Penelusuran saya menjelajah kerkhof di Klaten berlanjut. Kali ini tujuan saya ada di Dukuh Padangan, Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Lebih tepatnya di komplek makam Raden Ngabehi (R.Ng.) Ronggowarsito. Dari Kecamatan Ceper, ke selatan sekitar 15 menit perjalanan. 

Untuk menuju makam R.Ng Ronggowarsito, saya melalui Jalan Pedan–Trucuk Klaten. Sampai di Pasar Kiringan saya bertanya pada warga setempat arah makam R.Ng Ronggowarsito yang ternyata berada di tengah Desa Palar, sebelah barat Desa Sumber.

Setelah melalui dua desa selama 20 menit, saya akhirnya tiba di Desa Palar. Dari timur desa, saya melihat ada pohon beringin di tengah pertigaan jalan. Tanpa pikir panjang saya mencoba untuk mendekat ke arah barat.

Setelah lebih dekat, barulah terlihat bahwa pohon beringin yang menjadi bagian dari komplek makam R.Ng. Ronggowarsito. Saya menitipkan kendaraan di sini, lalu berjalan ke belakang pohon beringin. Di sana, makam R.Ng. Ronggowarsito dan Kerkhof  Palar berada.

Awalnya saya penasaran. “Makam R.Ng. Ronggowarsito bergaya Islam Jawa, mana mungkin ada kerkhof sih?” gumam saya.

Setelah menelusurinya, baru menemukan kerkhof tersebut berada di dalam—tepat di samping mausoleum sang pujangga R.Ng. Ronggowarsito.

Pintu gerbang depan komplek makam R.Ng. Ronggowarsito/Ibnu Rustamadji

Makam Carel Frederik Winter

Perhatian saya tertuju pada satu nisan ber-epitaf Jawa berbentuk obelisk di samping mausoleum R.Ng. Ronggowarsito. Inilah Kerkhof Palar yang saya maksud. Lalu, dengan segera saya mengabadikan seluruh detail makam. 

Tidak lupa saya kirimkan dokumentasi ini kepada Hans Boers untuk mendapatkan catatan detail siapa mendiang, dan bagaimana hubungannya dengan R.Ng. Ronggowarsito. Saya menduga, mendiang merupakan orang yang berpengaruh.

Tak hanya itu, saya juga menduga bahwa nisan yang ada di depan saya ini hasil pindahan dari suatu tempat karena masih tampak baru, bercungkup gaya Jawa. Dugaan saya ini kemudian dibenarkan oleh sang juru kunci. Menurutnya, makam Winter ini merupakan pindahan dari kuburan Belanda di Jebres, Solo. “Kerkhof Jebres digusur tahun 1980-an, termasuk makam Winter, makam lainnya tidak bersisa. Tulang belulang Winter turut dibawa ke sini, diletakkan dalam peti kayu. Jadi tidak hanya nisannya.” tambahnya.

Merujuk epitaf batu nisan, sepasang suami istri-lah yang mendiami makam ini. Ialah Carel Frederik Winter dan sang istri, Jacoba Hendrika Logeman.

“Carel Frederik Winter, kelahiran Yogyakarta 5 Juli 1799, wafat di Surakarta 14 Januari 1849. Sang ayah bernama Johannes Wilhelmus Winter, dan ibu bernama Christina Louisa Karnatz.” ungkap Hans Boers. 

Hans Boers menambahkan, “Carel Winter merupakan penerjemah di kantor Karesidenan Surakarta. Ia memulai karir sejak tahun 1818, kala itu masih sebagai Asisten Penerjemah Bahasa Jawa di Institut Bahasa Surakarta.”

Tahun 1825 Carel Winter resmi menjabat sabagai penerjemah dan mengajar di institusi yang sama, hingga institut dibubarkan tahun 1843. Setahun kemudian, pemerintah Belanda menjalin kerjasama dengan tuan Wilkens dan Carel Winter, menyusun kamus Etimologi Jawa–Belanda. 

“Tulisan mereka menjadi een eerste proeve’ atau tajuk utama, di majalah Van Nederlands Indie VI tahun 1844,” tambahnya. Tahun 1845 Carel Winter didaulat menjadi Komisaris Pemerintah Surakarta.

Tidak lama kemudian, Carel Winter mendapat tugas menerjemahkan sebagian kitab Undang-Undang Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch Indie) ke bahasa Jawa atas perintah Residen Surakarta tuan .J.F.W. van Nes.

“Carel Frederik Winter menjadi penerjemah dibantu sang istri yakni Jacoba Hendrika Logeman. Hingga Carel Winter sukses mendirikan perusahaan Surat Kabar Mingguan berbahasa Jawa bernama Bromartani di Surakarta.” tambah Hans Boers. Ia bersama sang anak, Gustaaf Winter mengelola surat kabar tersebut.

Kebahagian Carel Winter dan sang istri, tidak berlangsung lama. Jacoba Hendrika Logeman wafat di tahun 1828, ia dimakamkan di Kerkhof Jebres. Untuk menyambung hidup, Carel Winter bekerja sebagai editorial di Bromartani. Tidak lama kemudian dipecat, karena meloloskan artikel panas mengenai sastra.

