Kota Malang pada Minggu pagi di awal Desember tahun lalu berselimut mendung. Dengan harap-harap cemas, hati kecil saya berdoa semoga tidak hujan. Maklum saja, beberapa hari belakangan, hujan senantiasa mengguyur Kota Malang. Saya hendak mengikuti tur heritage “Riwa Riwi Oyi”. Ini untuk pertama kalinya saya ikut. Sebelumnya, penyelenggara sudah mengadakan tur serupa ke balai kota dan Stadion Gajayana.

Memasuki perempatan Kelenteng Eng An Kiong dengan laju motor agak cepat, saya melewati salah satu persimpangan jalan tersibuk di kota ini. Pagi itu, suasana lalu lintas sudah mulai ramai meski waktu masih menunjukkan pukul 07.00. Sementara di samping kelenteng, aktivitas pasar telah dipenuhi manusia dan kendaraan. 

Usai melaju di Jalan Pecinan Besar, saya bergerak ke arah Kudusan kemudian belok lagi ke kanan. Tak sampai seratus meter, saya melambatkan motor sebelum berhenti sejenak untuk menyeberang. Saya memasuki halaman depan sebuah bangunan berpagar hitam dengan dominasi warna putih di dinding. Untuk ketiga kalinya saya ke sini. Kunjungan pertama, bangunan ini masih terbengkalai. Lalu kunjungan kedua dan ketiga, bangunan ini telah berubah rupa menjadi semacam kafe dengan ruang pameran di dalamnya.

Beberapa orang telah tiba terlebih dahulu. Setelah menyapa sejumlah peserta, saya mendaratkan tubuh ke sebuah kursi kayu yang diletakkan di depan bangunan. Sesaat, mata saya tertuju pada langit yang masih digelayuti mendung. Sesudah menunggu sekitar 30 menit, saya dan peserta lain memulai perjalanan. 

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Tampak depan gedung yang pernah digunakan sebagai markas Freemason/Dewi Sartika

Markas Freemason di Jalan Aries Munandar

Jalan Aries Munandar. Titik kumpul kegiatan sekaligus kawasan pertama yang menjadi tujuan kami. Saya sudah cukup familiar dengan area ini karena sebelumnya pernah mengikuti tur heritage yang memasukkan Jalan Aries Munandar sebagai destinasinya.

Berada di Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Klojen, Jalan Aries Munandar juga menyimpan bangunan-bangunan tua era kolonial yang terdapat di sepanjang jalan. Tentu saja, bangunan-bangunan ini berdiri berdampingan dengan bangunan modern lainnya. Salah satunya adalah Kafe Pop Mason 52, titik awal pemberangkatan kami. 

Bagi orang awam, bisa jadi gedung ini tak ada bedanya dengan bangunan lain yang menghiasi Jalan Aries Munandar. Namun, jangan salah, Kafe Pop Mason 52 ternyata menyimpan kisah menarik untuk disimak. Siapa yang mengira, dahulu pada masa kolonial, Kafe Pop Mason 52 pernah menjadi markas organisasi Freemason. Bangunannya sendiri diresmikan pada 11 April 1914.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Agung Buana memberi penjelasan kepada para peserta tur/Dewi Sartika

“Freemason menggunakan gedung ini untuk perpustakaan di lantai satu dan aktivitas lainnya di lantai dua. Saat ini, lantai satu digunakan untuk kafe, di belakang digunakan untuk homestay, sementara di lantai duanya digunakan untuk galeri,” jelas Agung Buana, pemandu tur.

Ia mempersilakan para peserta naik ke lantai dua untuk melihat-lihat. Sebelumnya, lelaki yang juga menjabat sebagai kepala rumah tangga di Balai Kota Malang ini memberitahu kami, bahwa kondisi di lantai dua sedikit berantakan mengingat minggu sebelumnya ada pameran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)

Bersama peserta lainnya, saya meniti anak tangga yang bentuknya sedikit curam dan sempit. Beberapa lukisan masih terpasang di dinding dan tergeletak di lantai. Sejumlah potongan kertas berisi nama pelukis dan judul lukisan juga masih menempel di tembok lantai dua. Tak afdal rasanya memasuki bekas markas Freemason tanpa melihat ciri khasnya, yaitu lantainya yang berwarna hitam-putih. Itu pula yang menjadi tujuan saya. Meskipun sebelumnya sudah pernah melihat, tetapi hal ini masih menarik minat saya untuk kembali melihatnya.

Lantai dua disekat menjadi dua bagian. Bagian depan terdapat balkon, sedangkan lantai hitam-putih ada di bagian belakang. Lantai yang menyerupai papan catur tersebut tampak kusam di beberapa bagian. Maklum saja, bagian ini masih asli sejak awal berdiri. Saya kemudian teringat akan ruangan di Hotel Shalimar yang juga pernah menjadi markas Freemason. Lantainya juga hitam-putih, hanya saja tidak kusam karena memang bukan orisinal.

Selain gedung bekas markas Freemason, di Jalan Aries Munandar juga terdapat bangunan tua lainnya yang sudah ada sejak zaman kolonial. Di seberang Kafe Pop Mason 52, terdapat sebuah rumah tua peninggalan masa kolonial dengan tulisan “1913” di bagian atasnya, yang merujuk pada tahun pendirian rumah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Salah satu rumah tua di Jalan Aries Munandar yang dibangun pada tahun 1913/Dewi Sartika

Arsitektur Chalet di Bekas Sekolah Tionghoa

Berjarak sekitar 50 meter dari Kafe Pop Mason 52, ada bangunan milik ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij) atau perusahaan listrik yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Kami berdiri di tepi jalan. Di seberang jalan, gedung bercat biru berdiri kokoh. Dulunya, gedung tersebut berfungsi sebagai rumah generator yang memasok tenaga listrik untuk daerah sekitarnya, seperti Kota Lama, Pecinan hingga daerah Klojen. Diperkirakan gedung tersebut dibangun pada awal tahun 1900-an.

“Menjelang tahun 1940-an, kantor ANIEM pindah ke Kayutangan. Ada perbedaan yang menarik. Gedung ini, ornamennya masih sama, yang beda cuma warnanya saja. Atapnya juga agak beda sedikit, tapi yang lainnya masih sama. Sekarang, bangunan ini digunakan sebagai gudangnya PLN,” ucap Agung.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Bangunan bekas kantor ANIEM yang kini menjadi gudang PLN/Dewi Sartika

Kami lalu beranjak lagi, tak jauh dari bekas gedung ANIEM. Kami berdiri di depan sebuah bangunan yang sekarang difungsikan sebagai kafetaria, dengan menu andalan pizza. Dilihat dari depan, bangunan ini sepertinya tak memiliki nilai historis. Namun, begitu bola mata ini mendongak, ada yang istimewa dari bangunan itu. Ya, bagian atasnya berupa ornamen kayu mirip kipas. Masih asli. 

Agung pun memuji ornamen tersebut. Menurutnya, dibandingkan bangunan lain di Kota Malang yang rata-rata ornamennya tempelan dari semen, ornamen kayu ini terkesan mewah dan artistik. Ia juga menambahkan, kayu yang digunakan jelas merupakan kayu pilihan. Sebab, sifatnya kering dan kuat sehingga mampu bertahan kurang lebih seratus tahun.

Dari dulu, sebenarnya saya agak penasaran dengan bentuk ornamen itu. Sepanjang tur heritage yang pernah saya ikuti, ornamen kayu menyerupai kipas seingat saya hanya ada di bangunan tersebut. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab beberapa hari kemudian. Sebuah info penting tentang ornamen diunggah Anthony, pemilik kafetaria yang juga turut menyertai perjalanan tur di grup Whatsapp Temenggoengan Heritage.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Tampak depan bangunan berarsitektur Chalet yang telah terbagi menjadi dua bagian/Dewi Sartika

Berdasarkan keterangan dari Olivier Johannes Raap, penulis sejumlah buku, seperti Djawa Tempo Doeloe, Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, dan Kota di Djawa Tempo Doeloe, bangunan dengan ornamen kayu tersebut bergaya arsitektur Chalet. Gaya ini terinspirasi dari rumah adat di daerah perdesaan dan pegunungan di Eropa.

Sayangnya, bangunan yang dulu pernah digunakan sebagai sekolah Tionghoa (Holland Chinese School) ini terpotong menjadi dua karena kepemilikan yang berbeda. Tepat di sebelah kafetaria, ada sebuah kafe. Berdasarkan penelusuran Anthony, tidak ada data lengkap mengenai bangunan yang ia miliki. Sampai sekarang, lelaki dari Jakarta itu pun masih berusaha mencari informasi mengenai bangunan tersebut hingga ke Belanda. Hal ini berbeda dengan data-data terkait bangunan-bangunan tua lainnya di Jalan Aries Munandar yang terbilang lengkap.

Sementara itu, Agung menuturkan, bangunan-bangunan di Kota Malang—termasuk di Klojen Kidul—punya sejarah panjang. Menunjukkan bahwa dulunya adalah daerah aktivitas utama sebelum bergeser ke arah barat. Setidaknya, ada bukti lain yang menunjukkan hal tersebut.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar