Mei 2013 silam, saya mendaki Gunung Semeru. Sudah lama sekali memang, sampai-sampai nggak pernah terbayang bahwa saya akan bisa kembali ke sana. Nyatanya saya bisa, meskipun hanya lewat layar kaca.

Saya jalan-jalan bareng TelusuRI dan KokBisa, dipandu kawan-kawan dari Pendaki Indonesia.

Arul yang memandu kami melakukan persiapan pendakian. Dengan rinci, ia membahas tentang riset soal gunung yang dituju, persiapan fisik, pembujetan perjalanan, pengurusan izin, transpor, persiapan peralatan pendakian, sampai soal membuat rencana perjalanan. Rasanya seperti benar-benar naik gunung secara fisik.

Daftar perlengkapan pendakian/TelusuRI.id

Dari tur virtual inilah saya baru tahu bahwa sekarang pendaftaran pendakian Gunung Semeru dilakukan secara daring. Kuota pendaki pun dibatasi 600 orang per hari. Tentu ini adalah sebuah terobosan yang bagus. Selain nggak perlu mengantre panjang di jalur, kelestarian alam juga bisa lebih terpelihara.

Menuju Ranu Kumbolo

Usai “berkemas,” kami memulai perjalanan. Sekarang yang jadi “leader” adalah Wawan. Nggak seperti mendaki tahun 2013 dulu, kali ini saya nggak perlu bawa tas gunung. Ia mengajak kami jalan dari Pos Resor Ranu Pani (Ranu Pane), melewati Pos 1, 2, 3, terus ke Jembatan Merah, kemudian lanjut ke Pos 4… hingga akhirnya tiba di Ranu Kumbolo.

Biasanya, pendaki berangkat pagi atau sore. Saya ingat kalau jalurnya lumayan landai, seakan-akan sengaja dibuat demikian sebagai persiapan sebelum masuk fase yang lebih melelahkan.

Ternyata ada cerita-cerita menarik lain dari Ranu Kumbolo selain matahari yang terbit di antara dua bukit dan langit malam musim kemaraunya yang seperti planetarium.

Di kawasan Ranu Kumbolo, ada sebuah prasasti yang diperkirakan berasal dari tahun 1182 M. Ada tulisan “Ling deva ‘pu Kameswara tirthayatra” di prasasti itu. Ceritanya adalah tentang perjalanan spiritual Kameswara, seorang rohaniwan, mendekatkan diri pada Sang Hyang. (Prasasti serupa juga ditemukan di Lumajang dan Senduro.) Ada pula mitos soal ikan mas yang nggak boleh ditangkap karena dianggap sebagai penjaga Ranu Kumbolo.

Melanjutkan perjalanan ke Kalimati lalu Mahameru

Jika mendaki di dunia nyata, mestilah kami bakal menginap semalam di Ranu Kumbolo. Pada pendakian virtual, setelah beberapa waktu di Ranu Kumbolo, kami lanjut menuju Kalimati.

Kami naik tanjakan cinta lalu turun ke Oro-oro Ombo, padang ilalang luas yang akan berubah warna jadi ungu sekitar April-Juni ketika Verbena brasiliensis—yang secara serampangan sering disebut lavender—mekar. Ujung Oro-oro Ombo adalah permulaan dari Cemoro Kandang, kawasan hutan pinus yang berpotensi membuat pendaki nyasar karena belokan-belokannya cenderung serupa. Dan lega sekali rasanya ketika akhirnya tiba di Jambangan, sebuah pos pendakian sebelum Kalimati. Dari Jambangan, Kalimati sudah sangat dekat. Nggak terasa, kami tiba di salah satu tempat kemping favorit para pendaki Semeru tersebut.

Beberapa orang pendaki sedang menelusuri jalur Semeru/TelusuRI.id

Dekat Kalimati ada sebuah sumber air bernama Sumber Mani, tempat para pendaki menambah stok air yang hampir habis. Jaraknya sekitar setengah jam dari bumi perkemahan.

Kemudian Wawan mengajak kami muncak. Kalau benar-benar mendaki, mestilah kami akan pikir-pikir berkali-kali sebelum muncak. Perlu kamu ketahui, pendakian yang disarankan oleh pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) hanya sampai Kalimati. Jika ingin lanjut ke Mahameru, puncaknya Gunung Semeru, risiko ditanggung masing-masing.

Biasanya, pendaki mulai bersiap saat dini hari. Sekitar pukul 01.00 pagi kamu akan melihat banyak titik cahaya yang bergerak menuju puncak. Bekal dan persiapan matang sangat diperlukan pada etape ini—pakaian hangat pelindung tubuh dari dingin, air dan makanan yang cukup, sepatu benar-benar melindungi kaki, tongkat mendaki, sampai alat penerangan yang bagus.

Trek yang dilalui sangat terjal, terlebih ketika tiba di batas vegetasi. Perjalanan menuju puncak bisa memakan waktu sekitar 5-6 jam. Dari trek, setelah beberapa jam berjalan kamu bisa melihat matahari yang pelan-pelan terbit dari cakrawala timur. Pemandangan itu akan mengisi kembali tenagamu yang sudah terkuras. Nggak sadar, kamu sudah akan tiba di puncak dan melihat Jonggring Saloka yang setiap interval tertentu menyemburkan abu.

Kata Wawan, sebelum jam 9 pagi seluruh pendaki harus turun agar terhindar dari gas beracun yang keluar dari Jonggring Saloka menjelang siang. Tapi, kami nggak perlu khawatir soal itu, sebab perjalanan ini sekadar petualangan virtual.

Ah, tur virtual ini benar-benar membuka album kenangan dalam kepala ketika saya mendaki Semeru untuk kali pertama.


Untuk kamu yang penasaran sama tur virtual mendaki Gunung Semeru, silakan tonton rekamannya di sini.

Tinggalkan Komentar