Penelusuran saya kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Tujuan saya tidak jauh dari tanah kelahiran, yakni Kabupaten Boyolali. Tepatnya di Dukuh Dangeyan, Gedangan, dan Dukuh Candisari, Gedangan, Kecamatan Cepogo. Lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu.
Tujuan utama saya menelusuri jejak masa Hindu-Buddha yang ada di dua dukuh tersebut, yaitu candi-candinya. Mungkin terdengar asing, tetapi faktanya keberadaan candi tersebut telah ditemukan. Hanya saja memang tidak semegah candi Hindu-Buddha di kota lain.
Namun, siapa sangka Kabupaten Boyolali juga memiliki peninggalan peradaban Hindu-Buddha layaknya Yogyakarta dan Magelang? Tiga daerah tersebut berada melingkari cincin kaki Gunung Merapi. Secara etimologi keberadaan Gunung Merapi dipercaya sebagai titik pertemuan manusia dan dewa kala itu.
Selain itu masyarakat lokal meyakini Gunung Merapi sebagai pemberi kehidupan dan rezeki. Hingga saat ini, warga desa setiap tahun mengadakan sedekah bumi berdasarkan kepercayaan turun temurun. Tradisi yang mungkin berkaitan erat dengan keberadaan candi Hindu-Buddha di lereng timur gunung berapi paling aktif di Indonesia tersebut.
Setelah berkutat dengan Google Maps dan berselancar mencari keberadaan candi Hindu-Buddha tersebut, tanpa basa-basi pada hari Sabtu siang saya segera beranjak ke dua dukuh tersebut. Pencarian candi pun dimulai.
Candi Lawang, Titik Awal Penelusuran
Sekitar 10 menit perjalanan dari tempat tinggal, tibalah saya di tujuan pertama, yakni Dukuh Dangeyan. Awalnya saya bingung, karena informasi di internet tidak terlalu akurat mengenai keberadaan candi di dukuh tersebut. Karena saya berhenti di tepi jalan desa, tiba-tiba seorang warga yang hendak ke kebun ikut berhenti dan menyapa.
“Oh, mau ke Candi Lawang? Kebablasan kamu, Mas! Pertigaan belakang kita itu ke kanan, nanti lewat jembatan kecil lurus terus sampai ketemu rumah di ujung jalan. Nah, pas di halaman belakang rumah warga itu, langsung masuk tidak apa-apa. Nanti anaknya biasanya yang keluar menemani keliling,” ungkapnya.
Setelah memahami arahan dari warga tadi, tanpa ragu lagi saya langsung melewati jalan yang dimaksud. Rupanya benar, keberadaan Candi Lawang di Dukuh Dangeyan berada tepat di halaman belakang rumah salah satu warga.
“Akhirnya ketemu dan bisa mengabadikan Candi Lawang, termasuk detailnya, bebas,” gumam saya.
Baru saja mulai memotret, tiba-tiba seorang perempuan muda datang menghampiri. Dia menanyakan maksud dan tujuan saya. Saya pun menyampaikan bahwa hanya ingin mengabadikan dan menikmati candi Lawang.
“Iya, Mas, boleh kok. Yang kami larang biasanya muda-mudi yang pacaran di sini. Hampir setiap sore pasti ada saja. Saya larang baru pergi,” jelasnya.
Obrolan kami cukup lama. Hanya saja, ketika saya menanyakan perihal latar belakang Candi Lawang ada di halaman rumahnya, ia enggan menjawab karena tidak mengetahui seperti apa dulunya kawasan itu. Saya bisa memaklumi.
Perbincangan kami berlanjut hingga akhirnya saya menemukan papan informasi mengenai latar belakang Candi Lawang. Ia sempat tertawa ringan, ketika saya menemukan papan informasi tersebut dan membaca informasi yang tertulis.
Merujuk papan informasi tersebut, Candi Lawang didirikan sekitar abad IX sampai X Masehi di bawah pimpinan raja Dinasti Sanjaya, pemimpin Kerajaan Mataram Kuno beraliran agama Hindu. Hal ini didasarkan atas inskripsi prasasti di ambang pintu kiri sisi selatan.
Isi prasasti tersebut berbunyi “Ju Thi Ka La Ma Sa Tka”. Bagian tubuh candi induk berelief motif belah ketupat, untaian bunga bermanik-manik, dan sulur bunga. Candi Lawang terdiri dari satu bangunan induk dan lima bangunan perwara menghadap bangunan induk.
Hanya saja karena kondisi awal ditemukan dalam kondisi runtuh, tidak banyak informasi yang bisa saya digali. Penamaan Candi Lawang menurut saya berdasarkan atas sisa reruntuhan yang menyisakan pintu masuk dengan yoni di bagian tengahnya. “Lawang” dalam bahasa Indonesia artinya pintu.
Puas mengabadikan kompleks yang tersisa dengan kamera, perjalanan saya lanjutkan ke arah barat daya Candi Lawang. Tepatnya di Dukuh Candisari, Gedangan, Cepogo. Tujuan utama sama seperti sebelumnya, hanya kali ini lokasinya sedikit berbeda karena berada di puncak bukit.
Candi Sari, Eksotisme Seni Arsitektur yang Tersembunyi
Tibalah saya di Candi Sari. Tatkala menaiki anak tangga, setiap pasang mata yang mengunjungi pasti akan dimanjakan pemandangan Gunung Merapi dan Merbabu berdiri mesra nan gagah di depan mata. Inilah nilai lebih dari keberadaan Candi Sari di Cepogo, Boyolali.
Ketika melangkah memasuki halaman candi, tata letaknya tidak ubahnya seperti Candi Lawang. Meski begitu, rasanya tetap terkesan suci dan mewah. Hanya saja, waktu saya berkunjung tidak ada warga atau juru kunci yang bisa membantu saya menelisik lebih jauh keberadaan candi tersebut.
Akan tetapi, saya masih bersyukur terdapat papan informasi mengenai Candi Sari. Merujuk informasi yang ada, Candi Sari didirikan beriringan dengan periode Candi Lawang, yakni antara abad IX sampai X Masehi. Latar belakang aliran agama pendiri pun sama, yaitu Hindu.
Keterangan itu diperkuat dengan ditemukannya arca pantheon Hindu, yakni Durga, Ganesa, dan Agastya. Selain itu juga ditemukan yoni dan arca Nandi yang merupakan wahana Dewa Siwa ketika berkunjung ke bumi. Meski begitu, belum dapat diketahui siapa yang membangun candi karena belum ditemukan prasasti mengenai hal tersebut.
Tahun 2019 lalu sejatinya masih ada pohon beringin besar menaungi kawasan Candi Sari. Namun, pada 2022 pohon tersebut menyerah kepada alam. Tumbang menimpa Candi Sari Cepogo. Tubuh pohon beberapa bagian menghujam tanah cukup dalam di halaman, selebihnya menimpa pagar candi.
Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut, baik dari warga maupun juru kunci. Setelah puas memotret struktur yang tersisa, kini saatnya untuk menikmati keanggunan Gunung Merapi dan Merbabu. Di tengah asyik mengabadikan momen yang ada dari balik lensa, tiba-tiba muncul pria paruh baya dari bawah bukit.
“Permisi, Pak, numpang ambil foto gunung. Mohon maaf saya tidak tahu kalau Anda di bawah, hehe,” sapaku.
Usai si bapak tiba di puncak bukit, kami lantas mengobrol santai seperti biasa. Ia memperkenalkan diri sebagai juru kunci sekaligus juru pelihara situs Candi Sari Cepogo. Namanya Sutrisno. Pucuk dicinta ulam pun tiba.
“Candi Lawang dan Candi Sari ini sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Belanda. Mungkin karena kondisi, terus ditinggalkan dan barulah ditemukan kembali di zaman canggih ini,” ungkap Sutrisno.
Ia menambahkan, lokasi Candi Lawang dahulu kompleks perkebunan kopi. Ada dugaan ketika pekerja perkebunan zaman Belanda menggali tanah untuk pohon kopi, reruntuhan Candi Lawang muncul. Kisah yang sama Sutrisno ungkapkan ketika mendapat cerita dari seorang pemilik rumah, ketika ia membantu proses ekskavasi tahun 2017 lalu.
Harapan Warga
“Berarti, Candi Lawang dan Candi Sari ditemukan kembali tidak berjarak lama, Pak?” tanyaku.
Ia membenarkan. Proses ekskavasi dilakukan warga bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Berdasar keterangan tim yang terlibat, mereka memiliki buku yang mencatat ada temuan situs klasik di Cepogo.
Tidak lama setelah ekskavasi pertama Candi Lawang selesai, pencarian terduga reruntuhan candi di Dukuh Candisari dilakukan. Ekskavasi berikutnya bertujuan mengungkap ada atau tidaknya struktur situs candi di sana. Setelah penggalian lapisan pertama, struktur pertama ditemukan dan terkonfirmasi keberadaan situs yang kelak bernama Candi Sari Cepogo.
Proses ekskavasi dilakukan bertahap hingga tampak seperti sekarang. Walau tinggal reruntuhan, patut disyukuri dan berbangga jika Kabupaten Boyolali memiliki beberapa situs candi Hindu-Buddha. Terlebih letak geografisnya yang cukup jauh dari peradaban sezaman di Yogyakarta dan Magelang.
Umumnya warga Gedangan dan Cepogo menyambut baik apabila kedua candi lebih dihidupkan sebagai destinasi unggulan di dukuhnya. Daripada kawasan bernilai budaya tinggi itu hanya menjadi tempat nongkrong dan pacaran anak muda.
“Tempatnya [Candi Lawang dan Candi Sari] mudah diakses dan nyaman dikunjungi. Tetapi kalau setiap sore untuk nongkrong dan pacaran, jelas dipandang tidak nyaman,” keluh Sutrisno.
Begitu pun yang saya rasakan ketika menelusuri kedua candi tersebut. Walaupun muda-mudi yang pacaran sadar diri, ketika mata lensa kamera saya membidik tepat ke arah mereka. Sejatinya bukan mengabadikan, melainkan sebagai peringatan karena mereka berada di tempat yang tidak semestinya.
Niat awal menikmati reruntuhan candi. Namun, jika ada yang sedang beraktivitas di lokasi bersejarah akan menjadi pemandangan yang berbeda. Aktivitas positif tentu nikmat dipandang, tetapi yang terjadi tentu bermakna sebaliknya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.