Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mardhatillah Ramadhan
Setiap hari, Teluk Balikpapan selalu sibuk. Silih berganti kapal-kapal besar melintas tiada henti. Selain arus kapal penumpang antarpulau, lalu lintas perairan tersebut menjadi jantung utama kapal-kapal industri.
Perusahaan-perusahaan konstruksi, kargo, kelapa sawit, pertambangan batu bara, hingga PLTU menjejal nyaris sepanjang pesisir Balikpapan maupun Penajam Paser Utara (PPU). Menjadi pemandangan lumrah jika melihat kapal tongkang lalu lalang mengangkut gunungan batu bara ke Pulau Jawa dan sebaliknya. Apalagi adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memanfaatkan Teluk Balikpapan sebagai gerbang utama untuk memasok logistik proyek.
Di sisi lain, teluk seluas 160 km2 dengan daerah aliran sungai sekitar 211.456 hektare1 juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Kelurahan Jenebora, berjarak sekitar 30 menit dengan speed boat dari tepi Kota Balikpapan, rumah-rumah tapak dan panggung dengan dermaga-dermaga kecil menyemut di tepian laut. Menyisakan tegakan hutan mangrove yang mengapit permukiman.
Perkampungan lawas ini terbentuk sejak berabad-abad silam. Dihuni oleh mayoritas suku Bajau (Bajo) dan Bugis, dua etnis dari Sulawesi yang terkenal andal dalam melaut. Dari 3.533 jiwa, sekitar 602 orang atau 17 persennya berprofesi sebagai nelayan2. Populasi ini lebih jauh lebih tinggi daripada di Tanjung Jumlai dan Api-Api.
Rajungan (Portunus pelagicus), atau istilah globalnya blue swimming crab, merupakan komoditas andalan masyarakat pesisir PPU. Selain itu juga terdapat lobster, gurita, kepiting, dan beberapa jenis ikan lainnya. Sayangnya, tren penurunan jumlah tangkapan terus mengintai para nelayan. Tuntutan kebutuhan sehari-hari terus merengek, sementara marabahaya dari segala penjuru selalu menghantui.
Nelayan memang pekerjaan yang berisiko tinggi. Tiada sekat yang membatasi tubuh nelayan dengan empasan ombak, selain dinding perahunya sendiri. Nelayan juga tidak bisa memastikan jumlah tangkapan yang stabil setiap harinya. Saking sulitnya pekerjaan ini, sampai-sampai sebagian besar nelayan melarang anak-anak mereka mengikuti jejaknya. Tidak heran jumlahnya terus menurun.
“Jangan sampai [jadi nelayan]. Semua anak-anak, mereka tidak ada yang ke laut. Fokus sekolah saja,” ujar Said, nelayan Tanjung Jumlai, Kelurahan Pejala, sekitar 55 km ke arah selatan dari Jenebora. Desa ini berhadapan langsung dengan laut lepas Selat Makassar.
Kekhawatiran para orang tua cukup beralasan. Sebagian generasi muda di pesisir PPU lebih menengok “masa depan” di gemerlap Balikpapan. Menjadi karyawan di perusahaan tampak jauh menjanjikan daripada nelayan. Jadwal kerja tetap, gaji pasti. Situasi seperti ini sama persis dialami oleh petani-petani kecil di Jawa, yang lebih mendorong anak-anaknya bekerja kantoran. Terlebih jejaring investasi yang tiada kenal henti terus merasuk sendi-sendi ekonomi Balikpapan dan sekitarnya.
Tidak hanya dijepit industri, tetapi juga gejolak iklim
Aktivitas antropogenik3 yang sangat tinggi memang tampak memberi pengaruh pada penyempitan ruang hidup nelayan. Limbah industri ekstraktif tidak hanya mencemari laut permukaan, tetapi juga mengganggu biota laut di dalamnya. Belum lagi metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebihan (overfishing), seperti bom ikan, penggunaan pukat hela atau dogol oleh sejumlah oknum nelayan. Pukat yang terpasang tidak hanya menjaring ikan yang ditargetkan, tetapi juga menggaruk biota-biota laut tak bersalah, di antaranya terumbu karang dan ikan-ikan karang kecil di sekitarnya. Jaring-jaring nelayan kecil pun ikut rusak.
Praktik-praktik merusak seperti itu berdampak instan pada ekosistem perairan. Padang lamun berkurang, dugong pun menghilang. Laut dan daerah aliran sungai tercemar, pesut dan ikan-ikan endemik menjauh. Konflik horizontal bisa memanas, ketika nelayan-nelayan yang “lurus” dirugikan oleh kelompok nelayan yang melaut secara serampangan.
Di Jenebora, lingkungan yang tidak sehat menyebabkan penyempitan area dan jumlah tangkapan, yang berimbas pada penurunan pendapatan. Kondisi memprihatinkan juga dialami para nelayan di Tanjung Jumlai dan Api-Api. Posisi kampung yang berhadapan dengan laut lepas Selat Makassar rentan terhadap abrasi dan banjir karena naiknya permukaan air laut. Minimnya benteng alami seperti mangrove meningkatkan risiko itu.
Mindworks Lab dan Datakota mencatat angka kerentanan yang mengkhawatirkan terhadap kelangsungan komunitas pesisir PPU. Rata-rata mengalami dampak nyata akibat perubahan iklim. Diprediksi, kenaikan permukaan laut dan abrasi akan mengancam masa depan lebih dari 6.000 jiwa, 100 km infrastruktur jalan, dan lebih dari separuh dermaga atau pelabuhan di pesisir PPU pada 2050.
Berdasarkan penuturan nelayan setempat, Mei–September merupakan musim selatan yang ditandai dengan angin kencang dan gelombang besar. Perahu kecil nelayan seringkali tidak sanggup menghadapi cuaca buruk. Perubahan cuaca tidak menentu juga berdampak pada ketidakpastian frekuensi melaut dan penghasilan tidak menentu.
Musim angin selatan, yang secara teori biasa berlangsung bulan Mei–September, belakangan kian sulit diprediksi. Angin kencang bisa hilang dan timbul tiba-tiba. Meski masih cukup optimis dengan ketersediaan ikan yang bisa ditangkap, Salman, nelayan Desa Api-Api, gelisah dengan jarak melaut yang makin jauh. Perahu kecil bervolume kurang dari 5 Gross Tonnage (GT) dengan mesin tempel kapasitas 5 sampai 15 PK—mayoritas nelayan menggunakan ini—pun tampak timpang dengan kondisi alam yang ganas.
“Kekhawatiran saya untuk anak cucu kami ke depannya itu, ya, cuma makin jauh kita melaut,” terang Salman. Saat ini Salman dan nelayan lainnya harus menempuh jarak satu jam perjalanan untuk tiba di lokasi tangkapan. Setara dengan 3–5 mil atau sekitar 5–8 kilometer. “Nanti kalau anak cucu kami itu mungkin dua jam baru sampai di tempat penangkapan.”
Menurut keterangan Salman, dahulu nelayan mudah mendapat 50 kg tangkapan ikan hanya di perairan dekat pantai. Bahkan Sahibe, nelayan Tanjung Jumlai, pernah memperoleh hasil tangkapan satu kuintal ikan per hari. Nominal yang tampaknya sulit diulang akhir-akhir ini. Dapat seperlimanya saja sudah bisa dibilang sangat beruntung.
Jalan tengah: adaptasi dan sinergi
Mega bergelayut di langit Teluk Balikpapan. Membuat pagi seakan belum benar-benar lepas dari buta. Namun, nuansa sendu tidak berlaku sama di ujung kampung Jenebora.
Syamsuddin sudah sibuk di atas perahunya. Ia melepas tali tambat, menggiring bahtera kecil itu menjauhi dermaga. Sesaat setelah menyalakan mesin, ia melesat menuju perairan yang tak jauh dari kampung. Meski langit dan lautan sedang kelabu, dengan balutan pakaian dan topi bernuansa biru, ia mencoba menjemput harapan.
Di satu titik, sekitar 1–2 mil (setara 1,5–3 km), pria yang sehari-hari sering menggunakan peci tersebut ingin mengecek hasil alat tangkap yang dipasang sejak sore sebelumnya. Rakang atau bubu rajungan sederhana itu diangkat olehnya. Tidak banyak, tetapi ia tetap tersenyum dan mensyukuri hasilnya.
Terkadang Syamsuddin memiliki cara tersendiri agar ketersediaan rajungan berkelanjutan. Setiap ia memasang rengge, sejenis alat untuk cari umpan (biasanya udang), dan mendapat rajungan yang sedang bertelur, maka telur-telur tersebut langsung ia sebar secara acak di perairan sekitarnya. Atau ia bawa pulang dan menebarkannya di sekitar kampung.
“Setahun kemudian, begitu saya pasang rengge [lagi] di situ, [diharapkan] banyak rajungannya. Karena kalau tidak begitu, tidak akan berkelanjutan,” jelasnya.
Langkah yang dilakukan Syamsuddin merupakan contoh bentuk adaptasi. Sembari menanti kondisi ekosistem perikanan mencapai titik ideal, ia lebih memilih untuk menjaga kelestarian rajungan dengan caranya sendiri. Begitu pun Salman. Bersama sejumlah nelayan di Api-Api, ia memodifikasi perahu agar lebih kuat saat menempuh rute melaut yang lebih jauh. Sedikit berbeda dari dua desa itu, sejumlah nelayan di Tanjung Jumlai memiliki alternatif sumber ekonomi lain, seperti menggarap sawah atau berkebun.
Meski kemampuan adaptasi masih terbilang rendah4, harapan itu masih ada. Darah pelaut masih melekat erat di nadi masyarakat keturunan Bajo dan Bugis di pesisir Penajam Paser Utara. Keadaan yang rentan di Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api merupakan peluang strategis untuk melakukan intervensi.
Seperti yang dilakukan Aruna, perusahaan rintisan yang menghubungkan nelayan lokal ke segmen pasar lebih luas dengan teknologi. Melalui program Fisheries Improvement Project (FIP), Aruna berupaya secara bertahap melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan praktik dan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, sehingga spesies, habitat, dan manusia dapat berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya adalah penggunaan perangkap berumpan lipat (bubus) dan jaring insang oleh kapal penangkap ikan terdaftar—di bawah 5 GT—dengan spesies target rajungan. Keberadaan Aruna Hub di Balikpapan bisa memperkukuh sistem perikanan ideal yang diimpikan.
Proyek yang memadukan ilmu, manajemen perikanan, dan teknologi tersebut berbasis pada standar perikanan internasional yang ditetapkan Marine Stewardship Council (MSC). Lembaga nonprofit internasional yang berbasis di London ini memiliki visi global agar ekosistem perikanan dan ketersediaan makanan dari laut tetap terjaga untuk generasi saat ini dan masa depan.
Jenebora dan Tanjung Jumlai termasuk dua desa di PPU yang menjadi proyek percontohan FIP oleh Aruna. Program ini merupakan kolaborasi lintas sektor, melibatkan Aruna, nelayan, pemerintah, peneliti, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Mindworks, dalam hal ini juga memberi kacamata langit lewat data-data potensi kerentanan akibat perubahan iklim yang mendorong mitigasi dan adaptasi. Nelayan akan diberikan pendampingan dan berbagai pelatihan untuk berkomitmen melakukan praktik penangkapan tradisional dan berkelanjutan.
Syamsuddin menunjukkan hasil rajungan dan ikan-ikan besar yang akan menopang taraf hidup nelayan PPU, selama tetap mempertahankan proses penangkapan yang ramah lingkungan/Deta Widyananda
Sinergi multipihak seperti inilah yang harus dilakukan demi menjamin masa depan nelayan. Tidak sekadar berhenti sebagai proyek semata, tetapi juga semestinya terakomodasi dalam kebijakan maupun payung hukum pemerintah yang melindungi komunitas nelayan. Sistem ideal yang diimpikan, agar nelayan melesat sebagai profesi yang memiliki prospek cerah.
Terlebih etnis Bugis dan Bajo di PPU—dan sejumlah daerah pesisir lainnya di Indonesia—yang secara historis hidup dan mati bersandar pada lautan. Angin segara dan gelombang ombak mengalir lebih dekat dari urat nadi. Merawat ruang hidup mereka, berarti merawat identitas dan kebudayaan lokal Nusantara sebagai bangsa maritim. (*)
- Data oleh Mapaselle Selle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, dalam Webinar Series #5 IKN berjudul “Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik (PRP) BRIN pada 7 Oktober 2022. ↩︎
- Dielaborasi dari temuan Mindworks Lab dan Datakota serta data Kecamatan Penajam dalam Angka 2023 oleh BPS Kabupaten Penajam Paser Utara. ↩︎
- Pencemaran logam berat akibat kegiatan pertambangan, transportasi, dan industri (Sholehhudin et al, 2021). ↩︎
- Dilansir dari hasil riset vulnerability mapping oleh Mindworks Lab dan Datakota (2024), Penajam Paser Utara (PPU) merupakan wilayah yang memiliki tingkat bahaya tertinggi akibat pengaruh antropogenik dan perubahan iklim, tetapi kapasitas adaptasinya rendah. ↩︎
Referensi
Sholehhudin, M., Azizah, R., Sumantri, A., Sham, S.M., Zakaria, Z..A., & Latif, M.T. (2021). Analysis of Heavy Metals (Cadmium, Chromium, Lead, Manganese, and Zinc) in Well Water in East Java Province, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences. Vol. 17(2): 146–153, April 2021, eISSN 2636-9346. https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021040613114320_MJMHS_0789.pdf.
Foto sampul:
Seorang nelayan Jenebora mendorong perahunya menjauh dari dermaga dengan tongkat bambu sebelum menghidupkan mesin untuk melaut. Tampak di latar belakang aktivitas industri yang sibuk di pinggiran Kota Balikpapan/Deta Widyananda
Artikel ini adalah publikasi program ekspedisi Mindworks Lab dan Aruna bersama TelusuRI di tiga desa, yaitu Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api, Kabupaten Penajam Paser Utara pada Juni 2024, dengan tema “Indonesian Coastal Communities Climate Vulnerabilities Documentation & Narrative Creation”.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.