Rutinitas kampus dan pesantren, termasuk kepanitiaan di sana-sini, membuat pikiran saya jenuh. Hari libur hanya Sabtu dan Minggu. Kalau keadaannya begini, ke mana saya bisa pergi untuk menjernihkan pikiran?

Mal tidak masuk dalam pilihan. Saya bukan tipe perempuan yang suka keramaian. Nekat ke sana, bisa makin pusing saya.

Lalu sekonyong-konyong sebuah ide terlintas: kenapa tidak mendaki saja? Saya bisa menyendiri sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan kota. Tidak perlu gunung yang lebih dari 3.000 mdpl. Setelah menimbang-nimbang, saya menjatuhkan pilihan: Gunung Penanggungan.

Gunung Penanggungan berada di perbatasan Pasuruan dan Mojokerto. Meskipun hanya 1.653 mdpl, gunung berapi kerucut ini keindahannya bukan main.

Matahari baru saja terbit di lereng Gunung Penanggungan/Pipiait

Karena jenuh itu personal, saya berniat untuk mendaki sendirian. Keberanian untuk mendaki sendirian merasuki saya karena banyak teman perempuan saya yang sudah pernah solo hiking. Untungnya, saya ada teman yang punya rental peralatan pendakian. Ia berbaik hati mempersiapkan semua peralatan yang dibutuhkan. Selain dapat harga miring, saya juga dapat pengarahan gratis darinya.

Tapi, dua hari sebelum keberangkatan, seorang teman laki-laki saya datang entah dari mana dan mengeluh bahwa ia ingin mendaki. Begitu tahu bahwa saya ingin mendaki, ia hendak ikut. Maka, rencana pun berubah. Saya tak lagi mendaki sendirian. Senang juga, sih, mendapat teman mendaki.

Kami pun mempersiapkan logistik bersama-sama, juga memperkirakan waktu tempuh. Meskipun pendakian ini hitungannya mendadak, tetap saja harus dipersiapkan secara matang. Mendaki sungguh tidak mudah dan alam bukanlah taman yang bisa didatangi secara serampangan.

Hari Sabtu, 10 November 2018, jam 11 siang, kami berangkat dari Malang. Bawaan kami dari Malang hanya sling bag dan tas kamera. Sebelum meluncur ke Base Camp Gunung Penanggungan Jalur Tamiajeng, kami mampir dulu ke rental peralatan pendakian milik teman saya sekalian membeli kebutuhan logistik.

Dalam perjalanan menuju base camp, pemandangan begitu indah. Persawahan milik warga, jejeran rumah di ketinggian, dan Gunung Penanggungan yang sangat gagah di kejauhan, membuat saya makin bersemangat untuk mendaki. Begitu gunung itu kelihatan, saya membatin, “Sebentar lagi saya akan ada di sana.”

Jam 3 sore kami sampai di pos perizinan. Parkir sepeda motor lumayan penuh. Banyak pendaki Sabtu-Minggu rupanya. Saat melakukan pendaftaran, oleh petugas kami diberi kresek untuk sampah, stiker, juga peta jalur pendakian. Kami juga diberikan penjelasan singkat soal kondisi pos-pos yang akan kami lalui.

Sebelum memulai pendakian, kami berhenti sebentar di warung dekat pos perizinan untuk salat dan packing ulang. Di sana banyak sekali pendaki, entah mereka yang hendak berangkat atau yang baru saja turun. Sebagian tampak sedang asyik bertukar cerita, sebagian lagi sekadar istirahat ditemani rokok dan kopi.

gunung penangungan
Pendaki berkumpul di Puncak Pawitra, Gunung Penanggungan/Pipiait

Jam setengah 4 sore, kami mulai mendaki. Jalur menuju pos selanjutnya, Pos 2, landai. Jalan tanah liat itu semula menurun, lalu menanjak dan berganti menjadi jalan makadam. Sehabis Pos 2, jalanan menjadi terjal, melewati tanah padat dan tangga semen. Tapi, jalur yang paling parah adalah trek dari Pos 4 ke Pos Bayangan, yang menanjak, berpasir, dan dipagari oleh tebing-tebing kecil. Jika tidak hati-hati, kesalahan sedikit saja bisa bikin kamu jatuh.

Tapi, dasar pendaki santai, kami beberapa kali berhenti untuk minum, mengobrol, dan bercanda. Perjalanan santai begini bikin lelah jadi tak terasa.

Senja luar biasa indah saat perjalanan ke Pos Bayangan. Memandangi semburat oranye di langit, disapu semilir angin sore, adalah pengalaman tersendiri bagi saya.

Sesuai perkiraan, akhirnya kami tiba di Pos Bayangan sebelum petang datang. Kabut perlahan turun, senja pelan-pelan menghilang. Saya sempat memotret pergantian hari itu, tapi, sayangnya, hasilnya blur. Lalu, lampu-lampu kota mulai hidup satu per satu. Suhu perlahan turun. Inilah yang sebenar-benarnya “ngadem.”

Pos Bayangan saat itu cukup ramai. Sudah berdiri beberapa tenda di titik-titik strategis. Kami segera mencari lokasi yang landai dan pas untuk mendirikan tenda.

Saat langit semakin gelap dan suhu semakin turun, kami menyeduh kopi, memasak mie, lalu makan sambil bercanda. Keluh kesah tentu saja keluar. Di bawah sana, cahaya perkotaan tampak bersatu dengan langit penuh bintang di atas sana.

Menikmati pemandangan dari Gunung Penanggungan/Pipiait

Segar sekali pikiran saya. Malam itu saya jadi sadar betapa sebenarnya segala hal yang kita alami tidak terlepas dari keputusan kita sendiri. (Contohnya keputusan saya untuk mendaki Gunung Penanggungan.) Bahagia atau tidaknya kita juga tergantung bagaimana persepsi kita tentang kebahagiaan. Memahami semua itu bikin saya nyaris menangis terharu.

Pagi-pagi sekali sebelum matahari muncul kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Pawitra, titik tertinggi Gunung Penanggungan. Medan menuju ke sana miring, berpasir, dan berbatu (yang bisa menggelinding tiba-tiba ketika tak sengaja tersentuh kaki pendaki). Cukup berbahaya. Tak jarang saya mendengar pendaki berteriak “Awas, ada batu!” atau “Batu! Minggir!”

Fajar perlahan menyingsing saat kami tertartih-tatih menuju puncak. Semburat oranye kembali menghiasi langit. Awan perlahan naik dengan indahnya seperti permen-kapas lembut raksasa. Melihat itu semua saya semakin bersemangat menggapai puncak.

Akhirnya, setelah istirahat beberapa kali, kami tiba di puncak. Kami duduk-duduk di puncak sekitar dua jam untuk menikmati pemandangan. Saat matahari sudah agak terik, kami turun ke tenda, sarapan, lalu siap-siap untuk kembali ke base camp. Pikiran saya sudah lebih jernih dan siap untuk kembali ke rutinitas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar