Arah SinggahTravelog

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Jejak prasejarah yang mengendap ribuan tahun di dinding-dinding gua karst rimba Merabu, telah hidup kembali dengan pendekatan ekowisata. Keasrian hutan jadi nilai lebih yang harus dipertahankan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Pak Cay memimpin perjalanan tim TelusuRI menuju Gua Bloyot, sebuah destinasi ekowisata unggulan Kampung Merabu. Kontur rute cenderung datar membelah hutan desa yang cukup rapat dan menyejukkan/Mauren Fitri

Cuaca cerah berawan ketika TelusuRI memasuki kawasan hutan desa Merabu (13/10/2023). Pak Cay (53), pemandu lokal, memimpin trekking menuju Gua Bloyot. Gerbang rimba di selatan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Kampung Merabu membuka langkah pertama kami memasuki hutan tropis dataran rendah khas Kalimantan.

Pintu hutan tersebut terletak setengah kilometer dari rumah Yervina, bendahara Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK. Ia juga yang menugaskan Pak Cay untuk menemani kami selama perjalanan ke Gua Bloyot. Belakangan kami baru tahu alasan Yervina meminta Pak Cay menjadi pemandu kami. 

Sorot matanya tajam. Langkahnya gesit dan presisi. Ia sudah hapal tanah-tanah yang aman untuk dipijak tanpa selip sedikit pun. Hari itu Pak Cay mengenakan “seragam dinas” yang jadi standar umum pemandu Merabu. Kaus kerah dan celana pendek, sepatu pul merek Bowling buatan Malaysia dan kaus kaki sebetis, tas selempang dan dry bag yang dikalungkan di leher, serta sebilah mandau melingkar di pinggang. Kami hanya menambah satu barang untuk ia pakai, yaitu topi rimba hijau bertuliskan TelusuRI.

Di mata orang Merabu, Pak Cay adalah seorang legenda hidup pemanjat madu. Ia pernah merasakan bahayanya pemanjatan dengan hanya mengandalkan tali rotan sampai sekarang menggunakan peralatan modern. Keahlian dan pengalamannya diturunkan ke anak-anak muda Merabu.

Sebagai orang asli Merabu, Pak Cay telah khatam seluk-beluk hutan di kampungnya. Dari daratan hingga perairan. Di beberapa kesempatan ia berhenti dan memberitahu kami sesuatu. Misalnya, auman beruang madu di sisi lain hutan agak jauh dari jalur kami. Terdengar pula pekikan owa kalimantan yang biasanya berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Ia juga menunjukkan pohon-pohon tempat sarang madu, seperti pohon menggeris atau sialang (Koompassia excelsa). Tingginya bisa mencapai 30—60 meter. Dan yang bikin takjub adalah Pak Cay dan orang-orang kampung itu memanjat untuk memetik madu pada malam hari, gelap, tanpa penerangan.

“Kalau itu biasa buat sarang orangutan,” ujar Pak Cay mengarahkan telunjuk ke salah satu pohon besar di dalam hutan. Saking tingginya, saya sampai menengadahkan kepala nyaris 90 derajat.

Sepanjang perjalanan, praktis hanya dua kali kami beristirahat melepas lelah. Di pos pertama yang terletak di HM 12 atau 1,2 kilometer dari pintu hutan dan pos kedua di HM 24 atau 1,2 kilometer dari pos sebelumnya. Napas kami cukup ngos-ngosan, kontras dengan Pak Cay yang tampak anteng-anteng saja.

Kami beristirahat agak lama di pos terakhir karena terpana dengan jernihnya aliran sungai kecil dengan sempadan berlumut di bawah jembatan kayu. Pos tersebut ditandai dengan atap seng pondok yang ambruk karena pohon tumbang.

Di titik ini, selain gemericik air, saya merasakan kesunyian luar biasa. Makin dalam hutan yang dijelajahi, rasanya seperti membenarkan kelakar Doni Simson (41), ketua BUMKam. Katanya, siapa saja yang masuk Merabu dianggap hilang dari dunia. Itu masih mendingan, karena motor atau mobil masih bisa masih. Di dalam hutan, kami hanya bisa jalan kaki di tengah belantara rimba dengan vegetasi nan rapat. 

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Papan informasi tentang Gua Bloyot yang dibuat BPCB Kalimantan Timur. Terpampang pula peraturan hukum, imbauan, dan peringatan keras yang harus dipatuhi pengunjung untuk menjaga kelestarian situs cagar budaya tersebut/Mauren Fitri

Menembus masa lampau

Setelah berjalan santai dua jam untuk jarak sekitar empat kilometer, papan informasi Cagar Budaya Gua Bloyot dengan logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyambut di mulut tebing cadas penuh lubang. Semak belukar tumbuh liar di sela batu-batu tajam. Di sebelah kanan terdapat sebuah shelter berbentuk segitiga untuk tempat berlindung. Pak Cay mengatakan bangunan itu merupakan salah satu pos milik Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.

Saya pikir kami sudah sampai di Gua Bloyot, tetapi rupanya belum. Saya masih meraba-raba ke mana jalur selanjutnya menuntun kami ke gua tersebut. JIka tidak menyewa pemandu, rasa-rasanya akan mudah tersesat di hutan selebat ini.

Tanpa banyak bicara, Pak Cay memberi kode dengan berjalan ke arah kiri dari papan informasi. Meniti batuan karst menanjak hingga tiba di mulut gua yang cukup lebar. Kami istirahat sejenak dan meneguk air minum untuk melepas dahaga. Sesuai sarannya, kami meninggalkan sejumlah barang di mulut gua untuk memudahkan pergerakan di dalam lorong karst menuju Gua Bloyot. Kami juga menyiapkan alat penerangan, seperti senter atau headlamp.

Bau apek khas gua menyeruak ketika kami menelusuri lorong gelap dengan langit-langit gua yang cukup rendah. Sesekali kepala harus menunduk ketika kawanan kelelawar melintas dan terbang rendah di sekitar kami. 

Jalur yang dilalui mengantarkan kami ke sebuah mulut gua dengan pemandangan hutan dan bukit-bukit karst di kejauhan. Bak balkon villa, hanya saja yang ini tanpa pagar dan bersisian langsung dengan jurang. Kami masih harus meniti satu anak tangga kayu yang lapuk sebelum akhirnya sampai di aula utama Gua Bloyot. Jaraknya hanya sekitar 10 menit dari tempat kami menaruh barang.

Dari pintu masuk, hamparan karet hitam seperti karpet terbentang memanjang sebagai jalur berjalan. Tanah sekitarnya memang terlihat gembur dan becek jika terkena air. Konturnya relatif bergelombang dan tidak rata. Stalaktit dan stalagmit dengan kombinasi warna yang unik—putih tulang dan hijau lumut—berhasil memukau kami dalam pandangan pertama.

Laju Pak Cay baru benar-benar berhenti ketika ia menunjuk beberapa corak aneh di dinding atas gua. Napas saya sempat tercekat melihat itu dari dekat. Mulut menganga saking takjubnya. Ada lebih dari satu gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

Menurut BPCB Kalimantan Timur, penggambaran tersebut memiliki variasi yang sama dengan gambar di Gua Tewet dan Gua Mardua di kompleks Gunung Gergaji, blok karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur. Pewarnaan merah juga disebut sebagai salah satu informasi utama dari populasi awal manusia berciri Ras Mongoloid, penutur bahasa Austronesia. 

Satu keheranan besar muncul ketika Pak Cay menunjuk satu lagi lukisan tangan di langit-langit gua. Dekat liang kecil yang menjadi jalan masuk sinar matahari. Jika harus dilukis dengan orang zaman sekarang, maka diperlukan tangga atau alat panjat untuk mengecapkan. Sekadar melompat saja tidak mungkin karena terlalu tinggi. Pertanyaannya, selain alasan gaib seperti diyakini penduduk setempat, bagaimana nenek moyang kita dahulu melakukan hal yang sepintas mustahil itu?

Yang jelas, waktu seakan terhenti ketika kami memasuki aula utama Gua Bloyot. Entah, rasanya dekat sekali dengan sosok-sosok manusia purba penghuni gua ini yang hidup 5.000—10.000 tahun lalu. Dalam kacamata awam, keberadaan jejak-jejak tersebut mengindikasikan teknik literasi dan bertutur lewat gambar-gambar yang diwariskan kepada generasi-generasi setelahnya. 

Hujan seketika mengguyur deras hutan tropis di sekitar Gua Bloyot. Kami menerka-nerka tafsir turunnya hujan tersebut seperti dikatakan Ransum, ketua adat Kampung Merabu, yang bisa jadi untuk menyambut kehadiran pendatang di gua-gua sakral ini. Sayang, Pak Cay juga menyebutkan adanya jejak vandalisme di beberapa titik di dinding yang rapuh. Ke depan ia akan berusaha keras mengingatkan pengunjung agar tidak menyentuh dinding gua tanpa pendampingan ahlinya.

Gua Bloyot sejatinya bukan satu-satunya keajaiban yang bisa dieksplorasi lebih jauh di kawasan ini. Dari penjelasan Pak Cay, ada satu ruangan besar lagi yang menjadi satu tubuh gunung dengan gua yang namanya berasal dari keberadaan pohon asam besar (bloyot) di sekitarnya. 

“Kalau mau bermalam ada tempat camp di atasnya lagi. Namanya Gua Lima Cahaya, karena ada lima lubang [di langit-langit gua] buat sinar matahari masuk dan warnanya bisa beda-beda,” ungkap Pak Cay seperti terdengar menawarkan pengalaman seru. “Bisa gawat itu nanti karena nggak mau pulang saking betahnya.”

  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Sekelumit bocoran dari sepupu Ransum tersebut kian menegaskan kekayaan gua dengan ciri khasnya masing-masing di pedalaman hutan Merabu. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, dalam booklet khusus untuk pengajuan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016, menyebut sedikitnya terdapat 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

Bukan angka kecil untuk kawasan seluas 1.867.676 hektare. Bahkan masih ada potensi penemuan serupa di ceruk-ceruk tersembunyi yang belum pernah terjamah manusia.

Kesyahduan sehabis hujan

Hujan kembali mengguyur selepas keluar Gua Kabila, salah satu sentra sarang burung walet juga di kompleks karst ini. Pak Cay mengajak kami mengambil jalan memutar dari arah timur ke arah barat melalui sisi selatan Gua Bloyot untuk memberikan sensasi baru. Lagi-lagi, jika kami tidak mengajak pemandu, kami sungguh-sungguh bakal tersesat karena jalan setapak pun tidak jelas. Tertutup semak dan ranting rapat yang membuat kaki harus melangkah tinggi-tinggi agar tidak tersangkut.

Di tengah perjalanan, kami meminta Pak Cay berhenti sejenak karena kami akan mengenakan mantel plastik agar pakaian dan barang tidak terlalu kuyup. Pada momen ini, kami menikmati nuansa petualangan luar biasa. Jalan-jalan kehujanan di tengah hutan Kalimantan adalah salah satu pengalaman yang tidak hanya baru, tetapi juga terbaik seumur hidup.

Rintik-rintik perlahan mereda ketika kami mendekati sebuah aliran sungai kecil di mulut Sedepan Ketep. Sebuah lorong gua memanjang dengan kedalaman air semata kaki sampai betis, yang menurut Pak Cay di dalamnya cukup banyak terdapat sarang burung walet.

“Kita istirahat dulu di depan,” tunjuk Pak Cay ke suatu cerukan datar sempit di balik aliran sungai tadi. Ia bahkan sempat-sempatnya memotong batang pohon sebagai tempat duduk. Kami akan rehat sejenak untuk mengudap camilan dan makan siang. Saya dan Pak Cay sepakat untuk makan di dekat sungai.

  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
  • Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot

Rasanya, bagian terbaik dari perjalanan ini adalah pada saat berhenti. Singgah di titik-titik yang memungkinkan kaki untuk diam sejenak. Memberi jeda pada tubuh. Mengatur napas, menghirup udara segar bersih tanpa terkontaminasi polusi apa pun. 

Selain di pos-pos istirahat sepanjang Merabu sampai ke Gua Bloyot, kesempatan makan siang selepas hujan di Sedepan Ketep merupakan sebaik-baiknya fase berhenti. Ada beberapa gambaran mengisi benak di tengah kesyahduan menyantap bekal nasi, tumis kacang tempe, telur bulat balado, dan ayam goreng masakan Saripah Tapriyah atau Bu Tapri, si tukang katering selama kami di Merabu. 

Pikiran saya terlempar ke ribuan tahun silam. Saya mengimajinasikan adegan manusia prasejarah sedang berburu babi hutan di sela-sela pepohonan. Berlarian. Kejar-kejaran. Begitu dapat, kemudian diangkut ke Gua Bloyot untuk dipanggang dengan api. Disantap beramai-ramai.

Lalu saya juga membayangkan satwa-satwa berkeliaran. Orangutan (Pongo pygmaeus) bergelantungan di pohon-pohon besar menjulang. Rangkong gading atau enggang (Rhinoplax vigil) beterbangan membawa biji-biji hutan untuk betina dan anaknya di sarang-sarang pohon tua yang mencakar langit. Atau beruang madu (Helarctos malayanus), yang asyik menyantap aneka buah dan tanaman hutan. Siklus hidup yang dahulu mungkin jadi pemandangan biasa sehari-hari, tetapi kini sudah jarang terlihat.

Gemericik sungai Sedepan Ketep mengiringi saya dan Pak Cay yang hanyut dalam fokus melahap makanan sampai butir nasi terakhir. Di sela-sela itu, kami menyelipkan obrolan. Ia mengaku tidak pernah menyangka jika Gua Bloyot memiliki nilai sejarah tinggi dan bisa menghasilkan perekonomian dari sektor ekowisata.

Menelusuri Lorong Waktu di Gua Bloyot
Pak Cay bercerita pengalamannya dahulu berburu sarang walet di mulut gua Sedepan Ketep. Sebagai seorang pemanjat madu senior, ditambah tugas juru pelihara Gua Bloyot, Pak Cay telah khatam sudut-sudut hutan Merabu di luar kepala/Deta Widyananda

“Kalau dulu memang saya tidak mengenal Gua Bloyot, karena saya masih kerja sarang walet,” kata Pak Cay.

Ketika 2011-2012 harga sarang burung walet anjlok, lalu pada saat bersamaan The Nature Conservancy (TNC) masuk membuat sejumlah program konservasi dan pemetaan ekowisata, ia mencoba berpindah haluan. Karena dianggap sangat berpengalaman menjelajah medan hutan Merabu, ia kemudian direkrut sebagai juru pelihara Gua Bloyot dan bermitra dengan BPCB Kalimantan Timur. Ia dan sejumlah rekan pelindung hutan desa Merabu berkomitmen menjaga kelestarian hutan dan situs-situs bersejarah di kawasan bentang alam karst Sangkulirang-Mangkalihat, khususnya wilayah Kampung Merabu. Sejak saat itu jumlah portofolionya sebagai pemandu wisata susur gua sudah tidak terhitung lagi. 

Yang jelas, saya akan mencarinya jika kelak diberi panjang umur bisa kembali ke Merabu. “Kapan-kapan kalau kami balik lagi ke Merabu, tolong antar dan temani kami camp di Gua Lima Cahaya, ya, Pak?

“Siap!” sahutnya penuh senyum. (*)


Foto sampul:
Aula utama Gua Bloyot yang penuh lukisan prasejarah, seperti lukisan telapak tangan dan hewan. Jejak tersebut mengindikasikan gua ini sebagai tempat hunian manusia purba ribuan tahun lalu/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Berdamai di Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu