waduk ini baru terwujud pada akhir 2015. Area genangan Waduk Jatigede saat ini meliputi 28 desa di Kecamatan Darmaraja, Kecamatan Wado, Kecamatan Jatigede, dan Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata