Sejak abad ke-15 kita sudah mengenal pluralisme, alami, dan semua itu tidak perlu konsensus khusus seperti sekarang ini.
Apa yang istimewa dari kebudayaan Jawa? Kalau saja pertanyaan itu boleh diutarakan mungkin salah satu jawabannya adalah kemampuan beradaptasi terhadap budaya-budaya lain tanpa meninggalkan keasliannya. Sebelum mengenal budaya “impor”, Jawa sendiri sudah mengenal teori religiositas dalam kerajaan serta masyarakatnya. Sebelum era Hindu dan Buddha, Jawa sudah mengenal konsep “raja adalah Dewa” atau “raja titising Dewa”. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia-akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, serta istana. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.
Setelah era animisme dan dinamisme dalam kerajaan masuklah budaya Hindu dengan filosofi trimurti dan Buddha dari catatan perjalanan Siddharta Gautama. Era Hindhu-Buddha berlanjut ke kebudayaan Abrahamik, yaitu Nasrani dan Islam. Ternyata masuknya budaya-budaya lain ke Jawa itu tidak menghilangkan kebudayaan asli Jawa. Fakta sejarah membuktikan bahwa kebudayaan Jawa mampu menerima, membaur, dan berkolaborasi dengan pengaruh Hinduisme dan Buddhisme serta Islam.
Di Jawa, masuknya Islam dipelopori oleh Maulana Maghribi atau biasa kita kenal dengan Maulana Malik Ibrahim pada abad ke-7. Beliau menyebarkan Islam tidak hanya sendirian, melainkan bersama-sama dengan yang lain atau biasa disebut dengan Wali Songo. Tidak hanya melalui perdagangan, Islam masuk ke Jawa melalui dimensi lain seperti perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Peranan Wali Songo dalam perjalanan Islam di Jawa sangatlah besar. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan fondasi yang kuat di mana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Wali-wali tersebut menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah satu di antaranya adalah yang kita kenal dengan Ja’far Shodiq atau Kanjeng Sunan Kudus.
Sunan Kudus tak lain tak bukan adalah menantu Kanjeng Sunan Bonang. Ia dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadis, dan ilmu fikih. Karenanya, di antara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai “Waliyil Ilmi”. Cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih banyak yang memeluk agama Hindu-Buddha. Salah satu “warisan” Sunan Kudus di Jawa adalah Masjid Kudus, kadang biasa disebut Masjid Menara Kudus. Masjid ini adalah bangunan bersejarah yang terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Masjid Menara Kudus terlihat berbeda dari masjid pada umumnya. Yang paling mencolok tentu saja adalah bangunan menara yang berdiri menjulang di sebelah tenggara. Menara berkonstruksi susunan bata merah itu bentuknya menyerupai bangunan candi khas Jawa Timur. Bahkan ada yang menyebut menara itu mirip dengan bale kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali. Di bawah bangunan menara setinggi 18 meter itu terdapat sebuah sumber air. Konon sumber air itu diberi nama Banyu Panguripan atau air kehidupan. Mitos yang berkembang turun-temurun adalah seseorang bisa awet muda jika mengonsumsi air itu. Bahkan, mahluk hidup yang telah mati apabila diceburkan ke dalam mata air tersebut bisa hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara oleh Sunan Kudus.
Menara Kudus tingginya kira-kira 17 meter, bangunannya menghadap ke barat sesuai dengan arah kiblat umat Islam. Di dalam menara ada tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Menara Kudus itu terdiri dari tiga bagian yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan. Konsep ini sangat lekat dengan kebudayaan Hindu. Batu bata yang digunakan sebagai material menara dipasang tanpa menggunakan semen sebagai perekat, cara yang lazim dilakukan masyarakat Jawa pada masa itu. Selain itu, kebudayaan asli Jawa juga ditunjukkan dengan penggunaan empat soko guru. Konsep soko guru ini mungkin sudah lama kita kenal dalam bentuk bangunan lain di Jawa seperti rumah joglo.
Bangunan masjid ini juga tidak kalah bersejarah, meskipun pernah dipugar tahun 1918. Konon batu fondasi masjid ini berasal dari Baitulmakdis (al-Quds) di Yerussalem-Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan Masjid Kudus dan kotanya dinamakan Kudus. Selain masjid, di kawasan ini ada kompleks makam Kanjeng Sunan Kudus dan keluarganya.
Uniknya adalah semua pintu penghubung/gapura antarblok berbentuk candi. Jika diperhatikan dengan saksama, bentuk gapura ini mirip sekali dengan candi-candi peninggalan kerajaan Hindu. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang disusun berjenjang. Ada yang menjorok ke dalam, ada pula yang ke luar seperti layaknya bangunan candi. Panorama yang tampak adalah kompleks pemakaman Islam, bercorak Hindu, dengan teknik konstruksi kebudayaan Jawa. Namun, selain corak Hindu, rupanya kompleks Masjid Kudus juga punya nuansa budaya Buddha, salah satunya adalah delapan pancuran untuk wudu. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran itu konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni “Delapan Jalan Kebenaran” atau Asta Sanghika Marga. Secara simbolis ini adalah bentuk penghormatan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di daerah utara Jawa.
Sunan Kudus juga mengedepankan toleransi dalam penyebaran agama Islam. Salah satu contohnya, Sunan Kudus tak pernah menyembelih sapi, sebab itu dianggap akan melukai hati pemeluk Hindu yang masih merupakan agama mayoritas penduduk Kudus kala itu. Sebagai gantinya Sunan Kudus menyembelih kerbau. Wujud toleransi itu menjelma akulturasi dan sampai saat ini masih bisa kita nikmati dalam wujud salah satu makanan khas di kota Kudus yaitu soto daging kerbau. Cerita lain yang berkembang menyebutkan bahwa masyarakat Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena dahulu ketika beliau haus pernah ditolong oleh seorang pendeta Hindu yang memberinya air susu sapi. Maka, sebagai rasa terima kasih, masyarakat di Kudus dilarang menyembelih sapi.
Cerita di atas hanya beberapa ilustrasi bahwa kebudayaan Jawa secara akulturatif mampu menyerap kebudayaan lain seperti Hindu, Buddha, bahkan Islam. Nilai toleransi yang terkandung dalam bangunan fisik maupun non-fisik di komplek masjid ini setidaknya mampu menjaga keharmonisan hidup beragama sampai sekarang. Sebagai seorang wali yang ahli dalam ilmu fikih, tentu saja Sunan Kudus memahami konsep ”peminjaman bentuk budaya”, sehingga Islam bisa membumi di ”wilayah kultural” masyarakat setempat. Sunan Kudus mampu menarik benang merah antara Islam dengan kearifan lokal, maka beliau akhirnya mampu mempertemukan makna Islam dengan makna kearifan lokal.
Menara Kudus dan strategi dakwah kultural Sunan Kudus bisa ditampilkan lagi di Indonesia, sebagai fakta historis Islam Nusantara, yang memuat kearifan hidup yang begitu luhur. Di dalamnya terdapat kesadaran budaya Islam dalam kerangka budaya Hindu-Buddha-Jawa, yang menempatkan Islam tidak semata sebagai cita-cita kenegaraan, melainkan cita-cita kebudayaan yang hidup secara selaras dengan nafas kebijaksanaan masyarakat setempat.
Ilustrator, desainer grafis, “logo maker”, fotografer makanan dan esai amatir yang berbasis di Yogyakarta.