Pada malam Kamis, sehari setelah Idulfitri, saya sudah duduk dengan posisi ternyaman di atas sebuah bus dengan rute Palopo-Makassar yang akan menempuh jarak sekitar 365 km dalam kurun waktu delapan jam. Pemandangan malam dan jalan berkelok berakhir ketika bus menurunkan saya tepat di depan pertigaan Tello ex-Adipura, tempat di mana ojek-ojek tampak menunggu calon penumpangnya yang baru turun dari bus-bus. Jam menunjukkan pukul 04.00, seorang pria berusia tiga puluhan mendatangi saya dan langsung mengambil dry bag merah yang saya tenteng. Saya pun mengikutinya di belakang. 

“Berapa ke Toa Daeng Tiga, Daeng?

“Dua puluh ribu, Dek.”

Saya cukup kaget, sebab setahu saya tarif biasanya hanya sepuluh ribu. Hal tersebut lalu kutanyakan,  pria itu membalas dengan sedikit memaksa dan mengatakan bahwa hari itu masih terlalu subuh sehingga dihargai Rp20.000,- untuk satu tumpangan yang kurang dari 500 meter.

Setelah beristirahat sampai tengah hari, saya mulai menyiapkan segala keperluan perjalanan selama sepuluh hari di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Matahari siang begitu terik saat saya bergerak menuju pelabuhan Soekarno-Hatta yang terletak di Jalan Nusantara Nomor 378. Jalanan Makassar saat H+3 lebaran kali ini masih begitu lenggang, sehingga perjalanan dari rumah ke pelabuhan Soekarno-Hatta hanya ditempuh sekitar 10 menit. 

Tempat penukaran tiket pelabuhan Makassar/Nawa Jamil

Para penumpang kapal siang itu tampak lenggang, tidak seramai biasanya. Beberapa orang, sepertinya calon penumpang kapal, tampak menggelar tikar plastik di sepanjang daerah penukaran tiket, berbaur dengan para penjual kaki lima di sana. Perjalanan ke Flores saya kali ini ditemani oleh satu perempuan bernama Istya, senior jurusan di kampus sekaligus kawan di sebuah komunitas pendidikan. Saya menunggunya cukup lama, dari pukul dua siang hingga nyaris pukul lima sore. Tidak mengapa, toh kapal baru akan berangkat sekitar pukul enam nanti. 

Potret sudut kapal/Nawa Jamil

Selama menunggu Kak Istya, saya berbincang dengan seorang penjual sandal bertubuh jangkung yang terus mendatangi kursi saya meskipun sudah saya tolak berkali-kali. Seorang bapak asli Bima yang juga menunggu kapal yang sama, juga seorang lagi bapak asli Ruteng, NTT. Kami berbincang banyak dari siang  hingga sore, mulai dari fenomena perbedaan jam antara WIT, WITA, WIB, dan daerah-daerah lain yang pernah mereka datangi. Banyak lagi cerita yang mengalir saat itu. Saya sempat ditinggal oleh mereka untuk merokok saya pun sempat menitipkan barang saat hendak salat Asar.  

Tepat pukul lima, Kak Istya tiba dengan langkah terburu. Saya dan bapak tersebut langsung mengangkut barang-barang kami, buru-buru menaiki tangga menuju gerbang check in. Masalah muncul saat bapak tadi hendak check in. Ternyata, Pak Hismar hanya terdata vaksin pertama, sehingga harus menyertakan surat PCR, sementara beliau hanya membawa surat Antigen. Setelah bertanya ke berbagai petugas yang tampak enggan membantu, singkat cerita; persoalan perihal dokumen keberangkatan tersebut selesai 15 menit kemudian. Kami pun langsung menaiki kapal.  Setelah mencari ranjang ternyaman di dek tiga, dengan satu suara klakson kapal tepat pukul enam sore, kapal kami berangkat menuju Bima. 

Secara umum, kapal dengan rute Makassar-Labuan Bajo ini sangat bersih dan tertata rapi, jauh diluar ekspektasi saya yang baru sekali menaiki kapal sewaktu perjalanan Wakatobi–Kendari dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Semenjak pertengahan tahun 2015, puluhan kapal Pelni telah menyeragamkan semua layanan menjadi kelas ekonomi, atau single class, sehingga semua layanan pada hampir 28 kapal Pelni dapat diakses oleh seluruh penumpangnya.   

Setiap ranjang sudah dilengkapi dengan lubang charger, pendingin ruangan sentral–yang meskipun tidak begitu terasa, tetapi cukup untuk mendinginkan dek, serta tong sampah hampir di setiap sudut kapal. Kamar mandinya pun  selalu dibersihkan di pagi hari. Kapal kami bergerak dengan kecepatan penuh. Pagi hari datang dalam sekejap. Pengumuman melalui pengeras suara memberitahukan waktu azan Subuh pada 04.51, dua puluh menit lebih awal. 

Lepas menunaikan ibadah di surau kapal yang terletak di dek  enam bagian belakang, kami lalu menghabiskan waktu menyambut sinar matahari pagi yang perlahan memakan habis gelap langit malam.

Pemeriksaan tiket berlangsung dua kali selama perjalanan. Pada pemeriksaan tiket pertama, petugas berbaju hitam meminta saya untuk pindah ke dek lima, dua lantai di atas. Dek tersebut baru dibuka, sebab penumpang yang akan naik dengan tujuan Bima-Makassar konon nyaris mencapai 1000 orang. Kami berpamitan dengan Abizar, anak 14 bulan, yang menjadi teman menghabiskan waktu di dek, juga Pak Hismar, pria akhir 30-an yang berbincang dengan saya di ruang tunggu pelabuhan Makassar.

Fenomena Sampah dari Kapal Laut

Pelabuhan Bima/Nawa Jamil

Kapal bersandar tepat pukul 12.00 di Pelabuhan Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya memutuskan untuk keluar melihat suasana pelabuhan Bima dan mendapati tumpukan sampah yang terbungkus rapi dalam kantongan berwarna kuning besar. Kantongan-kantongan tersebut lalu dilempar keluar, tepat mengenai bak mobil terbuka yang telah bersiap di bawah. Saya tidak menyangka bahwa pelayaran Makassar-Bima tersebut menghasilkan belasan kantong sampah sebesar itu. 

Mobil kap terbuka pengangkut sampah/Nawa Jamil

Dalam satu perkuliahan dengan materi maritime security yang ditinjau dalam aspek polusi laut, saya mengingat bahwa sampah kapal menjadi salah satu penyumbang sampah laut di Indonesia. Pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal telah diatur dalam beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, serta kebijakan presiden Joko Widodo  yang dituangkan dalam Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

Potret sampah/Nawa Jamil

Laporan dari VOA Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia terbebani setengah juta ton sampah di laut per tahun. Hasil perhitungan sementara dari Tim Koordinasi Sekretariat Nasional Penanganan Sampah Laut, total sampah yang masuk ke laut pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 521.540 ton, sekitar 12.785 ton berasal dari aktivitas di laut. Hal ini diperkirakan berdasarkan perhitungan data kebocoran sampah dari aktivitas di laut yang dihitung melalui pendekatan jumlah trip kapal penumpang dan kapal perikanan. 

Penalaran tidak berhenti pada penyediaan tempat sampah di banyak titik kapal, atau sampah-sampah yang dibersihkan dengan baik dan dibuang ke luar kapal, ke dalam mobil bak terbuka. Pertanyaan selanjutnya adalah, kemana sampah-sampah itu dibawa, bagaimana pengelolaan sampah tersebut, serta bagaimana dampak sampah tersebut terhadap generasi kita selanjutnya? 

***

Tampilan Deck 3/Nawa Jamil

Kapal bersandar mendekati pukul 23.00 WITA di pelabuhan Labuan Bajo. Kami turun dengan perasaan lega. Makassar-Labuan Bajo merupakan pelayaran terpanjang pertama yang saya lalui. Dengan semua tungau kasur, hewan-hewan kecil lincah yang bersembunyi di balik besi-besi ranjang, serta makanan dingin dengan sayur layu; kapal laut, sejak dulu dan sampai sekarang tetap menjadi moda transportasi utama.

Saat harga tiket pesawat mengalami kenaikan ekstrim di musim liburan seperti sekarang, harga tiket kapal laut tetap stabil. Naik kapal selama sehari semalam memberikan banyak kenalan baru, percakapan basa-basi yang menyenangkan, juga jeda dari kebiasaan kota yang serba terburu-buru. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar