Saya menduga, serangga itu sedang berkembang biak. Keduanya melekat, berkelip-kelip memunculkan warna hijau metalik. Terbang bersama ke sana kemari. Namanya Chrysochroa fulminans atau lebih akrab disebut samber lilin. 

Sudah sangat jarang saya melihat samber lilin. Di sini keberadaanya sekarang cukup langka. Sewaktu kecil, saya cukup sering berburu hewan tersebut. Umumnya samber lilin digunakan untuk hiasan, seperti kalung atau gelang karena warnanya yang memikat. 

Dulu, hewan ini dipercaya masyarakat memiliki kekuatan magis. Seringkali ia digunakan sebagai susuk, yang berguna untuk memikat lawan jenis. Beruntung, saya bisa menjumpainya lagi di Sendang Siwahyu.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Serangga samber lilin di area Sendang Siwahyu/Aldino Jalu Seto

Kontradiksi Sendang Siwahyu

Siwahyu, nama yang cukup unik dari sebuah sendang. Bahkan lebih mirip dengan nama manusia. Saya menemukan nama Siwahyu tertulis samar-samar di gapura masuk berwarna kuning putih yang terbuat dari kayu. Tampaknya umur gapura tersebut cukup tua, karena terlihat kayunya juga sudah usang. 

Tertulis pula tahun 1958 di sebelah nama “Siwahyu”. Sementara di sebelah gapura, tepatnya di tembok batu yang dicor tertulis tahun 1973. Di atasnya masih terdapat kata-kata, tetapi sayangnya sudah tidak dapat dibaca dengan jelas. Entah mana tahun lahir dari Sendang Siwahyu ini yang benar.

Berbicara lokasi, Sendang Siwahyu terletak tak jauh dari Balai Desa Cangkringan. Dari balai desa tinggal lurus sejauh kurang lebih 300 meter. Sendang ini berada di sebelah kiri jalan. Selain lokasinya yang strategis—di tengah desa—akses masuknya juga sangat nyaman karena sudah terdapat jalan setapak berupa anak-anak tangga. 

Ketika turun menuju sendang, hanya terdapat sebuah pohon di sendang ini. Namun, terdapat bekas pohon lain yang tumbang sudah cukup lama, tepat di sebelah pohon tersebut. Saat saya datang masih belum ada pohon pengganti. Padahal pohon ini digunakan untuk menyerap air ke tanah. 

Saya pun langsung mengecek kondisi Sendang Siwahyu. Mulai dengan mengamati sekitar, mencari perbedaan antara sendang ini dengan yang lain, serta memotret hal-hal menarik, seperti samber lilin tadi. 

Setelah saya amati, sendang ini tak jauh berbeda dengan sendang lainnya. Ia memiliki dua kolam yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Bentuk bangunannya pun kurang lebih sama, persegi seperti di beberapa sendang yang saya temui sebelumnya. Bedanya, tuk atau mata air di kedua kolam ini berada sedikit lebih tinggi dari kolam yang digunakan untuk berenang.

Tak hanya sama secara bentuk bangunan, kesamaan Sendang Siwahyu dengan sendang yang lain adalah kedalaman airnya. Di Cangkringan, rata-rata kedalaman air sendang hanya seukuran perut orang dewasa atau kurang dari satu meter. 

Satu hal unik yang saya temui di Sendang Siwahyu adalah adanya tempat untuk mencuci. Lokasinya berada tepat di depan sendang putra dan putri. Tempatnya cukup luas dan juga berbentuk persegi. Sayangnya, sekarang airnya kotor dan berlumut.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Sampah deterjen kemasan yang mencemari Sendang Siwahyu/Aldino Jalu Seto

Malah saya menemukan seseorang sedang mencuci pakaian di tempat yang (seharusnya) digunakan untuk mandi dan berenang. Alhasil, kotoran yang dihasilkan dari proses mencuci tadi mengalir menuju kolam yang digunakan untuk mencuci. Tak hanya berupa kotoran sabun, tetapi juga limbah plastik bekas kemasan ikut hanyut terbuang. 

Saya dan kedua kawan, Ardha dan Akbar, awalnya berencana ingin mencoba mandi di Sendang Siwahyu. Sayang sekali, melihat kondisi kolam, kami harus mengurungkan niat untuk mandi. Padahal waktu sudah menunjukkan tepat pukul 12.00, yang menandakan matahari tengah panas-panasnya. Rasanya, kesegaran air dari petirtaan alami adalah solusi yang pas.

Tak lama saat kekecewaan itu muncul, ajakan untuk berpindah ke sendang lain pun muncul beriringan. Ardha mengajak kami bergeser ke sebuah sendang yang biasa ia pakai bersama teman-temannya dulu. Saya menyebutnya Sendang Pancuran Limo.

Pancuran Limo yang Mulai Ditinggalkan

Kurang lebih sepuluh tahun lalu saya mengunjungi tempat ini. Saat itu usia saya 12 tahun. Pancing, jaring, ember, dan umpan adalah alat perang saya untuk mencari ikan.

Saya bukan warga lokal Cangkringan. Saya adalah penduduk desa sebelah. Untuk mencapai ke Sendang Pancuran Limo, sepeda mini adalah transportasi paling efektif di masa itu. Akhirnya saya kembali lagi ke sini. Selain untuk bernostalgia, juga menelusuri jejak sejarah. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Lima aliran air di Sendang Pancuran Limo yang berkumpul di satu kolam/Aldino Jalu Seto

Sendang ini dibuat pada 1954. Usianya terpaut tujuh bulan lebih muda dari Sendang Karang Kulon. Nama “Pancuran Limo” berasal dari pancuran yang berjumlah limo (baca: lima). Sendang Pancuran Limo tak banyak berubah. Secara fisik, bangunannya masih sama persis dibandingkan beberapa tahun silam saat saya ke sini.

Sedikit perbaikan dilakukan. Dulunya, tuk atau sumber mata air yang berada di belakang sendang terbuka. Sekarang sudah ditutup. Sepertinya ada ketakutan jika tuk akan kotor jika tetap dibuka, sehingga bisa tersumbat dan tidak mengeluarkan air kembali. 

Selain tuk yang ditutup, di depan sendang juga digunakan untuk budidaya pohon jambu. Padahal tempat itu dulunya lahan basah saya untuk mencari ikan mujair dan nila. Kini semuanya telah diuruk tanah. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)

Meskipun begitu, lagi-lagi Sendang Pancuran Limo tetap tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan tradisi pemberian sesajen masih dilakukan sampai sekarang. 

Secara arsitektur, sendang ini terbagi menjadi dua bagian. Lagi-lagi pembagiannya berdasarkan jenis kelamin, yaitu putra dan putri. Sendang putra berbentuk persegi panjang dengan panjang kurang lebih 5×2 meter. Kedalamannya tidak seberapa, hanya sekitar setengah meter. Bentuk sendang putri pun sama, dengan kedalaman tak jauh berbeda. 

Saat ini, penggunaan Sendang Pancuran Limo lebih didominasi oleh orang yang sudah sepuh. Kebanyakan warga mulai meninggalkan sendang karena telah memiliki kamar mandi sendiri.

Fenomena sosial perpindahan tempat membersihkan diri masyarakat, dari sendang menuju ke kamar mandi, telah berlangsung belakangan. Makin lama, sendang yang awalnya didamba sebagai ritus budaya berubah menjadi tempat mandi, lalu berganti menjadi tempat angker karena terlalu lama ditinggalkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar