Travelog

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan

Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi, setelah Andi kutanya, apakah di Magelang hujan? Ia menjawab, sudah reda. Godaan kasur saya tepis, keputusan saya bulat. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat menuju Magelang dan meluncur ke jalur pendakian Gunung Ungaran Via Mawar. 

Pukul tiga sore saya berangkat menuju Magelang, diguyur rintik-rintik hujan yang mungkin saja perlahan akan membesar. Namun lambat laun, semakin jauh dari Bantul, memasuki area Moyudan, Sleman, jalanan basah. Hujan telah pergi, semoga tak kembali lagi, gumamku sambil mengendalikan setang motor.

Pendakian kali ini masih akan sama seperti pendakian sebelumnya, pikirku. Hanya dengan 200 meter perjalanan menanjak, Andi akan mulai merasakan denyut otot kaki yang tegang karena terlampau jarang didesak aktif, dan rongga napas yang kembang kempis sebab hanya digunakan untuk sekadar bernapas. Kekhawatiran itu ditambah lagi dengan suasana dini hari yang mencekam. Pohon yang rimbun menimbulkan hawa sejuk dan menjadi sumber oksigen yang menenangkan. Akan tetapi, hal itu hanya di siang hari. Di malam hari suasananya tentu berbeda, pohon adalah lawan yang harus ditaklukkan.

Dari Magelang ke Basecamp Mawar 

Pukul empat sore lewat saya sampai di kontrakan Andi. Seperti dugaan saya, Andi belum siap untuk langsung bergegas. Alhasil kami berangkat pukul 17.00. Dari Magelang menuju basecamp butuh waktu satu jam lebih. Saya prediksi, kami akan sampai pukul 18.30.

Namun, itu sudah meleset sebelum berlangsung karena Andi belum juga tuntas. Ia memang sangat doyan menilap waktu. Coba bayangkan, bisa-bisa ia masih harus mampir di swalayan untuk membeli beberapa keperluan pribadinya dan saya harus menunggunya cukup lama. Sepuluh hingga 20 menit berlalu, belum kelihatan batang hidungnya. Kurang lebih 30 menit kemudian baru ia muncul dengan satu kantung plastik besar penuh belanjaan.

“Kenapa nggak nanti saja? Saat pulang ‘kan bisa,” gerutu saya dengan nada sedikit humor agar ia tidak tersinggung. Namun, tanpa harus begitu pun saya yakin ia tak akan tersinggung.

“Santai,” jawabnya betul-betul santai dan tak peduli saya sudah satu jam lebih mengendarai motor dari Jogja.

Kiranya pukul 19.30 kami baru sampai di basecamp, dengan badan yang mulai kelelahan dan perut mulai keroncongan. Tanpa berlama-lama Andi memarkirkan motor dan kami menuju warung, lalu memesan seporsi nasi telur untuk menuntaskan rasa lapar yang mulai kelojotan.

Pukul 10 malam kami masuk ke basecamp dan meletakkan tas yang sekaligus menandai tempat yang akan kami jadikan ruang untuk tidur. Kami duduk sebentar menghabis sebatang rokok dan setelah itu bergegas tidur. Rencananya pukul tiga pagi kami akan memulai berjalan menerobos gelap dan hawa dingin yang cukup mencekam. Sambil merokok kami mengobrol banyak hal soal politik. Betapa menggodanya isu ini di tengah masa kampanye pilpres lalu.

Di tengah obrolan yang tak ada ujung itu, rombongan pendaki lain datang. Mereka masuk ke basecamp lalu meminang tempat untuk merebahkan badan. Rombongan itu telah melihat tas kami tergeletak. Saya rasa mereka sangat tahu, jika ada tas tergeletak artinya tempat itu sudah jadi “milik” orang lain. Mereka pun bertanya kepada saya dan Andi, ini tas siapa. Andi menjawab, itu tas kami. Lalu rombongan itu meminta izin untuk menguasai area sekitarnya. Setelah itu aku tak bisa luput memandangi tas.

Pengalaman saya, tidak ada pendaki yang akan mencuri barang pendaki lain. Dan betul saja, tas kami tetap aman di posisinya. Namun, malam itu kami telah “kemalingan”. Tempat tidur yang telah kami sekat dengan tas itu telah dikuasai rombongan yang sangat sopan meminta izin, tetapi keterlaluan karena tidak menyisakan tempat untuk kami istirahat.

Rasanya saya ingin sekali marah kepada rombongan itu. Bisa-bisanya mereka yang datang belakangan lalu menyerobot tempat yang sudah kami pinang. 

Nggak apa-apa, nanti kita tidur di musala,” jawab Andi sambil melihat ke arah ruang berukuran 3×3 meter di pojok basecamp

“Tapi itu sudah keterlaluan,” jawabku setengah emosi. Kami pun lanjut ngobrol. Sekitar pukul 00.00, saya mengambil tas lalu menuju musala dengan perasaan yang sama.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Jalur di tengah perkebunan kopi yang harus dilewati menuju puncak Gunung Ungaran/Janika Irawan

Sempat Salah Jalur

Malam itu saya tidur cukup lelap. Pukul tiga pagi kami memulai pendakian. Namun, rencana tampaknya hanya sekadar wacana belaka. Kami telat satu jam. Prediksi berdasarkan peta, butuh waktu 2,5 sampai 3 jam untuk sampai ke puncak. Itu artinya kami tidak akan mendapatkan panorama matahari terbit (sunrise) yang kontras di puncak Banteng Raider, titik tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar. 

Berjalan di malam hari tidak semudah berjalan saat siang. Suasana gelap ditambah suhu udara yang makin menggigilkan badan. Meskipun jalur Gunung Ungaran Via Mawar ini sangat jelas, tetapi keliru memilih jalur bisa jadi tak terhindarkan. Belum lagi kami pendaki yang masih sangat-sangat amatiran. Berbekal senter HP kami menembus hutan. 

Menjelang Pos II, gemercik suara air terdengar jelas. Sebuah sungai yang menyejukkan. Begitu memukau daya gedornya. Kami pun terus berjalan menuju sungai. Lagi-lagi, dengan jangkauan senter handphone yang tak melebihi jangkauan dua meter itu adalah petaka. Kami melewati begitu saja petunjuk jalan yang mengisyaratkan untuk berbelok. 

Kira-kira setengah jam kami terjebak di area sungai. Beberapa kali kami mengikuti jalan yang tampaknya betul-betul jalur pendakian dan hasilnya buntu. Tidak ada jalan. Setelah beberapa lama, kami putuskan untuk sedikit turun. Tak jauh dari situ kami menemukan jalur kembali. Kami pun lanjut berjalan menuju Pos II.

Di pos tersebut kami tidak mampir. Kami langsung lanjut mengambil jalur kanan. Karena jalurnya sangat jelas kami pun tidak merasa mengambil jalur yang salah. Setelah itu, kami melewati sebuah permukiman di tengah kebun kopi. Ada beberapa rumah di sana. Setelah kami perhatikan tidak ada satu rumah pun yang menandakan ada penghuninya. Permukiman itu terlihat sedikit menyeramkan walaupun kami sampai di sana saat matahari perlahan mengusir gelap.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi berjalan melewati permukiman tak berpenghuni. Kami tidak sadar telah mengambil jalur lama/Janika Irawan

“Mungkin sudah tidak lagi ditinggali,” kata Andi kepada saya. 

“Sepertinya begitu,” jawab saya.

Saya membuka selebaran peta yang diberikan oleh pihak pengelola wisata saat kami membayar retribusi. Setelah perkampungan itu ada percabangan jalur. Berdasarkan peta, kami harus berbelok ke kiri. 

Kami melewati jalan bebatuan yang tersusun rapi dan lebar. Jalan yang tampaknya diperuntukkan agar bisa dilalui kendaraan roda empat untuk mengangkut hasil panen kopi. Namun, di jalur itu kami mulai curiga, apakah kami telah memilih jalur yang salah?

Sekitar pukul enam pagi kami sampai di Pos IV tanpa menemukan Pos III. Ini cukup aneh. Di peta sangat jelas, ada lima pos persinggahan untuk pendaki. Akan tetapi, karena jalur yang kami lewati sangat jelas, kami terus berprasangka baik bahwa kami telah menyusuri jalur yang benar.

Sebelum sampai di Tanggul Angin, kami melihat pendaki lain yang kami temui di basecamp semalam. Saya rasa rombongan pendaki itu ada di belakang kami, tetapi mereka malah sudah di berada di depan tanpa berpapasan dengan kami. 

Sekitar pukul 06.20 kami sampai di Puncak Tanggul Angin, di ketinggian 1.876 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dan betul saja, setelah kami tanya rombongan itu, saya dan Andi memang memilih trek yang keliru meskipun tetap tembus puncak yang sama. Kami telah melalui jalur lain yang lebih jauh. Mungkin itu jalur lama.

  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan

Menuju Puncak Tertinggi

Di Puncak Tanggul Angin, kami beristirahat sebentar. Andi tampak malu-malu membuka kameranya untuk foto selfie demi kepentingan update status di media sosial.

Beberapa saat kemudian, kira-kira berjalan 200 meter kami sampai di Puncak Batu (1.908 mdpl). Di puncak ini kami tidak beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Tak lama lagi kami akan sampai di Banteng Raider, puncak tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar dengan ketinggian 2.050 mdpl.

Kami sampai di puncak sekitar pukul delapan pagi. Meskipun perjalanan ke gunung ini tak begitu melelahkan, tetapi karena kami memilih jalur yang sedikit melebar dan lebih jauh dari trek pendakian, sambil tertawa halus kami mengerti telah memilih jalan yang keliru.

Kiranya satu jam saya dan Andi—begitu pun dua pendaki lainnya—menghabiskan waktu di puncak. Cuaca lamat-lamat berkabut, tetapi toh, cuaca cerah hanya bonus. Tujuan kami hanya refreshing akhir pekan di tengah kesibukan bekerja dan itu sudah terlaksana.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi (kanan) dan pendaki lain duduk menikmati suasana di Puncak Banteng Raider/Janika Irawan

Pukul 09.30 kami bergegas turun. Karena tak menyiapkan satu pun perbekalan, kami ingin segera sampai ke basecamp, tak kuasa membuat perut makin menderita.

Di perjalanan pulang kami tidak lagi melewati jalur seperti saat berangkat. Di bawah Puncak Tanggul Angin kami memilih ke kanan, meniti jalur yang disarankan. Kami menemukan Pos V, Pos IV, dan Pos III—yang tidak kami temukan sebelumnya.

Tiba-tiba, kesialan tak pernah hilang: hujan turun. Dan di tengah gempuran hujan kami hanya punya satu tujuan, menuntaskan rasa lapar.

Namun, yang sedikit menggembirakan dari pendakian ini adalah Andi mulai terlihat sebagai pendaki yang lumayan tangguh. Tidak seperti pendakian sebelumnya di gunung yang sama, tetapi via Perantunan. Tak lebih dari dua ratus meter dia sesak napas dan harus beristirahat cukup lama. Kondisi yang sangat membuatku risau saat itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa dipanggil Janika. Tinggal di Yogyakarta. Hobi jalan-jalan kegunung. Suka menulis demi kepuasan hidup.

Biasa dipanggil Janika. Tinggal di Yogyakarta. Hobi jalan-jalan kegunung. Suka menulis demi kepuasan hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Obrolan di Kedai Kopi yang Berakhir pada Sunrise Embung Kledung