Lamunan di suatu sore membawa memori saya pada Suku Baduy. Hutan rimbun. Jalan setapak. Padi gogo. Telanjang kaki. Pakaian dua warna. Ikat kepala. Sungai jernih. Madu dan durian. Sunda Wiwitan.
Bukan secara tiba-tiba, ingatan itu muncul selepas saya menyimak konten linimasa media sosial. Belakangan, tidak sedikit kampanye gaya hidup minimalis gencar digalakkan melalui platform ini.
Kemunculannya hadir untuk meng-counter gaya hidup konsumtif yang marak di era modern. Salah satu buku yang turut ramai dibicarakan kemudian adalah buku karya Fumio Sasaki berjudul Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism (2015).
Sasaki mengenalkan minimalisme sebagai seni mengetahui, memahami, dan mempertahankan hal-hal yang penting bagi diri sendiri. Tujuannya agar manusia terbebas dari rasa kepemilikan. Dengan begitu, jiwanya lebih tenang karena tidak dipusingkan oleh hasrat memiliki sesuatu yang belum tentu diperlukan.
Kampanye itu sontak menghadirkan ingatan saya tentang perjalanan di Baduy.
Singgah semalaman di kawasan masyarakat adat tersebut, cukup membuat saya menyadari bahwasanya apa yang diupayakan masyarakat modern dengan kampanye hidup minimalisnya saat ini, telah diterapkan masyarakat Baduy sejak lama.
Semua bermula pada hari ke-11 tahun 2019—dua tahun lalu. Saya berangkat ke Baduy bersama rombongan teman kampus. Bus kami sampai di Terminal Ciboleger pagi-pagi sekali, setelah menempuh perjalanan dari Yogyakarta. Aroma durian segera menyambut kami. Buah berkulit duri itu memang sedang berada pada musim panennya.
Sekitar pukul 09.00, saya dan kawan-kawan memulai perjalanan kaki ke Baduy. Beberapa memilih untuk menetap di Baduy Luar, sisanya memutuskan meneruskan perjalanan ke Baduy Dalam. Saya sendiri memilih untuk lanjut melangkah ke Baduy Dalam.
Masyarakat Baduy yang juga akrab disebut sebagai urang Kanekes ini memang terbagi menjadi dua. Urang Tangtu, yakni masyarakat Baduy Dalam, dan Urang Panamping, yakni masyarakat Baduy Luar. Perbedaan paling kentara antara keduanya dapat dilihat dari warna pakaian dan ikat kepalanya. Masyarakat Baduy Dalam menggunakan warna hitam-putih, masyarakat Baduy Luar menggunakan warna hitam-biru tua.
Sepanjang perjalanan, kami ditemani pemandu-pemandu yang berbasis di Banten. Adapun rute jalanan yang kami lalui berupa tanah dan bebatuan saja, yang notabene dibuat sendiri oleh masyarakat Baduy.
Selama perjalanan, saya banyak melihat pepohonan. Sayangnya, pengetahuan flora saya buruk sekali. Yang saya tahu, ada banyak pohon nipah di sana. Orang Baduy menggunakan pelepahnya untuk atap rumah.
Rumah mereka seluruhnya terbuat dari hasil alam: kayu, bambu, pelepah. Ukuran rumah satu dengan lainnya pun cenderung sama. Ada ruang antara tanah dan rumah. Ruang itu digunakan masyarakat untuk menyimpan persediaan kayu, untuk membuat api.
Dalam mendirikan rumah atau hunian, pun, masyarakat Baduy bergotong-royong tanpa imbalan suatu apa. Interaksinya berbasis kekeluargaan dan tidak berorientasi pada materi.
Setelah sekitar 3 jam berlalu, kami sampai di kawasan pemukiman Baduy Luar. Kami rehat sejenak sembari makan siang di dekat jembatan bambu yang besar sekali. Di bawahnya mengalir air sungai yang cukup deras kala itu.
Usai energi kami terisi kembali, rombongan yang bertujuan Baduy Dalam melanjutkan perjalanan, termasuk saya.
Selain menyaksikan hutan rimbun, selama perjalanan saya acapkali berpapasan dengan masyarakat Baduy. Tanpa alas kaki. Memikul berbagai hasil alam. Setelah memperhatikan dengan lebih seksama, saya mendapati bahwa tak ada satupun dari mereka yang obesitas atau kering-kerontang. Semuanya tampak proporsional. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu hakikat minimalisme, yakni mengenai prinsip menggunakan sesuatu dengan secukupnya. Kok bisa?
Bisa! Tampilan fisik yang serupa dalam suatu kelompok masyarakat secara tidak langsung merepresentasikan setidaknya dua hal.
Pertama, mengenai bagaimana mereka memandang sumber daya alam di lingkungannya. Masyarakat Baduy mengelola potensi alam yang ada di sekitarnya tanpa perspektif kepemilikan individu, apalagi konsep menimbun untuk diri sendiri.
Bukan rahasia lagi bahwa ladang yang ada di alam Baduy dikelola bersama menggunakan aturan adat. Mereka memahami betul mengenai apa saja, bagaimana, kapan, dan seberapa banyak yang harus ditanam dan dipanen. Alhasil, konsumsi mereka tidak berlebih dan merata.
Sementara itu, masyarakat modern di luar Baduy masih sarat dengan isu ketimpangan. Banyak orang obesitas, tetapi dalam waktu yang sama tak sedikit pula kasus busung lapar.
Kedua, sistem pangan yang berjalan sedemikian rupa menunjukkan bahwa mereka memiliki pengelolaan hasrat yang baik. Pola hidup demikian pada gilirannya melatih mereka untuk terbiasa mengontrol keinginan. Hingga mereka mampu mengambil dan memanfaatkan sesuatu berdasarkan keperluan. Terbukti, hingga hari ini, alam Baduy masih tetap asri.
Pun pada ihwal di luar pangan. Setelah melanjutkan perjalanan dari pemukiman Baduy Luar menuju Baduy Dalam yang memakan waktu kurang lebih dua jam, saya dan beberapa kawan singgah di rumah Teh Sarah dan ambunya. Ambu adalah panggilan untuk ibu. Nah, di kediaman mereka, saya tidak menjumpai tumpukan barang berlebih. Semua terawat dan memiliki fungsinya masing-masing.
Sementara itu, masyarakat modern di luar Baduy, termasuk saya, sepertinya perlu mengambil kelas yoga atau meditasi dulu untuk dapat berlaku seperti itu—untuk menahan keinginan memiliki sesuatu yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini juga yang menjadi prinsip minimalisme.
Perjalanan menuju Baduy Dalam belum selesai, nantikan cerita selanjutnya!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!