Interval

Biking Borders: Wujudkan Impian lewat Bersepeda

Dua orang yang bersahabat pada umumnya memiliki sesuatu yang disukai, digemari, diinginkan, atau dicita-citakan bersama. Bagi Max dan Nono, hal yang diimpikan itu adalah membangun sekolah. 

Mimpi ini muncul usai mereka mengajar di beberapa sekolah di luar negeri saat kuliah. Max Jabs dan Nono Konopka menemui ada anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan karena infrastruktur serta pendanaan yang kurang. Mereka lalu berusaha menggalang dana dengan cara bersepeda sepanjang 15.000 km dari Jerman menuju China. Layaknya impian membangun sekolah, mengendarai sepeda menjadi aktivitas yang disukai keduanya.

Biking Borders
Biking Borders menceritakan dua sahabat yang melakukan perjalanan untuk menggalang dana via pencilsofpromise.org

Pengalaman melintasi negara-negara di benua Eropa serta Asia tersebut menjadi fokus film Biking Borders (2021). Max dan Nono mengalami banyak peristiwa selama perjalanan dari Berlin ke Beijing. Kejadian itu sering kali tak terlepas dari karakteristik geografis serta warga negara-negara yang mereka lewati. Dua hal ini membuat kisah perjalanan dua sahabat tersebut menarik untuk ditonton dan diikuti sebab mampu menghadirkan perspektif dari kacamata seorang pesepeda.

Adegan Max dan Nono saat di Austria dapat dijadikan contoh untuk menggambarkan poin di atas. Di scene ini, mereka bersusah payah melewati jalanan di negara itu sebab konturnya tak datar. Keduanya sering mendorong sepeda dengan napas terengah-engah. 

Jalan-jalan di Austria memang naik-turun sebab daratannya berbentuk pegunungan dan perbukitan. Gara-gara hal ini, Max dan Nono melontarkan guyonan dengan nada sarkas, ”Pergilah ke Austria mereka bilang…” di media sosial. Mereka kemudian menyarankan warganet untuk tidak melakukan trip sepeda di negara tersebut karena medannya yang berat. 

  • Biking Borders
  • Biking Borders

Bagi orang yang mengadakan perjalanan di negara itu menggunakan kendaraan, jalanan yang naik-turun bisa jadi tak menjadi persoalan besar. Problem kontur jalan yang tak datar hanya disadari oleh mereka yang menjelajahi jalan-jalan Austria dengan sepeda. Dalam hal ini, perspektif yang terbentuk dari pengalaman Max dan Nono mampu memberikan informasi yang berbeda tentang Austria lewat kacamata seorang pesepeda. Bagaimana keduanya bertahan lantas menjadi hal lain yang menarik buat diketahui dalam film.

Selain adegan di atas, trip di Turkmenistan juga dapat menggambarkan bagaimana karakteristik negara, termasuk geografis serta warganya memberi warna perjalanan Max serta Nono dalam Biking Borders. Turkmenistan merupakan negara bekas jajahan Uni Soviet di Asia Tengah yang dikenal tertutup pada dunia luar serta sulit untuk dikunjungi. Peraturan visa yang ketat membuat negara ini jarang dikunjungi wisatawan mancanegara. Turkmenistan diatur oleh pemerintah yang otoriter sehingga tindak tanduk warganya berada di bawah pengawasan. 

Biking Borders
Max Jabs dan Nono Konopka via IMDb

Berbeda dengan negara lain yang telah dilewati, peraturan ketat di Turkmenistan mengharuskan dua sahabat itu bersepeda hampir 600 km sehari. Hal ini membuat mereka gugup sekaligus ragu sebab keduanya tak pernah mengendarai sepeda lebih dari 100 km per hari sebelumnya. Kejadian yang dialami Max dan Nono sewaktu melakukan trip di Turkmenistan pada akhirnya mampu menyuguhkan pengalaman khas yang dialami pesepeda di negara tersebut. Hal ini turut berlaku ketika mereka melewati negara-negara lain selama perjalanan dari Berlin ke Beijing buat menggalang dana.

Dari segi penceritaan, adanya animasi yang memvisualisasikan jumlah donasi yang didapat memudahkan penonton untuk mengikuti proses penggalangan dana Max serta Nono. Selebrasi-selebrasi di media sosial buat merayakan jarak yang telah ditempuh dua sahabat itu dengan sepeda juga menggambarkan seberapa jauh usaha mereka mewujudkan impian membangunan sekolah.

Pengambilan shot gambar di Biking Borders pun tak monoton. Film ini memang menyuguhkan perjalanan pribadi Nono dan Max yang ditampilkan lewat visual yang mirip dengan video blogging atau vlog. Meski begitu, unsur sinematik tetap dimasukkan dalam pengambilan gambar. Berbagai macam shot seperti extreme wide shot, two shot, dan close up dipakai. Selain itu, angle di antaranya high angle, eye level, serta low angle ditemukan pula di film ini. 

Masalah baru muncul ketika konflik yang ada dalam Biking Borders melulu berbicara tentang problem yang dihadapi Max dan Nono sewaktu bersepeda dari awal hingga pertengahan film. Meski karakteristik negara, termasuk geografis serta warganya mampu memberikan warna pada perjalanan keduanya, formula konflik ini dapat menimbulkan rasa bosan apabila terus-menerus disuguhkan. Untungnya, kebosanan tersebut hilang ketika adegan Nono yang menangis karena relasinya dengan sang pacar tengah bermasalah muncul.Sejak awal film, Max dan Nono tak banyak menceritakan soal kehidupan pribadi mereka di samping kisah tentang keduanya yang telah bersahabat sejak kuliah. Konflik antara Nono dengan orang terdekatnya pun mampu menyegarkan alur cerita film sebab kejadian itu turut mempengaruhi trip belasan ribu kilometer yang ia lakukan bersama Max. Terkait ending film, akhir cerita Biking Borders tetap menyenangkan untuk ditonton walau mudah ditebak karena usaha yang mereka kerahkan membuahkan hasil.   


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ajeng Nadias

Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.

Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Slow Travel: Melambatkan Perjalanan di Dunia yang Serba Cepat