Saya menghabiskan perjalanan dari Jember menuju Gresik sembari bertanya-tanya, sebetulnya apa yang saya cari sampai-sampai perlu membaca masa silam di sana? Apalagi tidak ada kereta langsung ke Gresik. Saya mesti turun di Stasiun Gubeng, Surabaya lalu menaiki kereta komuter menuju Stasiun Indro. Di sepanjang perjalanan itulah, pertanyaan itu bergerak makin liar di kepala.
Setahu saya, Gresik adalah tanah para wali lantaran ada beberapa makam, seperti Sunan Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri. Selain dikenal sebagai kota islami, saya juga mengenalnya sebagai kota industri. Namun, sebatas mengenal tanpa bersinggungan dalam bentuk apa pun. Karenanya, residensi saya di Gresik yang diselenggarakan oleh Yayasan Gang Sebelah, bekerja sama dengan Badan Bahasa Kemdikbud pada tanggal 9 November 2023 silam, adalah perjalanan yang sarat akan tanda tanya, “Sejauh apa cerita yang akan saya peroleh dalam waktu singkat guna dituangkan ke dalam bentuk cerpen [cerita pendek]?”
Agaknya, pertanyaan ini berhasil mengusik saya selama perjalanan. Sampai akhirnya saat menginjakkan kaki di bentangan rel Stasiun Indro, saya disambut aroma yang tak biasa dihirup. Aroma ini menguar memenuhi langit yang begitu lapang. Sekilas saya menengok ke seberang. Gedung-gedung khas pabrik industri tampak menjulang.
“Itu Pabrik Wilmar, Mbak,” kata seorang staf Yayasan Gang Sebelah yang seakan memahami kebingungan saya.
Sembari mengemudikan mobil, ia menyebut beragam pabrik industri yang tersebar di Gresik. Beberapa nama yang disebutkan sangat tidak asing di telinga. Pelan-pelan saya tersadar jika Gresik bukan sebatas tanah para wali atau kota industri. Saya tahu, kalau Gresik tak ubahnya rahim perempuan. Ia bukan sekadar penanda biologis, melainkan juga memberi kehidupan terhadap apa yang tengah dikandung. Sebagaimana anak ayam yang lahir dari satu induk, tetapi berbeda warna bulu. Ada yang kelabu, hitam atau putih. Maka, seperti itu pula rahim Kota Gresik.
Kadangkala ia mengandung bayi mungil dan mengasihi ibunya saat dewasa. Kadangkala ia mengandung janin rupawan, tetapi saat lahir justru tumbuh seperti Malin Kundang dan Sangkuriang. Atau secara tak sadar Gresik menjadi korban kelicikan burung kedasih. Burung ini dikenal tak mau merawat anaknya. Jadi, dia akan mencari sarang burung lain untuk menitipkan telur-telurnya sendiri.
Sialnya, telur burung kedasih memiliki waktu peram lebih singkat. Ketika menetas lebih dahulu, mereka membuang telur di dalam sarang yang merupakan anak kandung si ibu angkat demi menguasai makanan dari si ibu. Setidaknya, begitulah gambaran Gresik jika diibaratkan rahim perempuan. Namun, rahim itu tak pernah kering. Ia terus bersetubuh dengan waktu. Bercumbu dengan nafsu. Bergelinjang dengan lesatan peradaban. Dan menyusuinya dengan lautan yang makin hari mengikis kenangan.
Laut dalam Sudut Pandang Zaman Sekarang
Tajuk residensi kali ini adalah Mengalami Gresik Kota Lama. Dan untuk mencapai tujuan ini, saya kira kita memang perlu membaca laut di sana. Gresik dan laut seperti sepasang kekasih. Keduanya tak bisa dipisah. Bahkan jika terpaksa terpisah atas nama keadaan, maka akan lahir kisah Layla-Majnun; Romeo dan Juliet karangan Shakespeare; kisah cinta Hayati dan Zainuddin karya Buya Hamka, atau apa pun yang bertalian dengan kisah cinta getir nan menyakitkan.
Maka tak heran, pada hari kedua pihak Yayasan Gang Sebelah membawa 18 peserta residensi yang berasal dari wilayah nusantara menuju Kelurahan Lumpur. Di sini, saya memang melihat ketenangan ombak laut Gresik, atau memandang para nelayan yang baru pulang melaut dan menurunkan ikan-ikan. Senyum merekah saat mereka memanggul hasil tangkapan seakan pertanda kalau semuanya baik-baik saja.
Akan tetapi, saat saya mendekati Balai Gede, saya menemukan rongga dada yang menganga. Di depan saya, ada tiga kapal tongkang berukuran besar. Salah satu sudut kapal tampak bendera Vietnam.
“Ini semua kapal asing. Biasanya kapal curah ini bawa bahan pupuk untuk pabrik Petrokimia,” kata Pak Darodjib seraya menunjuk pabrik yang dimaksud.
Saya kembali termangu mengingat jarak pandang antara tempat saya berdiri dan kapal-kapal ini amat dekat. Apalagi lelaki yang tak lulus SD ini membuka lembaran lama hidupnya saat ia menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal asing tersebut.
Senyumnya merekah saat menyodorkan paspor. Sebidang dada itu kembali tegap manakala ia menceritakan perjalanannya berkeliling dari satu negara ke negara lainnya. Mulai dari Israel, Rusia, hingga Korea, semua stempel di paspor itu masih ia simpan sampai sekarang.
“Tapi, Nak,” katanya seusai mengenang memori terindah masa muda. “Saya sudah mengakhiri perjalanan mengarungi dunia dengan pergi umrah ke Makkah. Saya sudah cukup dengan apa-apa yang saya lakukan pada masa muda. Sekarang saya memilih bekerja di sini saja. Meski sebetulnya, tempat kita duduk sekarang ini, dulunya adalah lautan tempat nelayan mencari ikan.”
Saya tak menduga pernyataan Pak Darodjib. Dan saya jauh lebih tidak menyangka, lantaran nelayan harus berlayar jauh sampai ke utara Madura demi mencari ikan padahal harga solar terus meninggi. Katanya, “Dahulu saat pabrik tidak seluas sekarang dan belum ada reklamasi, di tempat kita duduk ini banyak ikan. Tapi, sekarang nelayan harus pergi jauh ke Bawean.”
Saya memahami kegelisahan Pak Darodjib, mengingat di atas Balai Gede ini, saya memang tidak melihat pantai sebagaimana batasan antara laut dan daratan. Yang saya dapatkan justru pemandangan kapal asing yang tengah menurunkan muatan.
Laut Sebagai Gerbang Perlintasan Budaya Masa Silam
Apa-apa yang disampaikan Pak Darodjib membuat saya ngilu. Tentu saja apa yang saya rasakan ini bukan tanpa alasan, sebab Gresik sejatinya memiliki sejarah panjang dalam melintasi zaman. Ia bukan sekadar kota tanpa nama. Jauh dari berdirinya Pabrik Petrokimia atau Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) yang menghiasi pesisir utara, Gresik tak pernah jauh dari ingar-bingar pelabuhan lantaran memiliki Nyai Ageng Pinatih yang menjadi simbol utama.
Bila ditelisik lebih jauh, ada perbedaan redaksi terkait kisah beliau—Nyai Ageng Pinatih. Ada yang menyebutnya sebagai janda, belum menikah, atau sudah bersuami. Begitu pula hubungannya dengan Sunan Giri. Konon, ada yang menyebut kalau Sunan Giri ditemukan di laut sampai akhirnya ditemukan oleh Nyai Ageng Pinatih, atau ada yang sengaja memberikan Sunan Giri kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diasuh.
Kendati begitu, perbedaan semacam ini dalam dunia sejarah adalah hal lumrah. Namun, dari literatur yang ada semuanya sepakat dengan menyebut Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar perempuan pertama yang diakui Majapahit. Tentu saja pengakuan ini adalah bukti betapa kuatnya pengaruh Nyai Ageng Pinatih pada masa itu, mengingat tidak lazim seorang perempuan mengisi posisi syahbandar.
Maka, tak heran jika laut bagi Gresik adalah gerbang persilangan budaya. Ini bisa dilihat dari bukti-bukti yang masih berdiri sampai sekarang. Saat pihak Yayasan Gang Sebelah membawa para peserta ke makam Nyai Ageng Pinatih di Kebungson, lalu menuju Kelenteng Kim Hin Kiong, salah satu kelenteng tertua di Jawa Timur karena sudah ada sejak zaman Majapahit, atau kantor pos yang merupakan bekas asrama pegawai Vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oostindische Compagnie (VOC). Ini hanya sedikit bukti adanya percampuran budaya pada masa silam.
Bahkan tak sampai di sini. Pihak yayasan membawa kami menelusuri kompleks makam Kanjeng Raden Tumenggung Poesponegoro, bupati pertama Gresik dan letaknya bersebelahan dengan makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Di kompleks makam ini, saya melihat Surya Majapahit pada bangunan di dalamnya. Simbol ini kerap kali disebut sebagai lambang kerajaan Majapahit. Bedanya, apa yang saya lihat bukan sekadar delapan arah dengan semburat bintang, melainkan ada lafal Arab sebagai penanda masuknya era Islam.
Sungguh, sebuah pertalian budaya yang amat lengkap dan panjang di mana lautan berfungsi sebagai gerbang. Maka, tak salah jika menyebut Gresik dan laut adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Meski pada akhirnya, Gresik dan laut adalah kisah getir seperti apa yang Pak Darodjib sampaikan.
Harus saya akui, perjalanan singkat saya selama residensi di Gresik telah menambah kekayaan khazanah pandangan saya dalam menikmati sebuah kota. Dengan segala seluk beluk ruangannya, Gresik berhasil menyuguhkan dirinya sendiri sebagai kota lama yang sarat akan ragam budaya. Bagi saya, Gresik tidak lagi sebatas tanah wali atau kota industri. Ia telah menjelma sebagai kota yang jauh dari ingar-bingar penolakan reklamasi atau mungkin terdapat penolakan, tetapi tidak seriuh reklamasi Teluk Benoa, Bali.
“Dulu di depan ini, Nak, di seberang bantaran rel yang kamu lihat ini adalah laut. Tapi, kamu lihat sekarang. Tambah luas bahkan tidak terlihat lagi di mana pinggir laut itu,” ujar seorang ibu pedagang pentol sembari menuangkan saus dan kecap.
Ada aroma getir yang saya tangkap dari bibir ibu itu. Sembari menikmati pentol Gresik di sebelah Stasiun Indro saat menunggu kereta commuter line tiba, saya mendengarkan cerita. Dahulu ibu ini sering bermain di pinggir laut, tetapi kini hanya tinggal kenangan di dalam benaknya.
Ah, sudahlah. Saya tidak mau meromantisisme adegan menggetirkan semacam ini. Agak sesak menuliskannya. Cukuplah apa pun yang saya lihat dan dengar menambah kekayaan batin saya dalam memandang Gresik atau Bandar Grissee di pesisir utara Jawa Timur.
Foto sampul:
Tongkang kapal asing yang sedang menurunkan muatan/Yayasan Gang Sebelah
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Nurillah Achmad. Seusai menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan Sumenep, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jember. Pada tahun 2019, terpilih sebagai Emerging Writer of Ubud Writers & Readers Festival. Novel terbarunya berjudul Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? (Elex Media Komputindo, 2023). Saat ini tinggal di Jember dan aktif di komunitas Puan Menulis.