Tiba-tiba main ke Madiun. Begitu kira-kira kalimat yang pas untuk perjalanan singkat saya kali ini. Tujuan utama adalah melihat sejarah masa lalu di sekitaran alun-alun kota. Saya menempuh perjalanan dengan kereta api dari Solo.
Setibanya di Madiun sekitar pukul 08.10 pagi, saya lekas menikmati sarapan sepincuk pecel legendaris khas Madiun. Usai sarapan dan melihat pameran kereta api di kantor Daerah Operasi (Daop) 7 Madiun, saya melangkahkan kaki sejauh 35 menit ke arah selatan, menuju alun-alun kota.
Saya ditemani Andrik Akira, pegiat sejarah dan putra asli Madiun. Selama penelusuran, lensa kamera tak henti mengabadikan peninggalan kolonial di Jalan Pahlawan.
Mengunjungi Kerkop Seniman Musik dan Film di Kota Madiun
Tujuan pertama saya ada di kerkop Madiun, Kecamatan Manguharjo. Ada sekitar 10 makam berbeda di sini, tetapi hanya satu yang membuat mata saya berpaling. Tanpa inskripsi nama, hanya batu blok besar.
Ternyata, batu nisan ini milik seorang perempuan kelahiran Jonggrangan, Klaten tahun 1868, yakni Mary Emmie Josephine Manuel. Ia putri dari pasangan Joseph August Manuel dan Elisabeth Janseen. Mereka tinggal di Madiun karena J. August Manuel pindah tugas sebagai pengawas jalur kereta api Madiun–Solo.
Mereka tinggal di Jalan Pahlawan, hingga orang tua Emmie J. Manual wafat. Ia pun lantas menjadi pewaris tunggal kediaman tanpa memiliki suami, keluarga, dan pelayan. Sampai dianggap perempuan aneh dan pelit, walau sejatinya tidak.
Merujuk catatan yang Andrik temukan, Emmie J. Manuel penyumbang dana pengembangan balai kota dan pembangunan Schouwburg (teater atau gedung pertunjukan) Madiun. Ia juga memiliki saham sebesar 80.000 gulden di Indische Leening dan permata seharga 5.000 gulden.
Saking kayanya, ia pernah kerampokan permata dua kali. Semasa hidup ia dikenal sebagai seniman musik dan film yang eksentrik, sering bergaun panjang dengan korset ketika menonton film. Ia pandai bermain piano dan tergabung dalam Madiun Kunstkring atau Seniman Madiun. Sering kali ia bermain piano di tengah malam, diterangi lampu temaram.
Nasib tidak selamanya mujur. Emmie J. Manuel ditemukan wafat keesokan harinya oleh jongos—yang akan bekerja untuknya—tanpa diketahui sebabnya. Ketika dilakukan penyelidikan, ditemukan sepucuk surat wasiat di atas meja kamar tidur.
Inti isi surat menyatakan, Emmie J. Manuel mewariskan semua harta kepada pemerintah Madiun dan kediaman diwakafkan untuk pembangunan Schouwburg. Jika pemerintah tidak bisa menyanggupi, warisan akan diserahkan ke Panti Asuhan Gereja Katolik Madiun. Ia juga meminta agar pemerintah menjadi penanggung jawab pemakamannya dan meminta ia dikubur satu pusara bersama sang ibu.
Setelah dikabulkan oleh pemerintah, warisan dibagi dua dengan panti asuhan gereja Katolik. Pemerintah bertanggung jawab atas pemakaman dan meminta perusahaan marmer Ai Marmi Italiani Surabaya sebagai penyedia batu marmer untuk obelisk Emmie J. Manuel dan sang ibu seharga 2.000 gulden.
Makam Emmie J. Manuel dan sang ibu sejatinya berupa obelisk dengan hiasan guci di bagian atas, lalu bagian tengah bertuliskan inskripsi “Hier Rusten Mary Emmie Jozephine Manuel en haar Moeder Elisabeth Jensen”. Namun, sekarang tinggal bongkahan nisan besar berinskripsi “Ai Marmi Italiani” dan angka 622 yang setia menemani.
Kantor Bakorwil dan Tapak Jejak Benteng Tua yang Hilang
Bagi warga Madiun, kantor Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan (Bakorwil) 1 adalah istana merdeka-nya Madiun. Dianggap memiliki kemiripan dengan Istana Merdeka di Jakarta, tetapi berbeda fungsi dan masa lalunya.
Istana Merdeka dulunya bernama Paleis Koningsplein atau Istana Kerajaan, sedangkan Bakorwil I Madiun dahulu bernama Resident Huiz atau Rumah Residen. Tempat residen Belanda yang ditugaskan mengawasi wilayah Karesidenan Madiun. Residen Madiun yang pertama kali menempati adalah Loudewijk De Launy. Menurut data yang Andrik miliki, rumah Residen Madiun ini dibangun tahun 1831 di atas benteng tua di tepi Sungai Madiun.
Rumah residen dibangun bergaya indische empire dengan beranda lebar, ditopang pilar bergaya Yunani dengan balutan lantai marmer. Sebagai simbol hubungan dan legitimasi, bagian dalam dibangun aula dengan lukisan raja dan ratu Belanda.
Situasi rumah residen kala itu masih sepi, dikelilingi sawah yang berbatasan dengan hutan jati dan lereng Gunung Wilis. Ada sebuah catatan menarik yang ia temukan, yakni catatan seorang geolog Belanda bernama Franz Wilhelm Junghuhn.
Dalam catatannya, tertanggal 13 Juni 1838, ia (Franz W. Junghun) menginap di sebuah bangunan kompleks kediaman residen yang serupa dengan benteng kecil. Kondisi saat itu masih sangat sepi, hanya ditinggali tiga orang Eropa. Menurutnya, kondisi demikian layaknya peternakan di Eropa yang dikelilingi padang rumput.
Ada juga catatan perjalanan pelancong Eropa lain yang menulis sebaliknya. Tahun 1840, rumah residen yang berada di tepi Sungai Madiun bangunannya paling indah, tetapi kurang bersih. Lalu catatan tahun 1849 menyatakan rumah residen sangat indah dengan halaman luas.
Namun, sayang keindahan rumah residen harus terkoyak ketika dilanda angin kencang pada Februari 1852. Perbaikan dilakukan setelahnya. Seorang pelancong Eropa bernama Van Gelder menuliskan rumah residen berada di kampung Eropa di Patoman Madiun dan merupakan bangunan yang sangat indah.
Lokasi rumah residen Madiun dulu adalah benteng pertahanan guna menghalau serangan pasukan Diponegoro ketika pecah Java Oorlog atau Perang Jawa 1825–1830. Benteng dibangun atas inisiatif Pierre Medard Diard, seorang tuan tanah dari Yogyakarta.
Setelahnya Ronggo Prawirodiningrat, bupati Madiun kala itu, menugaskan Raden Tumenggung Sosronegoro—seorang pegawai pajak di Madiun—untuk mendirikan benteng di Kartoharjo. Proses pembangunan dilaksanakan dengan dua bastion menghadap selatan dan utara untuk mengawasi rumah bupati.
Benteng selesai dibangun pada 1826 dengan empat bastion dan bernama Fort Blokhuis. Pasca Perang Jawa, benteng tidak difungsikan dan berubah menjadi rumah residen yang kelak disebut Bakorwil I Madiun.
Jalan Pahlawan di depan Bakorwil I Madiun, di masa lalu adalah bagian dari Jalan Pos (Postweg Daendels) Pantai Utara. Jalan Pahlawan dibangun untuk mempermudah akses pedalaman Jawa.
Balai Kota Madiun, Jejak Karya Maestro Art Deco di Madiun
Gedung Balai Kota Madiun pertama kali ditempati seorang Asisten Residen Madiun bernama W. M. Ingenluyff pada 20 Juni 1919. Perencanaan awalnya dimulai 10 Oktober 1919, tetapi karena keterbatasan lahan dan biaya, rencana pembangunan ditangguhkan selama 10 tahun.
Selama itu, kegiatan pemerintahan tetap aktif di kantor asisten residen. Puncaknya pada 27 Maret 1929, dengan menggandeng AIA Bureau Fremont-Buyer dari Batavia, di bawah pengawasan dinas permukiman Kota Madiun, rencana pembangunan balai kota kembali didengungkan.
Pada Sabtu pagi (30 November 1929), digelar upacara peletakan batu pertama pembangunan balai kota oleh istri Hendrik Cornelis van den Bosch (residen Madiun saat itu) yang bernama E. L. E. van den Bosch. Turut hadir pula pejabat pemerintah Madiun dan Batavia, lalu dilanjutkan doa bersama.
Melalui laporan kegiatan pembangunan, perusahaan marmer italia Ai Marmi Italiani perwakilan kantor Surabaya dan Mevrouw Mia Lyons turut serta menyumbang ide desain interior gedung. Mia Lyon merupakan pelukis kenamaan Yogyakarta beraliran realisme. Ia juga turut menyempurnakan rancangan balai kota Madiun bersama rekan kerjanya di Yogyakarta. Salah satunya memberikan lukisan 12 zodiak pada bagian panel jendela dan lampu gantung warna. Sementara Ai Marmi Italiani bertugas menghias seluruh bangunan dengan lantai marmer.
Ruang kerja dirancang sangat tenang dengan hiasan panel kayu jati setinggi dua meter dan berhias lampu kaca patri. Tanpa kendala berarti, gedung balai kota Madiun akhirnya selesai dan upacara peresmian digelar pada 1 Januari 1930 dengan jamuan santap siang dan gelaran musik Eropa.
H. C. van den Bosch, dalam catatan yang Andrik miliki, berharap balai kota Madiun menjadi gedung terindah di Karesidenan Madiun. Ia mengucapkan terima kasih atas karya ketiga maestro tersebut hingga akhirnya berdiri megah di selatan rumah residen (kantor Bakorwil I Madiun).
Jejak Kediaman Kapitan Tionghoa yang Tersisa di Madiun
Tujuan akhir perjalanan ini adalah kediaman kapitan Tionghoa Madiun, Njoo Swie Lian, tepat di selatan alun-alun. Njoo Swie Lian, selain menjabat sebagai kapitan, juga bekerja di perusahaan perkebunan jati di Madiun dan pengawas jalur kereta api di Bangil.
Ia memiliki beberapa istri, satu di antaranya Njoo Hong Siang. Njoo Swie Lian wafat di usia 55 tahun pada 17 Februari 1930. Upacara pelepasan jenazah digelar pada 26 Februari 1930, pukul 08.15 pagi di kediamannya saat ini. Prosesi pemakaman digelar pukul 10.00 di pemakaman Tionghoa Mangoenharjo, Madiun.
Kabar duka itu disampaikan sang istri yang menyusul wafat lima tahun kemudian. Satu hal yang menarik dari masa lalu rumah ini adalah cerita wafatnya Njoo Hong Siang di tahun 1935.
Upacara pelepasan dan pemakaman dihadiri ratusan peziarah, di antaranya Pangeran Hangabehi beserta sang istri, Raden Ayu R. M. A Josodipoero mewakili Sunan Pakubuwono X. Turut hadir pula Raden Ayu Hardjosoebroto mewakili Pangeran Arya Mangkunegara IX. Dari pihak pemerintah Belanda yang hadir antara lain residen dan asisten residen, ketua landraad Madiun, pengurus pabrik gula Madiun, bupati Magetan, dan bupati Ngawi. Karangan bunga berjejer rapi memenuhi halaman.
Iring-iringan pembawa jenazah berangkat dari rumah duka menggunakan kereta layon atau kereta duka. Jenazah Njoo Hong Siang dimakamkan di samping mendiang suami.
Saat ini, bentuk asli kediaman sang kapitan masih dipertahankan. Namun, kini sudah beralih fungsi menjadi coffee shop kekinian.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.