Bromartani terbit pertama kalinya 29 Maret 1855, bekerja sama dengan Penerbit Hartevelt. Namun sayang. Dua perusahaan media ternama itu, hanya bertahan satu tahun. Tepatnya 23 Desember 1856, Bromartani terbit terakhir kalinya.

Hubungan Antara Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito

Usai redupnya Bromartani dan wafatnya sang istri, Carel Winter dipandang sebagai sastrawan Jawa terakhir. Karena setelahnya, priyayi Jawa lebih banyak berguru dengan intelek Belanda. Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito lalu bekerjasama dalam penerjemahan naskah-naskah sastra kuno ke dalam Bahasa Jawa–Belanda maupun sebaliknya. Tidak dipungkiri, mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan. Jadi, tak heran makam Carel Winter berada di samping mausoleum R.Ng. Ronggowarsito.

Hubungan antara Carel Winter dan R.Ng. Ronggowarsito tertuang dalam serat dan babad yang mereka ciptakan. Mayoritas berbahasa Jawa, hasil terjemahan Bahasa Sansekerta dan Kawi. Beberapa karya Carel Winter, berupa puisi dan prosa adaptasi. Sebagian puisi karyanya diterbitkan Bataviasche Genootschap XXI, Prosa Hangling Darma dan Lonjang Damar Woelan. Sedangkan karya lain saat bekerja sama dengan Roorda dan Gaal di antaranya adaptasi Prosa dari Bratajoeda, Prosa Rama dan Ardjoenasra diterbitkan Roorda tahun 1845, Kitab Adji-Saka diterbitkan Roorda dan Gaal tahun 1857, Sahabat Djawa Vol 1 diterbitkan Roorda tahun 1848 dan Vol 2 diterbitkan Keyzer tahun 1858. 

Menurut Hans Boers, ada yang lebih menarik di balik kisah Carel Winter dan Ronggowarsito. Ia pun merujuk penelitian Nancy Florida dan menemukan fakta menarik mengenai Carel Winter yakni perannya sebagai seorang dalang di balik penangkapan dan pengasingan ayah dari R.Ng. Ronggowarsito saat geger Perang Jawa tepatnya tahun 1828.

Raden Mas Pajangswara yang notabene ayah R.Ng. Ronggowarsito sekaligus guru Carel Winter diduga berkhianat oleh pemerintah kolonial. R.M. Pajangswara kemudian ditahan dan dibuang hingga wafat.

Mengetahui hal ini, R.Ng. Ronggowarsito tidak bisa berkutik, ia memilih melawan dalam keheningan melalui pengetahuan. Salah satu karya mengenai perlawanannya tertuang dalam Serat Kalatidha.

Hans Boers menambahkan, “Carel Winter wafat lima tahun pascaperusahaan Bromartani tutup, tepatnya 14 Januari 1859 karena penyakit stroke. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan sang istri, Jacoba Hendrika Logeman di Kerkhof Jebres.

Orang Belanda yang dikubur di Kerkhof Jebres selain keluarga Carel Winter, yakni P.W.C. Blackwardt, seoang kepala Rumah Sakit Kadipolo sekaligus Kepala Perkebunan Mento-Toelakan Sukoharjo. Juga keluarga Ellen Vogel, pemilik perusahaan Buwalda & Co Surakarta.

Saat ini, Kerkhof  Jebres sudah tidak berbekas. Berubah menjadi perkampungan dan rumah susun sewa Jebres. Dulu, letaknya berada persis di seberang Stasiun Kereta Api Jebres Surakarta. Ada dugaan kediaman Carel Winter dan istri, tidak jauh dari kawasan Jebres dan Keraton Kasunanan Surakarta.

Menurut saya, sisi menarik lain dari makam Carel Winter bukan hanya pada catatan sejarah yang menyertainya, tetapi juga batu nisannya. Nisan berbentuk obelisk dengan panji heraldic, lazim untuk kerkhof di Indonesia. 

Selain berbentuk obelisk dengan heraldic, keunikan lain terdapat pada hiasan sisi kiri dan kanan plakat tembaganya. Merujuk karya Tui Snider mengenai arti simbol batu nisan, hiasan tersebut berupa obor terbalik atau inverted torch. Obor terbalik digunakan untuk menunjukan apabila jiwa seseorang yang telah wafat, akan tetap menyala di akhirat. Menariknya lagi, cungkup makam Carel Winter berbentuk pendapa berbahan kayu dengan epitaf huruf Jawa.

Makam Carel Winter paling mencolok, karena satu-satunya makam milik orang Belanda dan bersanding dengan pujangga besar R.Ng. Ronggowarsito. Harmoni dalam kebhinekaan tampak begitu jelas pada kedua makam ini. Sastrawan yang menaruh kecintaan terhadap Indonesia, berdampingan dengan pujangga terakhir Jawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar