Jalan Kelenteng, Kota Bandung, tak panjang-panjang amat. Dari utara ke selatan kira-kira hanya setengah kilometer. Nama Jalan Kelenteng ini tentu tak lepas dari kenyataan bahwa di daerah ini ada kompleks kelenteng dan vihara, misalnya Kelenteng Satya Budhi. Jalan Kelenteng ini adalah salah satu kawasan pecinan di Kota Bandung, selain Jalan Banceuy, Jalan Pecinan Lama, dan Jalan Cibadak.

Siang itu, aku berjalan menelusuri Jalan Kelenteng yang memang dekat dengan tempat tinggalku. Semula, jalan kaki itu hendak kuurungkan saja, sebab gerimis mulai turun. Tapi, karena kakiku sudah gatal, akhirnya aku pergi juga—syukurnya hujan memang tak jadi turun. Kalau dihitung-hitung, kurang lebih satu kilometer aku berjalan itu siang.

Jalan Kelenteng Bandung

Meskipun tak terlalu panjang, Jalan Kelenteng cukup ramai, terlebih di malam hari ketika banyak yang jualan di trotoar. Siang hari biasanya yang dijual adalah pisang, bakmi, kwetiau, dan nasi campur. Di malam hari, variasi kuliner yang dijajakan semakin beragam.

Di ujung jalan, berdiri gapura merah kokoh khas pecinan bertuliskan “Wilujeng Sumping, Kawasan Wisata Pecinan”. Saat berjalan menelusuri Jalan Kelenteng, kulihat banyak bangunan tua yang mungkin belum pernah diperbaiki sejak berdiri. Salah satu yang menarik adalah bangunan Chinatown di Jalan Kelenteng no. 41. Bangunan yang dirancang arstitek Maax van Slooten itu didirikan oleh Biro Pembangun Lioe A Tjin tahun 1938.

Jalan Kelenteng Bandung

Semula aku ingin foto-foto di Chinatown. Namun tak kesampaian. Sedang tak ada aktivitas wisata di bagunan cagar budaya milik Perhimpunan Sosial Masyarakat Bandung (Permaba) itu. Sunyi begitu, tak mungkin sekali aku bisa foto-foto dengan latar belakang bernuansa Tiongkok atau berkodak memakai kostum bangsawan.

(Belakangan aku tahu bahwa Chinatown sudah ditutup secara permanen sejak Mei 2020. Padahal, tempat itu baru 20 Agustus 2017 lalu diresmikan oleh Ridwan Kamil. Artinya, ia hanya bertahan tiga tahun.)

Setelah berdiri lama di sana dan mengambil beberapa gambar, aku pun meninggalkan tempat itu. Aku melangkah menelusuri trotoar sebelah kanan jalan. Ada minimarket di sana, ada juga hotel satu-satunya di kawasan itu. Tadinya aku mau mampir ke Kompleks Kelenteng Satya Budhi. Namun sayang waktu itu pintu gerbang kelenteng tertutup rapat karena sedang ada wabah corona. Akhirnya aku hanya mengambil gambar pintu gerbangnya.

Di sekitar kelenteng banyak yang berjualan, entah di kios permanen ataupun di gerobak yang ditaruh di trotoar. Orang-orang tampak asyik menikmati makanan dan minuman. Dari penampilan mereka, kulihat pelanggan-pelanggan tempat makan itu tak cuma warga sekitar. Ada pula pegawai di kantor sekitar Jalan Kelenteng, juga orang-orang yang sengaja datang menikmati santap siang di kawasan pecinan itu.

Dari sana, aku pun melipir sejenak ke Jalan Vihara. Sama seperti kelenteng, vihara juga sepi. Pagarnya dikunci dari depan. Sebelum pandemi, tempat ini biasa digunakan sebagai lokasi resepsi pernikahan.

Setelah melihat vihara, kulanjutkan langkahku menyusuri Jalan Kelenteng sampai ke ujung. Pertemuan Jalan Kelenteng, Jalan Jend. Sudirman, dan Jalan Cibadak ramai. Banyak sekali kendaraan yang lalu-lalang. Aku pun berdiri di bawah gapura untuk beristirahat sejenak sembari menikmati sebotol air mineral yang kubeli dari sebuah kios.

Kemudian aku kembali berjalan terus ke utara. Tiba-tiba, tanpa sengaja aku bertemu saudara. Tak perlu lagi aku jalan kaki, sebab yang bersangkutan mengantarku sampai ke rumah dengan selamat.


Foto: Deffy Ruspiyandy

Tinggalkan Komentar