Napas saya terengah-engah saat menaiki anak tangga di Kampung Warna-Warni Jodipan. Kami hendak keluar setelah menjelajahi beberapa bagian permukiman ini. Tak seperti saat memasuki kampung, untuk keluar kami harus mendaki. Sampai di pintu keluar yang tembus ke Jalan Juanda, sejenak saya mengambil jeda untuk istirahat sambil meneguk air mineral. Begitu juga peserta lainnya. Tak bisa dimungkiri, raut wajah mereka menunjukkan kelelahan.

Sesudah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Juanda. Beberapa bedeng yang menjual barang-barang bekas berdiri di kedua sisi jalan. Tumpukan koper, peralatan dapur hingga kursi roda menjadi bagian dari barang-barang bekas yang dijual.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Bedeng-bedeng di ruas Jalan Juanda yang menjual aneka barang bekas/Dewi Sartika

Malang, Laboratorium Arsitek di Indonesia

Seperti Jalan Aries Munandar, Jalan Juanda juga menyimpan bangunan-bangunan era kolonial. Tak banyak memang. Namun, sisa-sisanya masih dapat dilihat. Saya pun baru menyadarinya. Maklum saja, saya jarang lewat jalan ini. Kalaupun pernah, itu dengan mengendarai motor sehingga abai dengan bangunan-bangunan tua yang masih tersisa.

Agung Buana, pemandu tur, meminta kami untuk berhenti di pinggir jalan. Pandangan kami semua kemudian tertuju pada sebuah rumah berpagar biru langit.

“Masih banyak bangunan kuno. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi permukiman padat penduduk juga. Kita mengenali rumah-rumah kuno itu dari mana? Jangan melihat dari depannya saja, tetapi lihatlah atapnya. Ada fasad-fasad bangunan yang menunjukkan kekunoannya. Ciri lainnya, di ujung atapnya ada semacam mahkotanya.”

Ia juga menambahkan, rumah-rumah yang ada di Jalan Juanda ini sudah ada sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Ciri lain bangunan-bangunan tua pada masa itu adalah mempunyai halaman yang luas.

Kami berjalan kembali hingga sampai di pertigaan Jalan Juanda, yang terhubung dengan Jalan Mangun Sarkoro. Jalan Mangun Sarkoro dikenal dengan nama Gang Boldy. Nama ini diambil dari nama pengusaha keturunan Armenia, A.M.J. Boldy.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Gang Boldy/Dewi Sartika

Tak Jauh dari Gang Boldy, sebuah rumah tua berdiri. Saya sempat terperangah. Rumah yang dahulu sering terlihat kusam kini berubah menjadi cantik. Tampak sekali tembok dan pagarnya telah dicat ulang. 

Kami berdiri di seberang rumah tersebut, tepatnya di depan rumah bergaya jengki yang populer tahun 1950-an. Kepada kami, Agung meminta kami untuk melihat bagian atapnya serta ornamen-ornamen luar rumah tersebut. 

“Malang mempunyai banyak ciri arsitektural, makanya disebut laboratorium arsitek di Indonesia. Karena apa? Bangunan-bangunan semacam itu rata-rata (dibangun) tahun 1910-an, sementara rumah jengki yang ini sesudah kemerdekaan,” katanya sambil menunjuk rumah di seberang jalan, yang diperkirakan berdiri pada 1910-an tersebut.

Tepat di samping rumah era kolonial yang terletak di seberang jalan, juga ada rumah tua berpagar cokelat yang berbeda bentuknya. Menurut Agung, rumah tersebut merupakan tipe-tipe rumah tahun 60 hingga 70-an. Adapun ruko di samping rumah berpagar cokelat, ia menyebut gaya ruko tahun 80-an dan 90-an awal.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)

Sosok Thee Tjoe Kam

Pasar Kebalen berada di Jalan Zaenal Zakse. Jalan ini memanjang dari perempatan Kelenteng Eng An Kiong hingga perempatan Kebalen yang menjadi titik pertemuan Jl. Zaenal Zakse, Jl. Juanda, Jl. Kebalen Wetan, dan Jl. Muharto. Perempatan ini menjadi salah satu titik tersibuk di pagi hari, terutama ketika berangkat kerja atau sekolah. Untuk itu, menghindari Jalan Zaenal Zakse sebenarnya solusi terbaik meski menjadi jalan tembusan menuju Pasar Besar Malang.

Bayangkan saja, berkendara melewati Jalan Zaenal Zakse dengan para pedagang yang menggelar lapaknya di sisi kanan-kiri jalan, sementara dari arah berlawanan juga meluncur kendaraan bermotor. Syukur-syukur kalau yang lewat adalah sepeda motor. Adakalanya kendaraan roda empat juga lewat Pasar Kebalen, yang tentu saja sering menimbulkan kemacetan karena jalan terlalu sempit. Tak hanya itu saja, jalan ini juga dibelah rel kereta api. Kereta api yang lewat juga menambah kemacetan di Pasar Kebalen.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)

Itulah sekilas mengenai kondisi Pasar Kebalen yang biasa menjadi tempat saya berbelanja. Sebenarnya, tempat tinggal saya lebih dekat dengan Pasar Induk Gadang, tetapi saya lebih suka belanja di tempat ini. Alasannya, meski sering macet, tetapi suasana pasar tradisional ini membuat saya terkesan dengan banyaknya orang yang saya temui. Selain itu harga  sejumlah kebutuhan dapur di pasar ini juga tergolong murah karena bisa ditawar.

Pasar Kebalen menjadi tujuan kami berikutnya usai mendengar cerita di Jalan Juanda. Sebelum memasuki area pasar, di perempatan, kami terlebih dulu belok ke kiri. Agung hendak mengajak kami melihat bekas rumah pengusaha Tionghoa sukses era kolonial, Thee Tjoe Kam.

Sebagaimana A.M.J. Boldy yang menjadi nama tempat, nama Thee Tjoe Kam juga diabadikan menjadi nama perempatan, yakni Perempatan Cukam yang merupakan nama lain Perempatan Kebalen. Dari arah kelenteng, kediaman Thee Tjoe Kam berada di sisi kiri jalan.

Saya masih ingat, dulu, bekas rumah Thee Tjoe Kam ini hampir tak terlihat karena ditutupi seng. Sekarang, seng-seng tersebut telah hilang. Nasib rumah tersebut serupa dengan bangunan-bangunan tua tak terawat, kusam dengan warna hitam yang perlahan merambat menghiasi dinding-dinding rumah. Di halaman depannya ada sejumlah gerobak jualan. Sepertinya para pedagang menyimpan gerobaknya di tempat ini.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Gerobak-gerobak penjual makanan terparkir di depan bekas kediaman Thee Tjoe Kam/Dewi Sartika

Menara Seruling dan Pasar Kebalen

Kami hanya sebentar mengamati bekas kediaman Thee Tjoe Kam. Saya lalu melangkah beberapa meter kemudian berdiri di depan sebuah toko roti. Lalu lintas di Jalan Muharto terbilang ramai. Mata saya tertuju pada sebuah objek ketika Agung mulai berbicara.

“Orang Malang menyebutnya menara seruling. Menara ini tinggal satu-satunya yang masih utuh di Malang. Dulu digunakan sebagai penanda kalau ada serangan udara. Dibangun oleh Belanda tahun 1940 karena Belanda mengkhawatirkan Jepang akan masuk ke Hindia Belanda melalui serangan udara. Kalau ada serangan udara, sirine itu berbunyi dan berputar. Terdengarnya bisa mencapai radius empat sampai lima kilometer.”

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Menara seruling di dekat perempatan Pasar Kebalen/Dewi Sartika

Dari keterangan Agung, Belanda membangun delapan menara seruling di Kota Malang. Di antara menara-menara tersebut, menara seruling di Jalan Muharto ini terbilang masih lengkap dan bahkan masih berfungsi. Menara ini digerakkan generator ANIEM. Jadi, di mana ada menara seruling di situlah terdapat gardu listrik.

Usai mendengar penuturan Agung, kami bergerak ke barat menuju Pasar Kebalen. Kami melewati sebuah bangunan besar bercat putih yang lagi-lagi terlihat kusam. Itulah hotel milik Thee Tjoe Kam. Sisa-sisa kemegahan hotel tersebut masih terlihat dari lengkungan dinding serta pilar-pilar yang menyatu dengan tembok. Ada juga dinding persegi yang menyerupai jendela. 

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Sisa bangunan hotel milik Thee Tjoe Kam di area Pasar Kebalen/Dewi Sartika

Meskipun waktu mulai beranjak siang, Pasar Kebalen masih ramai. Namun, tak ada lagi kemacetan karena pedagang mulai berkurang. Menyisakan pedagang-pedagang lainnya yang masih setia duduk dekat barang-barang jualan tempat mereka menanti pembeli. 

Kami menyeberang. Tepat di hadapan kami ada penjual kelapa. Beberapa kelapa yang sudah bersih dari sabutnya tertata rapi di meja. Pedagang kelapa tersebut berjualan di muka sebuah rumah tua bergaya kolonial. Tak seperti rumah Thee Tjoe Kam, bangunan ini masih terawat dan bersih. Agung menunjukkan beberapa aspek kolonial yang melekat di rumah tersebut. Ia tak segan memuji keindahan kaca patri yang terpasang di bagian atas.

“Pasar Kebalen ini memang berada di pinggir jalan. Saya saat ini sedang melakukan proses penelitian pasar-pasar tradisional di Kota Malang. Saya menemukan data, bahwa dari awal Pasar Kebalen ini memang pasar tumpah. Jadi, pasar ini merupakan titik pertemuan dari lokasi-lokasi produsen pertanian, seperti Kedungkandang, Wonokoyo, dan Kepanjen. Sumber-sumber pertanian turun ke sini semua. Begitu sampai sini, mereka kemudian melakukan proses jual beli,” terang Agung Buana mengenai keberadaan Pasar Kebalen.

Alasan dipilihnya Pasar Kebalen menjadi lokasi jual beli karena pada saat itu Pasar Induk Gadang belum ada. Artinya, Pasar Kebalen menjadi pasar paling ujung di Kota Malang waktu itu. Faktor lainnya, lokasi pasar ini juga berdekatan stasiun trem, terminal, dan permukiman yang berada di sebelah timur kota.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Bangunan era kolonial dengan Bintang David di bagian atasnya, terletak di belakang kelenteng/Dewi Sartika

Kami meneruskan perjalanan melewati para pedagang yang masih bertahan di pasar. Satu-dua pedagang menjajakan dagangannya kepada kami. Setibanya di Kelenteng Eng An Kiong, kami tak langsung istirahat. Para peserta termasuk saya melihat-lihat keindahan kelenteng yang menjadi tempat ibadah agama Buddha, Tao, dan Konghucu sembari mendengarkan penjelasan singkat dari Agung.

Masih di kompleks kelenteng, tepat di samping tempat ibadah terdapat area kantin yang menyatu dengan tempat parkir. Kami bergegas ke kantin. Maklum saja, perjalanan yang kami tempuh ternyata cukup jauh sehingga membuat kami lumayan kepayahan. Setidaknya, menyantap rujak cingur atau kolak bisa memulihkan tenaga kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

2 komentar

Eko yudho 14 Maret 2025 - 12:55

Ayas kera ngalam…..masih bisa bahasa “aremania”. Alhamdulillah dgn adanya narasi ini bisa jadi obat kangen kota tercinta.

Reply
bamzAp 14 Maret 2025 - 19:51

Ayas kera kedkandg telon pasar kebalen iki bendino t liwat …ayas halokes sdKauman n smpnComboran…semangat mbaDewi…apik
Wacanan keren

Reply

Tinggalkan Komentar