Interval

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta

Bagi banyak budaya, pergerakan manusia selalu berpindah ke tempat-tempat yang berbeda. Semakin luas gerak yang dibuatnya, semakin luas pula ruang yang dibentuknya. Tempat-tempat yang didatangi menjadi ruang yang lahir karena perpaduan rasa dan gerak yang direkam oleh tubuhnya.

Beberapa bulan datang dan pergi di Yogyakarta, mengakrabkan saya tentang kota yang banyak dibangun oleh cerita wisata, daerah istimewa, dan berbagai penyematan lainnya. Pariwisata dan media telah membangun citra Yogyakarta, bahkan itu (mungkin) telah sampai kepada mereka yang belum sempat menjejakkan kaki di sini. Saya akhirnya menyadari betapa pentingnya narasi yang harus dibangun.

Akhir Februari 2024, dengan rasa ingin tahu lebih tentang keistimewaan Yogyakarta, bersama seorang kawan, Budi, kami mencoba melihat Jogja satu jam sebelum pergantian tanggal. Mengendarai sepeda motor Budi, kami membuka pembacaan terhadap Jogja dengan menyusuri jalan dari Tugu Golong Gilig, Malioboro, Titik Nol, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak, dan berbagai tempat di sekitarnya.

Perjalanan singkat malam itu mengantar bertemu beragam hal tentang “yang diabai dari yang Istimewa”. Perjalanan memantik rasa ingin tahu tentang ruang halaman depan dan halaman belakang (space), motor Budi mengantar tubuh sebagai medium untuk merekam emosi maupun gerak (mobilitas).

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Kondisi lalu lintas malam di Jl. Diponegoro, Yogyakarta/Abdul Masli

Memanggil Ingatan lewat Wedang Ronde

Sudah lama saat pertama kali mengenal dan mengecap wedang ronde. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika pertama kali pula datang ke Yogyakarta. Sejak itu, jajanan ini menjadi salah satu yang menetap cukup lama di ingatan. Pada suatu malam di dekat Pasar Kranggan, saya kembali mencoba wedang ronde yang dijajakan oleh pedagang kaki lima dengan gerobak dorongnya.

William Wongso, ahli kuliner Nusantara dalam pidato kebudayaannya di Jakarta (10/11/2023), menyampaikan bahwa lidah secara otoritatif dan linguistik menjadi anatomi pada manusia yang memiliki kemampuan mengingat jangka panjang, yang bisa jadi melebihi otak. William Wongso merujuk pendapat Prof. Dr. Jenny Sunariani, drg., M.S., Guru Besar Ilmu Biologi Oral Universitas Airlangga Surabaya, yang menyatakan otak manusia memengaruhi emosi karena desakan memori masa lalu. Mengutip pendapat Prof. Jenny yang dimuat di Kumparan (19/10/20148), William Wongso menyampaikan, saat lidah mengecap sebuah makanan yang pernah dikenalnya, secara tidak sadar otak manusia akan mengingat kembali kapan saat makanan itu (pernah) dirasakan.

Dalam suasana malam yang dingin, suapan kuah jahe hangat dan taburan kacang sangrai mendarat di lidah, seperti membenarkan pandangan William Wongso. Ingatanku terbawa pada tahun 2017 saat pertama mengecap wedang ronde bersama beberapa teman di depan sebuah hotel di Yogyakarta. Sejak saat itu, saya berpikir, suatu waktu saat kembali ke kota ini, wedang ronde mesti saya coba kembali. Senangnya, kini hal itu telah saya tunaikan.

Aroma wedang ronde yang saya hirup malam itu memberi suasana menenangkan. Kuah jahenya wangi. Ada potongan roti yang lembut di dalamnya. Ada pula ronde, yang berbentuk bulat putih dan terbuat dari tepung beras isi kacang. Ketika dikunyah, ronde pecah seperti bom di mulut. Kacang bercampur gula yang dimasukkan di tengahnya memenuhi seisi mulut. Malam itu, usai beberapa suapan, dingin pada tubuh oleh angin malam mulai terasa hangat.

Di bawah remang lampu jalan, di antara riuh knalpot kendaraan, wedang ronde mengundang ingatan untuk bernostalgia. Makanan, rasa, dan ingatan; tiga kata untuk mewakili jelajah kuliner jalanan malam itu.

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Semangkuk wedang ronde untuk menghangatkan malam/Abdul Masli

Perjalanan dan Kuliner sebagai Bagian Tak Terpisahkan

Makanan dan perjalanan adalah satu bagian tersendiri untuk merasakan pengalaman di suatu tempat. Relasi keduanya ini bahkan disambut beberapa orang dalam bentuk kelembagaan untuk melayani para pejalan, seperti yang dilakukan oleh World Food Travel Association (WFTA).  Salah satu otoritas terkemuka dunia dalam pariwisata makanan (juga dikenal sebagai “wisata kuliner” dan “wisata makanan”) yang berdiri sejak tahun 2003 dan berkantor pusat di Portland, Amerika Serikat. Studi mereka menunjukkan bahwa 93% wisatawan menciptakan kenangan yang abadi dan menyenangkan berdasarkan pengalaman mereka dengan keahlian memasak suatu daerah.

Setiap tahunnya, WFTA mendedikasikan satu hari, tanggal 18 April, untuk menyoroti bagaimana dan mengapa mereka melakukan perjalanan untuk merasakan budaya kuliner unik dunia. Hari itu diperingati sebagai World Food Travel Day (WFTD). Mereka mengundang wisatawan pencinta makanan dan minuman, industri perjalanan dan perhotelan dunia, serta siapa pun yang menyukai makanan dan minuman lokal untuk bergabung merayakan WFTD bersama-sama. 

WFTA melihat produk makanan lokal, sejarah kuliner dan keramahan adalah fondasi dari karakter suatu daerah. Itulah yang menarik pengunjung dan membuat penduduk lokal menjadi duta untuk daerah mereka. WFTD pertama kali diluncurkan pada tahun 2018 dengan tujuan menyadarkan konsumen dan pelaku perdagangan akan alasan nomor satu untuk bepergian, yaitu mencoba produk dan pengalaman pada makanan dan minuman baru. Perayaan ini mendukung misi WFTA untuk melestarikan dan mempromosikan budaya kuliner, salah satunya melalui pariwisata.

“Ini adalah hari yang didedikasikan untuk membangun kesadaran global mengenai pentingnya melindungi dan melestarikan budaya kuliner unik dunia,” ungkap Erik Wolf, pendiri dan Direktur Eksekutif WFTA. Senada dengan Amanda Katili Niode, Direktur Climate Reality Indonesia, melalui tulisan Rasa-Rasa dan Tradisi Kuliner Pulau yang dimuat di GBN.top (20/04/2024). Amanda menyebut di Indonesia, makanan adalah jendela ke dalam jiwa masyarakatnya. Tidak hanya menawarkan sekadar rasa, tetapi juga lebih dari itu; pengalaman imersif ke dalam keragaman dan kekayaan budaya yang membuat Indonesia unik.

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Kedai Es Buah PK yang sederhana di pinggiran Jalan Pakuningratan, Yogyakarta/Abdul Masli

Merayakan World Food Travel Day dengan Es Buah

Sehari sebelum peringatan keenam WFTD yang jatuh pada tanggal 17 April 2024, saya sempat mengayuh sepeda mengitari sekitar jantung kota Yogyakarta. Menyusuri Jl. Magelang menuju Jl. Pakuningratan, Jl. P. Mangkubumi, Tugu Golong Gilig, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Diponegoro, kemudian melewati wilayah sekitar Pasar Kranggan.

Di pertigaan antara Jl. Magelang dan Jl. Pakuningratan, tepat di samping bangunan Indomaret berdiri, saya singgah menikmati semangkuk es buah yang kabarnya melegenda bagi lidah warga setempat maupun pendatang. Namanya Es Buah PK, yang disematkan oleh para pelanggannya dengan mengambil dari singkatan nama Jl. Pakuningratan, tempatnya berada. 

Kedai Es Buah PK mulai berjualan sejak tahun 1976 oleh Haji Hadi Suprapto di ujung barat Jl. Pakuningratan. Kini, kedai ini tak hanya menjual es buah, tapi juga bakso. Pelayanan yang diberikan juga cepat dan ramah saat pesanan disampaikan. Saya hanya menunggu sekitar lima menit sebelum semangkuk es buah berisi buah avokad, kelapa muda, sawo, cincau gelap, serta sirup dengan serutan es dan susu cokelat di atasnya tersaji di depan saya. Dari beberapa sumber menyebut jika sirup yang digunakan adalah racikan langsung dari pemiliknya dan diwariskan secara turun-temurun.

Saya menikmati es buah sambil berbagi ruang dengan sepasang pengunjung lainnya di atas tikar. Mereka duduk lebih awal, memesan bakso dan es buah. Namun, karena saya lihat hanya tikar tersebut yang luang, saya pun izin bergabung. Ruang sempit dan lalu lintas kendaraan yang kadang sibuk sedikit mengganggu saat menikmati es buahnya. Meski soal rasa, justru sebaliknya. Ketika pengunjung sedang ramai, kita juga mesti siap berbagi ruang dengan sepeda motor pengunjung yang parkir. 

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Semangkuk es buah komplet khas Kedai Es Buah PK/Abdul Masli

Kekuatan dari es buah ini adalah rasa manis sirupnya tidak menutupi ragam buah yang ada di dalamnya. Setiap buah terasa pas disertai aromanya masing-masing. Susu cokelatnya juga memberi rasa dan aroma berbeda, terlebih saya yang terbiasa dengan es buah bercampur susu kental manis putih. Bagi saya ini menjadi pengalaman pertama yang berkesan dan tidak mengecewakan. Tentunya suatu waktu akan kembali menyantapnya.

Selesai menikmati semangkuk es buah PK, perjalanan saya lanjutkan untuk melihat riuhnya jalanan Yogyakarta. Merekam kota yang terus disibukkan riuhnya kendaraan dan manusia. Manusia yang mencari penghidupan, berwisata, bersantai, atau bahkan diri saya yang bersepeda dengan tujuan berbeda. Menjadi seorang petualang untuk mengecap rasa dan merasakan pengalaman di tempatnya berada.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Abdul Masli, kadang hidup nomaden. Menyenangi perjalanan dengan sepeda, jalan kaki, atau menggunakan transportasi warga. Suka memakai sandal jepit.

Abdul Masli, kadang hidup nomaden. Menyenangi perjalanan dengan sepeda, jalan kaki, atau menggunakan transportasi warga. Suka memakai sandal jepit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Cerita Abdul Masli, yang Menyusuri Makassar ke Majene dengan Bersepeda