Travelog

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)

“Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan. 

“Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku. 

“Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang putri kayangan dan disembunyikan di lumbung padi. Kisah semacam itu juga terjadi pada Aryo Menak,” jawabnya. 

“Kok bisa di Pamekasan ada makam Jaka Tarub. Bukannya kisah itu dari Jawa Barat?” tanyaku.

“Mungkin di akhir hidupnya Jaka Tarub menepi ke Madura,” candanya.

“Seru juga nyari-nyari makam sambil belajar,” sahutku. 

“Kita cari makan dulu, ya,” ucap Royyan terlihat lemas. “Siang-siang gini enaknya makan bakso, yang pedes-pedes, berkuah.”

Aku tergiur, mengiyakan. Setelah beberapa menit berjalan, di tepi terlihat sebuah warung rujak cingur yang membuat Royyan berubah pikiran.

“Makan rujak cingur aja, ya. Kayaknya enak, tuh,” ucapnya. Aku menepi. Kami memesan dua rujak cingur dan es teh. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. 

Tapi, lokasi yang kami tuju terlewati. Kami kebablasan sekitar 500 meter. Untung Royyan sigap menyuruhku berhenti.

“Balik. Aku sedikit lupa. Dulu ke sini juga karena diajak teman,” katanya. 

Aku putar balik dan memasuki gerbang bertuliskan “Wisata Religi Jaka Tarub”.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Gerbang Wisata Religi Jaka Tarub/Samroni

Makam Jaka Tarub

Setibanya di tempat, ternyata areanya cukup luas. Terdapat penginapan dan juga langgar yang sangat terawat. Tiga orang tua di langgar sedang memerhatikan kami.

“Ini juga cagar budaya, ya?” tanyaku sambil memarkirkan motor. 

“Ya. Ayo, masuk,” jawab Royyan. 

Kami masuk setelah membuka jaket karena banyak pohon bambu yang menaungi dan udaranya cukup sejuk. Jalan masuk kompleks makam dinaungi atap galvalum. Di situ, seorang wanita paruh baya sedang duduk. Ia menyapa dan menyilakan kami masuk.

“Paling itu juru kuncinya,” bisikku. Royyan terus berjalan, tak menanggapi.

Jalan menuju makam dibatasi pagar. Sejauh mata memandang, pohon-pohon bambu tumbuh subur. 

“Di sini ada larangan untuk tidak menebang atau mengambil bambu,” Royyan memberi tahu. 

“Kenapa?” tanyaku. 

“Nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya. Kami masuk ke kompleks makam. Tempat itu tak memiliki makam sebanyak yang kami jumpai di kompleks makam Ronggosukowati dan Raja Pamelingan. Sepertinya, kompleks ini khusus makam Jaka Tarub beserta keturunannya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Peziarah mengaji di kompleks Makam Jaka Tarub/Samroni

Setelah kami masuk, ternyata ada orang lain selain kami. Ada dua pemuda sedang mengaji di samping makam Jaka Tarub. Karena masih suasana lebaran, barangkali mereka sedang ziarah. Selain nyekar ke makam kerabat, orang Madura juga berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Penampilan kedua orang itu terlihat seperti santri. Kami menghampiri makam Jaka Tarub setelah dua pemuda itu selesai mengaji.

“Di cungkup itu, ada makam Dewi Nawang Wulan dan anaknya Nawang Sasi,” ucap Royyan. Dari bentuk makam, semua sudah terlihat modern. Batu nisannya sudah menggunakan keramik dan marmer palsu, seperti rumah-rumah orang Madura masa kini.

“Dari legenda yang kutahu, Ki Ageng Tarub tidak memperbolehkan warga memotong sapi karena hewan itu dianggap telah berjasa menyusui Ni Endang Nawang Sasi saat ditinggal ibunya, Nawang Wulan.” kisah Royyan. 

“Berarti hampir sama dengan cerita Aryo Menak yang ditinggal istrinya setelah menemukan selendangnya?” responsku. 

“Ya, begitulah,” jawab Royyan sekenanya. “Bambu di sini juga dilarang diambil karena menurut legenda, bambu-bambu itu berasal dari sujen ayah Aryo Tarub, Ki Ageng Tarub dan ibunya, Ni Endang Kembang Lampir. Bambu-bambu itu disakralkan.” 

Kesakralan tersebut membuat bambu-bambu itu ditulisi nama pengunjung yang berharap segera berjodoh, mengawetkan hubungan, atau membuat mereka berumur panjang.

Makam Jaka Tarub cukup besar, dikelilingi beberapa makam tak bernama. Di utaranya ada makam Syekh Maulana Maghribi. Namanya terdengar seperti orang Timur Tengah yang kuasumsikan penyebar Islam di Madura. Tempat ini dikelilingi pohon bambu dan kolam berair keruh yang meruapkan aroma kurang sedap. Ketika kami keluar dari kompleks makam, terlihat satu keluarga menggantikan kami. Di jalan keluar, kami dicegat juru kunci untuk mencicipi camilan. Untuk menerima berkah, katanya. 

“Kok kayak di gereja, ya,” ucap Royyan. Kami menolaknya dengan meminta maaf.  Royyan berbelok ke toilet. 

Aku berteduh di langgar untuk melihat-lihat sekitar sambil berbasa-basi dengan beberapa orang. Di kejauhan, aku melihat beberapa orang sedang berkumpul di depan papan silsilah. Seseorang terlihat sedang menjelaskan nasab Jaka Tarub. Aku ikut bergabung dan menyimak. Royyan yang sudah datang dari toilet ikut nimbrung.

Ternyata, Jaka Tarub adalah putra Syekh Maulana Maghribi dan Nawangsih. Sementara itu, Jaka Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan, sang bidadari. Jika dilihat dari papan silsilah. 

“Wah, hebat ya, mereka keturunan putri kayangan. Jadi pengen juga,” celetuk Royyan. Aku menahan tawa. 

Kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan ini dan beranjak ke petualangan selanjutnya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Vihara Avalokitesvara/Samroni

Vihara Avalokitesvara 

Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju Vihara Avalokitesvara. Gang menuju Vihara dipenuhi rimbun pohon dan tambak udang yang memantulkan cahaya. Jalan ini cukup bersih dan beraspal. Vihara Avalokitesvara adalah candi Dewi Kwan Im atau Gwan Ying. Dari sumber yang kubaca, arca Dewi Kwan Im di vihara ini ditemukan oleh seorang petani pada 1800-an. Arca-arca di vihara tersebut merupakan patung Buddha aliran Mahayana Majapahit.

“Sebenarnya, dari beberapa buku yang kubaca, Candi Burung di Proppo adalah tempat pertama arca-arca di sini. Tapi, karena akses ke sana cukup sukar dan jauh dari dermaga, akhirnya arca-arca itu ditempatkan di kuil ini. Proppo gagal membangun candi sehingga lokasi semula itu dinamai candi burung yang artinya ‘kuil yang urung (dibangun)’,” ceritaku yang diamini Royyan.

“Dulu, Buddha di Pamekasan sangat kuat, menjadi agama resmi negara Jhâmbringèn yang sekarang menjadi Proppo. Itulah mengapa Pamekasan adalah wilayah di Madura yang paling lambat dimasuki Islam. Peninggalan-peninggalan ini sebagai bukti,” tambahnya. 

Kami memutuskan pergi setelah menghabiskan sebatang kretek. Senja mengakhiri perjalanan ini dan kami melepas penat di kedai tepi pantai di Jalan Raya Pamekasan–Sumenep. Di sana, banyak muda-mudi menunggu surya terbenam. Aku memesan es degan, Royyan memesan sempol seukuran jempol.

“Capek, ya. Nanti pasti bisa tidur nyenyak,” kata Royyan.  

“Lumayan lelah, tapi terbayarkan,” sahutku. “Senang bisa mengisi akhir pekan dengan hal-hal seperti ini. Ada banyak pengetahuan baru yang kuperoleh,” pungkasku.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Samroni

Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura. Saat ini bergiat di komunitas sastra Sivitas Kotheka.

Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura. Saat ini bergiat di komunitas sastra Sivitas Kotheka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab