Siang itu meski tidak ada tanda-tanda meredupnya sinar matahari, saya mengunjungi kediaman dosen saya dahulu, Ninie Susanti Tedjowasono. Seorang perempuan ahli epigrafi yang merupakan murid langsung dari Prof. Boechari, sang maestro epigrafi Indonesia dan juga sebagai ketua PAEI (Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia).
“Wah Irsyad, lama tidak jumpa! Silakan masuk,” ucapnya menyambut saya di depan pagar.
Kali ini saya berkesempatan untuk berbincang mengenai epigrafi sekaligus bernostalgia kembali mengingat masa-masa kuliah, sewaktu mata kuliah epigrafi diampu oleh beliau. Kami saling menanyakan kabar. Maklum, setelah beliau menguji saya sewaktu sidang skripsi, saya tidak pernah berjumpa lagi dengan beliau secara fisik.
Ninie Susanti merupakan salah satu dosen yang saya kagumi ketika berkuliah. Dalam bidang epigrafi, Ninie Susanti adalah salah satu figur senior dan juga disegani karena hasil penelitiannya yang banyak dan juga komprehensif, salah satunya mengenai kesejarahan Airlangga.
Saat masih menjadi mahasiswa, sebetulnya Ninie belum terlalu tertarik dengan bidang epigrafi, pun ketika diajar oleh Prof. Boechari. Ketertarikan Ninie baru terlihat ketika menjelang lulus, keingintahuan untuk mengetahui sejarah masa lalu dari sumber tertulis akhirnya membuatnya menjadi salah satu ahli epigrafi pada masa kini, mewarisi tekad dan semangat dari Prof. Boechari.
Menurut Ninie, semua orang bisa menjadi epigraf dengan dua syarat; keingintahuan yang besar dan mau belajar. Kedua syarat tersebut harus mutlak dipenuhi oleh pelajar epigrafi, pasalnya untuk mempelajari suatu prasasti diperlukan ketekunan dalam membaca satu per satu kata yang terukir yang kadang tidak jelas, buram, bahkan hilang.
Bagaimana dengan kemampuan menghafal kosa-kata kuno? Menurut Ninie kemampuan tersebut sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan ketika membaca suatu prasasti. Kata-kata dalam prasasti cenderung menggunakan kosa kata yang cenderung familiar satu sama lain–dalam konteks satu bahasa kuno yang sama. Karena sering membaca dan menerjemahkan, otomatis kita akan lebih mudah mengingatnya.
“Sebetulnya saya tidak pernah sengaja menghafal kosa kata, karena sering membaca faksimile dan tertarik membaca prasasti, akhirnya nempel,” jelasnya.
Prasasti itu unik. Banyak prasasti yang ditemukan (khususnya di Jawa) yang berkaitan dengan unsur politik seperti penetapan suatu wilayah, pajak, hingga kutukan. Tapi beberapa lainnya juga menuliskan hal-hal lainnya seperti doa, mantra hingga hal absurd seperti cinta.
Sebagai salah satu bukti sejarah yang paling otentik, prasasti tidak hanya menjelaskan suatu peristiwa sejarah, tapi dapat menceritakan kondisi sosiologi, ekonomi, hingga politik suatu masyarakat. Kendati sebagai sumber data sejarah yang paling lengkap, namun prasasti juga dibayang-bayangi oleh ausnya benda karena sudah berumur ratusan tahun serta kerusakan dari orang yang tidak bertanggung jawab.
Apakah ada ahli epigrafi yang bisa semua bahasa kuno Nusantara? Jawaban dari Ninie tentu saja tidak ada. “Para epigraf itu saling melengkapi,” tuturnya. “Yang harus kita kuasai kan aksara, paleografi, dan aksaranya. Dalam hal penguasaan, kalau Prof. Boechari lebih condong kepada Jawa kuno, beliau juga menguasai Melayu kuno, Jawi, Jawa baru.”
Ninie Susanti juga mengetuai Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI). Sebagai salah satu perkumpulan resmi epigraf yang ada di Indonesia, PAEI berupaya untuk mewadahi para ahli aksara dan bahasa kuno yang tersebar di berbagai penjuru negeri untuk berkumpul dan bersatu untuk memajukan epigrafi Indonesia. Dalam menghadapi permasalahan lapangan yang cenderung berbeda di tiap daerah, tiap epigraf yang bergabung di PAEI dibagi ke dalam beberapa komisi daerah (komda).
Keanggotaan PAEI memang tidak sembarang untuk menerima anggota, karena mengandung kata ‘ahli’ maka tiap calon anggota akan diseleksi sekitar keahlian dan karya ilmiah. Hal ini bertujuan untuk menyaring agar anggota yang diperoleh benar-benar kompeten dalam bidangnya.
Untuk kerja sama, PAEI membuka peluang seluas-luasnya kepada organisasi lain yang memiliki perhatian pada budaya. Kerja sama ini diproyeksikan untuk menarik minat masyarakat Indonesia terhadap kajian arkeologi, khususnya epigrafi; juga untuk menumbuhkan kecintaan dan rasa keingintahuan akan peninggalan nenek moyang.
Peminat epigrafi tidak bisa dikatakan besar dibanding bidang arkeologi lainnya. “Tidak bisa dipungkiri (belajar epigrafi) antara kemauan, bakat, dan juga insting untuk mempelajari prasasti, tetapi yang sangat membanggakan di PAEI bagi saya adalah sekitar 80% anggotanya adalah anak muda. Keberlanjutan generasi muda untuk mempelajari nenek moyangnya di masa lalu itu tinggi, itu membuat saya bersemangat.”
Belajar epigrafi tidak hanya menyoal sebuah peristiwa kuno untuk menjadi renungan, epigrafi banyak membuka cakrawala manusia masa kini untuk mengambil pelajaran dari masa lalu. “Apa yang kita alami ‘kan cenderung berulang, dengan belajar epigrafi kita dapat mengambil pelajaran dari apa-apa yang telah terjadi di masa lampau.”
Saya sependapat. Epigrafi menjadi refleksi diri kita. Nusantara di masa lalu yang tidak jauh berbeda dengan keadaan kita sekarang. Perang, intrik politik, bencana; sebenarnya hanyalah reka ulang adegan masa lampau. Pintar-pintar kita saja agar kejadian masa lalu yang buruk tidak terulang.Selama menjadi pengajar dan peneliti, Ninie Susanti sudah menghasilkan banyak karya berkualitas yang membahas berbagai kajian kerajaan kuno di Indonesia antara lain Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI,Prasasti- Prasasti Kedatuan Sriwijaya, Katalog Prasasti Timah di Sumatera dan judul lainnya yang tidak dapat disebut satu per satu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.