Ide mendaki Ciremai musim hujan sebenarnya bukan dari saya atau tiga kawan yang nanjak bareng saya 24-25 Februari 2018 kemarin. Itu sebenarnya kaul dari dua kawan lain, sementara niat awal kami cuma menemani. Lucunya, kedua kawan itu malah absen di acara yang mereka rencanakan sendiri.
Tapi apa daya. Tiket kereta ke Jawa Barat sudah dibeli, logistik sudah dilengkapi, dan saya sudah telanjur rindu sama halimun gunung. Sebagai tambahan, saya juga penasaran sekali merasakan sensasi naik Gunung Ciremai via Linggarjati pas musim basah.
Sebelum ini, saya baru sekali mendaki Gunung Ciremai. Juga lewat Linggarjati. Seingat saya waktu itu awal bulan Juni 2016 dan musim kemarau baru saja menyapa.
Karena musim sudah kering, naik-turun kami berempat tidak diguyur hujan. Cuaca cerah—panas malah—sampai-sampai saya naik memakai kaus kutung. Kami pun berhasil mendirikan kemah di tempat yang lumayan tinggi, yakni di Pos Sanggabuana II. Pendakian ceria, tapi tetap saja dengkul merana.
Naik via Linggarjati musim hujan memang lebih melelahkan
Saran saya, kalau ada kawanmu yang bilang mending jangan naik Ciremai lewat Linggarjati pas musim hujan, sebaiknya kamu memang jangan naik Ciremai lewat Linggarjati pas musim hujan. Benar-benar melelahkan. Saya sendiri sudah membuktikan.
Kecuali kamu dikaruniai dengkul super, kamu perlu sekurang-kurangnya 10 jam untuk tiba di Pos Sanggabuana II, lokasi favorit buat berkemah sebelum muncak pagi-pagi buta.
Musim hujan, kamu akan perlu waktu yang lebih lama untuk tiba di Sanggabuana II. (Itu pun kalau kamu ngotot mau kemping di sana.) Halangannya pun bertambah, yakni air hujan yang mengguyur dari atas, air yang mengalir di jalur pendakian, trek yang licin, keringat yang makin mengucur karena harus jalan berbalut jas hujan, dan lain-lain.
Pas pendakian kemarin, karena sudah gelap dan hujan masih rintik-rintik, kami akhirnya buka tenda di sebuah lahan lumayan lapang beberapa menit sebelum Batu Lingga. Padahal semula kami mau kemping di Sanggabuana II, supaya muncaknya lebih enak.
Dalam hati saya sedikit kecewa sembari merutuki perut yang mulai dibalut “tas pinggang.” Kawan-kawan lain juga barangkali merasakan hal yang sama.
Betapa terkejutnya kami pagi-pagi pas muncak ketika mendapati bahwa tak ada lagi rombongan yang mendirikan tenda di pos-pos di atas kami. Batu Lingga kosong, Sanggabuana I dan II juga melompong, apalagi Blok Pangasinan.
Ciremai rasa Kawah Ijen
Kawah Ciremai memang mempesona. Ia luas dan tampak purba. Apalagi dari celah-celah batu di ujung sana solfatara selalu keluar membentuk kolom-kolom putih yang membubung perlahan ke angkasa.
Dua tahun yang lalu saat tiba di bibir kawah Ciremai saya dan kawan-kawan disambut pelangi. Tapi akhir Februari kemarin sebuah danau temporer warna toska di kawah Ciremai yang kebagian tugas menyambut kami. (Di musim kemarau genangannya warna putih.)
Saat melihatnya, saya hampir tak percaya sambil berpikir, “Ini Ciremai atau Kawah Ijen?” Tapi warnanya lebih pekat dari air Kawah Ijen dan lebih menyerupai salah satu dari tiga kawah Danau Kelimutu.
Di puncak, kami duduk-duduk santai sambil menyeruput kopi sobek di tempat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Kali ini pucuk tertinggi Ciremai tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa rombongan, ada yang sibuk menyanyikan salawat, lainnya sibuk menambah koleksi foto buat diunggah di Instagram.
Barangkali hanya setengah jam kami di puncak. Tidak mau kesiangan, kami lalu kembali turun ke kemah, yang ternyata adalah kemah tertinggi akhir pekan itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.