Travelog

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)

Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju.

Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid As-Syuhada yang dibangun pada masa pemerintahan Ronggosukowati, kami melalui gedung Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) bekas karesidenan zaman Belanda yang masih kokoh berdiri; barangkali sudah direnovasi beberapa kali. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Royyan dengan latar tugu plakat makam/Samroni

Makam Ronggosukowati

Hari itu aku diajak Royyan untuk meniti silsilah Panembahan Ronggosukowati yang sudah tak banyak diketahui pemuda Pamekasan. Kala itu kami memiliki tujuan yang tak biasa, menyelinap di riuhnya pasar untuk mengunjungi makam Raja Pamekasan yang tersohor itu.

Di samping pasar Jalan Agus Salim, terlihat tempat peristirahatan Raja Pamekasan yang diakui sebagai pahlawan di Pamekasan. Kami berhenti di pinggir jalan yang bersebelahan dengan pasar. Kompleks pemakaman itu kurang terlihat dengan jelas karena tertutup mobil yang parkir sembarangan. Tak ada tempat parkir khusus meskipun tempat ini cagar budaya. Aku memarkirkan motor di samping tugu plakat makam. Di seberang jalan kulihat pasar masih ramai.

Setelah memasuki kompleks makam Ronggosukowati, ternyata tempat itu lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya. Di sebelah barat terhampar sawah dan di selatan ada pemukiman warga Kolpajung. Denah pada makam Panembahan Ronggosukowati berjenjang ke belakang. Itu berarti halaman utama dan paling sakral adalah halaman paling belakang. Makam Ronggosukowati ada di ujung utara, beratapkan cungkup bersusun dan mustaka yang hampir sama dengan pucuk Masjid Demak. 

Halaman pertama memiliki posisi paling rendah dan terbagi menjadi barat dan timur yang dibatasi jalan. Di bagian barat ada cungkup makam RTA Tjakra Adiningrat I, Bupati Pamekasan periode 1745–1790. Bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur kolonial. Kukira bangunan ini memang didirikan saat zaman kolonial; terlihat dari modelnya. 

Semakin ke dalam, tempat ini semakin tinggi. Ada tiga halaman sebelum kita masuk ke halaman pusat makam Ronggosukowati. Uniknya, ada gapura di setiap halaman. Di halaman terakhir, ada makam Panembahan Sukowati dan istrinya, Ratu Inten, persis di sebelah barat makam. Cungkup dan makam Ronggosukowati bercat putih dan warna emas yang membuatnya terlihat elegan dan berbeda dari makam lainya.

“Tak ada juru kunci makam, ya,” ucapku. 

“Tak masalah karena pengetahuanku tentang tempat ini sudah melebihi juru kunci makam,” jawab Royyan tersenyum.

Desain interior makam panembahan Ronggosukowati berukir gunungan dengan nisan yang ditatah. Gunungannya berpahat simbar dengan warna emas mencolok dan putih. Tempat makam yang tinggi juga menunjukkan sisi kekeramatan makam ini. Mungkin ini menunjukkan pengaruh Ronggosukowati terhadap Pamekasan.

  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)

Ronggosukowati adalah pemimpin yang berjasa bagi Pamekasan karena bisa menyatukan kerajaan Pamelingan dan Mandilaras. Tidak hanya itu, ia juga menjadi raja yang membangun Pamekasan dari keterpurukan. Tak ada pemimpin Pamekasan setelahnya yang bisa melampaui Ronggosukowati.

Tak ada pengunjung lain kala itu. Mungkin karena kami datang siang hari. Hal itu membuat kami leluasa, sebab kedatangan kami memang untuk melihat-lihat dan belajar sejarah Pamekasan. Sebenarnya, cungkup yang ada di sini juga sangat rendah, membuat kami harus membungkukkan badan. Barangkali, ini dilakukan supaya menambah kesakralan tempat makam Panembahan Ronggosukowati.

Cuaca panas yang kian menyengat membuat kami berteduh di bawah pohon yang rindang di belakang makam. Di sebelah barat, aku melihat sawah yang ditanami padi sedang menghijau.

“Sebat dulu. Perjalanan kita masih panjang,” ucap Royyan. Aku tak tahu dan suka dengan kejutan perjalanan selanjutnya yang akan ia tunjukkan kepadaku. Aku memerhatikanya mengisap sebatang rokok. Selesai sebat, kami memutuskan meneruskan perjalanan ke arah timur. Matahari sudah sejajar dengan pundak.

“Kita cari ATM dulu ya. Aku enggak pegang uang,” ucap Royyan. “Yang muda nyetir,” tambahnya. 

“Yang muda memang harus membuat gerakan, tapi, ya, enggak gini juga,” tawaku. 

Kami berangkat melewati Jalan Ronggosukowati, pelan, sambil memerhatikan sekitar untuk mencari ATM.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Plang kompleks makam Raja Pamelingan/Samroni

Makam Raja Pamelingan

Di perjalanan, aku dikagetkan oleh Royyan yang grusa-grusu menepuk pundak sambil menyuruhku berhenti. Aku menepi. Ia turun untuk memastikan sesuatu.

“Ayo, mampir ke sana dulu. Mestinya ini juga jadi bagian dari perjalanan kita,” ucapnya sambil berjalan ke sebuah gang buntu. Aku mengikutinya. Setelah mencapai ujung gang, ada plang tertulis “Kompleks Makam Raja Pamelingan”.

Setibanya kami di kompleks makam, ada sebuah langgar dan beberapa orang dewasa yang sedang duduk fokus pada gawai tanpa menyadari kedatangan kami. Terlihat beberapa dari mereka sedang karaokean dan mengobrol.

Kami beranjak menuju makam. Dari kejauhan terlihat warna nisan dan cungkup yang menyilaukan mata, berwarna hijau terang yang makin terang karena matahari. Tak ada pohon-pohon yang menaungi. Makam Raja Pamelingan tak seluas makam Ronggosukowati. Yang berbeda dari makam lainnya adalah sebuah cungkup dan area makam yang lebih tinggi.

Aku mengikuti Royyan, lebih tepatnya membuntutinya sambil mendengarkan ia menceritakan sejarah makam-makam di tempat ini. “Pertemuan trah Pamekasan dan Sumenep baru terjadi kira-kira saat zaman Banuraga. Hulu trah Pamekasan jauh ke penguasa Singasari, sedangkan Sumenep berhulu ke Wiraraja,” jelasnya. Sebenarnya, ketika mendengarkan ia berbicara, aku merasa seperti didongengi kakek-kakek. Sayang, aku sudah tidak memiliki kakek.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Makam Raja Pamelingan/Samroni

“Banuraga adalah Raja Negara Pamelingan di Lawangan Daya. Dikisahkan bahwa putranya, Ronggosukowati, memindahkan keraton ke Mandilaras dan mengubah negara menjadi Pamekasan,” ucap temanku itu saat ditanya perihal silsilah Ronggosukowati.

Di sana, kami hanya sebentar karena tak ada tempat berteduh. Panas membuat kami beranjak lebih cepat. Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur. Di Jalan Bonorogo, aku menepi sebentar di Rumah Sakit Mohammad Noer. Di sana, Royyan mengambil duit ke ATM.

Kami melanjutkan perjalanan ke timur, menuju Talang Siring di perbatasan Pamekasan dan Sumenep.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Samroni

Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura. Saat ini bergiat di komunitas sastra Sivitas Kotheka.

Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura. Saat ini bergiat di komunitas sastra Sivitas Kotheka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat