Kami menyusuri Jalan Aries Munandar usai mendengarkan cerita bangunan bekas sekolah Tionghoa. Lalu, tibalah saya dan peserta lainnya di perempatan yang menghubungkan Jl. Aries Munandar, Jl. Juanda, dan Jl. Gatot Subroto. Selain perempatan kelenteng yang saya sebutkan sebelumnya, perempatan ini juga termasuk jalur transportasi tersibuk, terutama di pagi dan sore pada hari-hari aktif. Lalu lintas hari Minggu cenderung berjalan normal tanpa macet.

Berada dekat pohon besar dan hampir tertutup tiang besi, sebuah penanda dengan warna kuning berdiri sebelum Jembatan Brantas. Ya, inilah titik nol Kota Malang. Bukti kawasan ini menjadi pusat aktivitas di kota dengan hiruk-piruk berbagai alat transportasi darat yang melintas di kawasan ini.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Penanda titik nol Kota Malang di dekat Jembatan Buk Gluduk/Dewi Sartika

Titik Nol Kota Malang

“Titik nolnya Kota Malang yang lebih unik lagi, ada dua. Yang satu di sini, yang satunya lagi di bawah jembatan penyeberangan Sarinah. Titik nol ini menandai jalur pos. Belanda selalu membuat perkiraan perpanjangan wilayah per kilometer biar tahu jarak antardaerah. Jalur pos itu tidak harus melalui kantor pos, tetapi jalur pos itu bisa digunakan untuk jalur transportasi, jalur kereta api, dan lain-lain, makanya titik nolnya digunakan di sini,” terang Agung Buana, pemandu tur, dengan suara lebih nyaring.

Masih menurut keterangan pemerhati sejarah Malang itu, ada juga pendapat lain bahwa jalur ini dibuat jawatan perhubungan era Belanda. Tujuannya, untuk menandai Kota Malang dengan kota-kota lain, seperti Surabaya yang berjarak 89 kilometer dan Purwosari 28 kilometer.

Dari tempat kami berdiri, terlihat Kampung Warna-Warni Jodipan, sebuah permukiman padat penduduk yang berada di tepi Sungai Brantas. Dahulu, sebelum menjadi permukiman, kampung ini adalah sebuah bantaran Sungai Brantas. Awal mula bantaran ini menjadi sebuah kampung tak lepas dari kebutuhan tempat tinggal oleh tunawisma (homeless). Karena keterbatasan yang dimiliki, mereka kemudian membangun gubuk-gubuk kecil yang di kemudian hari berkembang menjadi permukiman seperti sekarang.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Jembatan Buk Gluduk dipotret dari Jalan Gatot Subroto, bersebelahan tepat dengan gapura Kampung Warna-Warni/Dewi Sartika

Jembatan Buk Gluduk

Kami tak berlama-lama di dekat titik nol Kota Malang. Dengan agak tergesa-gesa, saya dan peserta lainnya menyeberang jalan sesudah Agung memberi aba-aba.

Kendaraan-kendaraan lalu-lalang di Jembatan Buk Gluduk. Jembatan ini melintang di atas Sungai Brantas sehingga sering juga disebut Jembatan Brantas. Nama Buk Gluduk sendiri berasal dari struktur jembatan ini yang mulanya dibuat dari kayu. Kata buk berasal dari bahasa Belanda “brug”, yang berarti jembatan. Lidah orang lokal menyebutnya buk. Sementara penamaan gluduk punya kisah tersendiri. Dahulu, jembatan papan kayu ini sering dilalui cikar yang kemudian menimbulkan suara gluduk-gluduk.

Saat ini Jembatan Buk Gluduk sudah berganti dengan struktur beton. Agung Buana juga menambahkan, di era tahun 1950-an jembatan ini direnovasi dan penamaannya diubah menjadi Jembatan Pahlawan.

Tepat di bawah Jembatan Buk Gluduk, permukiman dengan atap berwarna-warni langsung menjadi perhatian bagi siapa saja yang sedang berdiri di atas jembatan sisi timur. Itulah Kampung Warna-Warni. Pandangan saya lalu beralih ke depan. Sebuah jembatan rel kereta api membentang membelakangi Pegunungan Tengger (di dalamnya ada Semeru dan Bromo) dan Gunung Mburing.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Konstruksi Jembatan Buk Gluduk yang dilihat dari Kampung Warna-Warni/Dewi Sartika

“Gunung Mburing ini sebutan baru. Sebutan lamanya adalah Gunung Malang. Kenapa kita ini disebut Kota Malang, salah satunya karena keberadaan gunung ini. Disebut Gunung Malang karena gunung ini melintangi atau menghalangi pandangan terhadap Gunung Semeru, istilahnya malangi,” ucap Agung.

Jauh sebelum masa kolonial, jalur Gunung Mburing yang memanjang membelakangi Gunung Semeru ini merupakan jalur kuno peradaban kerajaan-kerajaan di Malang, seperti Kanjuruhan dan Singasari. Menurut Agung, dahulu orang-orang harus memutar terlebih dulu sehingga di beberapa titik di jalur tersebut terdapat bangunan candi-candi, semisal Candi Jago dan Candi Kidal. Jalur ini pula, yang digunakan Hayam Wuruk sewaktu melakukan perjalanan sebagaimana yang terdapat di kitab Kakawin Nagarakretagama.

“Dahulu, jalur utamanya ada di sebelah timur. Berarti, peradaban di Malang ini bergeser dari timur ke barat. Pergeseran inilah yang menyebabkan salah satu hal Kota Malang mengalami banyak perubahan, mulai dari konturnya, [hingga] sistem pemerintahannya ke barat semuanya,” tambahnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Tampak atas Kampung Warna-Warni yang dipisahkan Sungai Brantas, difoto dari sisi timur Jembatan Buk Gluduk/Dewi Sartika

Kampung Warna-Warni Jodipan

Dari Jembatan Buk Gluduk, kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Warna-Warni. Sebelum memasuki kampung, Agung sempat memberikan cerita pengantar mengenai permukiman ini. Selain menjadi tempat tinggal warga, ternyata di kawasan Kampung Warna-Warni terdapat depo Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). 

Tak hanya depo saja, tetapi juga ada rumah-rumah untuk karyawan perusahaan yang terletak di sebelah utara. Sementara itu, mengenai keberadaan rumah-rumah di tepi Sungai Brantas ini, Agung juga mengemukakan fakta menarik.

“Uniknya, rumah-rumah ini, dia bertingkat tapi tidak longsor. Ada yang tahu enggak mengapa rumah-rumah di Malang yang berada di pinggir sungai ini tidak banyak mengalami kelongsoran? Ada yang tahu kenapa?” tanyanya kepada para peserta.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)

Salah satu peserta memberi jawaban tepat atas pertanyaan yang dilempar Agung. Selanjutnya, mantan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) tersebut menjelaskan, ciri-ciri sungai di Malang umumnya dalam dan tidak lebar alias sempit. Lereng di sepanjang pinggir sungai tidak berupa tanah, melainkan batu cadas. Ia lalu membandingkan lereng-lereng di permukiman di Surabaya yang cenderung rata, berbeda dengan di Malang yang cenderung dalam.

“Sebelum tahun 2016, rumah-rumah ini cenderung kotor. Angka kriminalitas juga tinggi yang menyebabkan suasana menjadi rawan. Orang enggak berani masuk ke kampung ini. Nah, sekarang, kampung ini sering didatangi orang-orang dari negara lain. Kenapa? Mereka menikmati kampung ini mulai dari jembatan sampai ke daerah dalamnya. Tahun 2018 sampai sekarang tempat ini menjadi kampung wisata,” jelasnya.

Untuk masuk ke Kampung Warna-Warni, setiap pengunjung dikenakan biaya lima ribu rupiah per orang. Begitu masuk, kami langsung disambut dengan anak tangga. Di atasnya, payung-payung beraneka warna terpasang sepanjang anak tangga yang mengarah ke bawah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Pak Agus (paling kanan) bersama para peserta tur heritage/Dewi Sartika

Kami sempat sekitar setengah jam berada di salah satu sudut kampung yang menghadap ke arah sungai. Dari sini, kami juga bisa melihat bagian bawah Jembatan Buk Gluduk sebelum meneruskan perjalanan. Agung membawa kami ke bagian permukiman yang lapang, mirip sebuah aula. Hanya saja salah satu sisinya hanya dibatasi pagar. Pengunjung bisa menyaksikan Sungai Brantas dan jembatan kaca yang menghubungkan dua permukiman. Kampung Warna-Warni memang dipisahkan Sungai Brantas.

Tepat di tengah-tengah, beberapa orang duduk beralas tikar. Seorang pemuda berselempang putih dengan kemeja merah sedang berbicara di hadapan orang-orang tersebut. Di sampingnya ada white board yang terpasang di tripod. Baru saya ketahui dari penjelasan Pak Agus bahwa pemuda tersebut dari Universitas Malang sedang memberikan materi kepada warga sekitar. Pak Agus merupakan warga Kampung Warna-Warni, sekaligus seorang pelukis gambar-gambar yang menghiasi beberapa bagian tembok di kampung.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar