Semasa masih SD, menelusuri jejak budaya di desa—seperti petirtaan—adalah kegiatan sehari-hari saya. Ajakan lumban (berenang di kali) dan nyobok (mencari ikan) adalah hal yang lumrah saya dan kawan-kawan dapati. Pernah suatu waktu, kami tertangkap basah mencuri ikan di kolam milik warga. Sontak kami dikejar warga menggunakan arit.
Setelah diingat-ingat, petirtaan-petirtaan itu membawa banyak cerita yang mungkin tak bisa saya dapatkan lagi. Ingatan tersebut membawa saya kembali ke Desa Cangkringan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali (20/2/2024).
Saya pun mencoba menghubungi dua kawan saya sewaktu SMP dulu. Mereka adalah “warlok” alias warga lokal asli Cangkringan bernama Ardha dan Akbar. Tak berselang lama, Akbar meminta saya untuk datang ke rumah Ardha. Sangat pas sekali mereka berdua sedang berkumpul.
Tak berselang lama, Ardha bercerita, “Nang kene ki pendak RT nduwe sendang dewe-dewe. Enek sekitar 16 RT terus dibagi dadi pirang-pirang padukuhan. Berarti sak RT enek sendang siji (Di sini, setiap RT memiliki sendang sendiri-sendiri. Ada sekitar 16 RT yang terbagi menjadi beberapa pedukuhan. Berarti kurang lebih ada 16 sendang juga di satu desa).”
Saya cukup terkejut mendengar pernyataan sohib saya satu ini. Bahkan ketika saya kecil, saya tidak menemukan sendang sebanyak itu di sini. Saya sejenak berpikir dalam hati, “Karena zaman dulu itu gak ada kamar mandi, orang-orang mandinya di sungai kayaknya. Terus karena banyak mata air juga, mereka membuat sendang-sendang yang bisa digunakan secara kolektif, ya. Menarik.”
Saya iseng bertanya sudah sejak kapan sendang ini ada kepada Ardha dan Akbar. Keduanya kompak menjawab tidak tahu. Saat mereka masih kecil, sendang-sendang itu sudah ada. Lagi-lagi saya membatin, “Berarti kegiatan lumban di kali ini sudah menjadi tradisi sejak lama.”
Sesaat kemudian, obrolan kami berakhir. Kami sepakat mencoba menelusuri sisa-sisa jejak kebudayaan desa tersebut.
Keunikan Sendang Kali Nyamplung
Kami berjalan sekitar 200 meter ke arah utara rumah Ardha. Melewati gang-gang sempit juga hutan bambu. Konon kabarnya tempat ini merupakan habitat banyak sarang burung konon kabarnya terdapat banyak sarang burung cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Ardha menyebutnya tengkek.
Sendang pertama yang kami kunjungi bernama Kali Nyamplung. Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di sendang tersebut. Bahkan sebelumnya saya tak tahu jika ada keberadaan sendang di tempat seperti ini.
Sayang sekali, kami bertiga tidak tahu asal usul dari sendang ini. Ardha berinisiatif bertanya ke seorang ibu, yang juga penduduk desa setempat. Hasilnya nihil.
Saya mencoba tak ambil pusing soal sejarah. Saya langsung mengambil beberapa gambar dari sudut pandang yang berbeda beda dengan penuh antusias. Tak lupa, saya juga mencari tanggal atau tahun pembangunan sendang Kali Nyamplung. Ternyata tidak ada informasi mengenai hal itu.
Sendang ini berbentuk persegi. Terdapat sekat berupa tembok di tengah sendang. Kata Ardha, sekat tersebut untuk membedakan tempat mandi laki laki (sebelah timur) dan tempat mandi perempuan (sebelah barat). Di masing-masing tempat itu juga terdapat sekat khusus yang memberikan jalan air agar kotoran bisa berpindah ke arah sungai.
Ada sedikit keunikan pada Sendang Kali Nyamplung. Jika sendang-sendang lain pada umumnya yang saya temui tidak terdapat atap untuk menutup sendang, tetapi Kali Nyamplung memilikinya. Saya menduga karena banyaknya daun pohon bambu yang berjatuhan, sehingga dikhawatirkan akan menutup dan mengotori sendang jika tidak rutin dibersihkan. Maka oleh warga dahulu dibuatlah atap.
Setelah puas melihat-lihat, kami bergeser ke tempat kedua. Akbar mengatakan bahwa perjalanan tak begitu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba di sana jika melewati jalan belakang rumah warga—alias melipir kali.
Saya tidak tahu jalan, sehingga memilih mengikuti instruksi dari kawan saya satu ini. Namun, ternyata saya cukup menyesal melewati akses jalan tersebut. Bukan hanya sulit dilalui, melainkan juga jalan tersebut telah menjadi tempat untuk membuang sampah berupa popok bayi. Ditambah kumpulan nyamuk saling bergantian menggigit sekujur tubuh kami hingga berbentol-bentol.
Nasib Menyedihkan Sendang Mbergundung
“Wes suwe ra dinggo. Padahal ndhisik aku karo cah-cah kerep nganggo adus. Terakhir aku adus nang kene ki SMP meh munggah SMA (Sudah lama tidak dipakai. Padahal dulu aku dan teman teman sering menggunakannya untuk mandi. Terakhir saya menggunakannya waktu SMP mau naik SMA,” ujar Akbar.
Sewaktu kami sampai di lokasi, kami langsung menggerutu. Bukan karena nyamuk tadi, melainkan kondisi sendang yang sudah mengenaskan. Perkiraan saya soal daun bambu sepertinya benar, karena akhirnya menjadi limbah yang akan mengotori sendang bila sendang tidak diberi atap.
Sendang Mbergundung terbagi menjadi dua bangunan, yaitu kolam terbuka dan kolam tertutup. Secara arsitektur, Sendang Mbergundung berbeda dengan Sendang Kali Nyamplung. Keduanya juga dipisahkan oleh batas administratif dalam rukun tetangga (RT), tetapi fungsi masih tetap sama.
Bangunan pertama yang saya lihat adalah area sendang terbuka. Kolam ini berbentuk persegi panjang dengan kedalaman kurang dari satu meter. Di sini terdapat mata air dari tanah, atau masyarakat menyebutnya “tuk” dalam bahasa Jawa. Pada salah satu tembok tertulis tahun pembuatan Sendang Mbergundung, yakni 10 November 1988. Menurut cerita Ardha dan Akbar, dulunya kolam ini digunakan untuk mencuci atau sekadar bermain air.
Adapun kolam tertutup sebagai bangunan kedua berbentuk gabungan antara setengah lingkaran dan persegi panjang. Jika dilihat secara sekilas, tinggi dindingnya kurang lebih dua meter dari dasar kolam. Ketika masih beroperasi, masyarakat Desa Cangkringan menggunakan kolam ini untuk berendam.
Sama seperti kolam sebelumnya, terdapat sekat pembatas antara mata air dengan tempat berendam. Fungsinya semata agar mata air tidak rusak. Hanya terdapat sebuah jalan masuk ke kolam ini, yang mana di depan jalan tersebut terdapat sebuah tempat dari batu dekat sungai untuk BAB (buang air besar). Hal ini lumrah dilakukan masyarakat desa seperti saya dulu, apalagi pada masa kejayaan awal pembangunannya.
Dari kedua tempat tersebut, saya menilai jejak peninggalan budaya di desa Cangkringan memang sangat kaya. Potensinya akan petirtaan atau sendang sangat bisa digali lebih dalam. Tidak hanya soal tuk yang menjadi sumber penghidupan warga, tetapi juga mungkin kajian budaya dan sejarah sebagai penemuan atas identitas desa Cangkringan.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.