Sering mendengar cerita dari beberapa teman pendaki, selalu takjub melihat foto pemandangan atas awan, bucket list saya jadi gemuk.
Sebenarnya, beberapa kali saya berencana untuk menyaksikan sunrise secara langsung dari tempat yang tinggi, entah di bukit atau di gunung. Namun, sering kali pula hanya berakhir dalam angan-angan karena kurangnya persiapan atau tidak ada teman.
Gayung bersambut. Menjelang liburan Imlek kemarin saya diajak teman untuk melihat sunrise di Dataran Tinggi Dieng. Tepatnya di Puncak Sikunir. Tawaran mendadak ini tentu menggiurkan bagi saya, meskipun kami bertiga sama-sama belum pernah menginjakkan kaki di Dieng.
Berbekal informasi dari mesin pencarian di internet, kami berangkat dengan persiapan seadanya, baik dari fisik maupun kelengkapan untuk menginap dan mendaki. Saking senangnya membayangkan akan melihat pemandangan dari atas awan, saya sampai tidak bisa tidur.
Keesokan harinya, dengan mengandalkan peta digital kami naik mobil meninggalkan Jogja. Tengah hari kami meninggalkan kota Jogja dan menjelang sore kami tiba di Wonosobo. Saya suka suasana kota ini. Cukup ramai tapi tidak bising. Udaranya sejuk dan ada beberapa bangunan lama yang masih berdiri kokoh di tengah kota. Rasanya nyaman. Entah kenapa Wonosobo mengingatkan saya pada Kota Malang, tapi minus kemacetan dan keriuhannya.
Mencoba mie ongklok Bu Umi di Wonosobo
Hal pertama yang kami lakukan ketika sampai di Wonosobo adalah mencicipi kuliner khasnya yang legendaris, mie ongklok. Berdasarkan rekomendasi seorang teman, kami mampir di Warung Mie Ongklok dan Sate Bu Umi. Letaknya persis di sebelah Masjid Al-Manshur, di sekitar Alun-Alun Wonosobo. Katanya, ini adalah salah satu warung mie ongklok yang cukup terkenal. Saya sangat antusias meskipun belum pernah melihat wujud mie ongklok.
Di warung Bu Umi, ada dua menu yang tersedia yaitu mie ongklok dan sate. Kami bertiga kompak memesan mie ongklok karena sate sudah biasa kami makan. Namun ibu penjual—entah itu Bu Umi atau bukan—berkata lain. Menurutnya mie ongklok tidak lengkap jika dimakan tanpa sate. Sate ibarat pasangan mie ongklok.
Kami pun menyerah dan memesan sate demi mendapatkan citarasa paripurna dari semangkok mie ongklok. Ada tiga jenis sate yang tersedia—sate ayam, kambing dan sapi. Saya memesan sate sapi, kedua teman saya memesan sate ayam.
Ketika pesanan datang, saya agak kacewa karena porsi mie ongklok lebih kecil dari mangkuk bergambar ayam jago. Bayangan saya, mie ongklok akan disajikan dalam piring layaknya bakmi goreng Jogja. Saya salah.
Porsi sedikit tapi mengenyangkan
Satu porsi sate berisi sepuluh tusuk dengan potongan daging ukuran sedang. Rasa kecewa saya langsung terobati begitu mencium aroma khas mie ongklok, mie kuning pipih dicampur irisan kubis rebus serta potongan daun kucai mentah, disiram dengan kuah kacang dan kuah kental rasa udang. Di atasnya ditaburi bawang goreng dan, jika suka, tersedia potongan cabe rawit dan bawang merah untuk memeriahkan rasa.
Saya kira mie ongklok akan terasa mbleneg karena kuahnya kental. Ternyata setelah diaduk kuah kental tersebut berubah menjadi agak cair. Rasa dan aromanya unik, gurih dan manis; cita rasa mie yang belum pernah saya cicipi sebelumnya. Sate sapi yang saya pesan bumbunya seperti sate pada umumnya namun ditambah siraman kuah kental seperti pada mie ongklok. Nah, keunikan rasa mie ongklok ini akan bertambah nikmat jika dipadukan dengan kuah sate.
Bagi kami, satu porsi sate ternyata terlalu banyak. Jadi, sebaiknya satu porsi sate dimakan ramai-ramai untuk dua sampai tiga porsi mie ongklok—kecuali kamu tidak suka rasa mie ongklok dan hanya ingin menikmati satenya saja. Sejujurnya saya dapat menikmati keunikan rasa mie ongklok tanpa bantuan daging sate yang empuk, meskipun saya masih menambahkan bumbu sate. Meski begitu, keduanya punya keunikan rasa yang layak untuk dicicipi secara terpisah, atau disantap bersamaan. Dan ternyata satu mangkok kecil mie ongklok sudah mengenyangkan perut saya.
Pohon carica sepanjang jalan
Setelah menandaskan mie ongklok dan sate, kami terus ke Dieng. Kami tak tahu persis letak Puncak Sikunir. Jadi kami hanya mengarahkan mobil menuju penginapan yang kami temukan di internet, yang katanya dekat Sikunir. Di tengah perjalanan, kami dibelokkan oleh semacam pintu gerbang masuk Dieng.
Sebenarnya gerbang tersebut lebih menyerupai terminal kecil yang lengang. Penjaganya pun tak kelihatan sehingga kami sempat bingung apakah harus membayar atau tidak. Setelah agak lama menunggu, seorang petugas memberikan karcis, Rp 10.000/orang. Petugas itu menanyakan tujuan kami sambil memberikan selebaran penginapan milik seorang temannya. Kami hanya mengiyakan dan bertanya mengenai lokasi Sikunir. Petugas tersebut menyarankan untuk terus lanjut ke atas mengkuti jalan raya.
Semakin ke atas, pemandangan semakin hijau. Udara semakin sejuk. Hamparan tebing, bukit hijau berselimut kabut, dan deretan rumah di lerengnya sangat memanjakan mata. Tenang. Tanaman khas perkebunan kaki gunung seperti wortel, kubis, dan sawi pun tidak jauh berbeda dengan daerah asal saya—Magetan, kota kecil di kaki Gunung Lawu. Namun, tetap saja saya merasa takjub tiap kali melihat pemandangan hijau dan kabut.
Ada satu hal yang membuat saya penasaran. Di sepanjang jalan, banyak sekali tumbuh tanaman sejenis pepaya tapi lebih kecil. Awalnya saya kira itu adalah pepaya jenis california yang setahu saya memang tumbuh tidak terlalu tinggi. Semakin ke atas semakin terlihat jelas bahwa batangnya lebih kecil dan banyak cabang. Buah-buah yang bergelantungan di batangnya pun—meskipun sudah terlihat kekuningan—juga terlampau kecil untuk buah pepaya.
Melewati beberapa toko oleh-oleh, barulah saya tercerahkan. Pohon-pohon itu adalah carica yang ternyata masih satu kerabat dengan pepaya. Ia dapat tumbuh dengan baik pada dataran tinggi yang basah di ketinggian 1500-3000 meter di atas permukaan laut. Makanya carica bisa tumbuh baik di Dataran Tinggi Dieng, bahkan jadi oleh-oleh khas wilayah itu.
Tiba di desa tertinggi di Pulau Jawa
Kami terus menyusuri jalan besar sampai akhirnya masuk ke jalan yang lebih kecil. Dari situ kami melewati beberapa tempat wisata, seperti Telaga Warna, Dieng Plateau Theater, dan Kawah Sikidang. Sampai akhirnya kami sampai di gerbang Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa.
Sampai sini kami juga tidak tahu harus menuju ke mana. Kami putuskan untuk bertanya pada warga sekitar arah menuju Puncak Sikunir. Ternyata tinggal lurus mengikuti jalan yang semakin menyempit dengan aspal yang entah mulai rusak atau memang belum diaspal.
Sekali lagi kami disambut perkebunan sayuran dan pohon carica di sepanjang jalan. Tak berapa lama kami sudah masuk kawasan permukiman yang cukup padat dan ramai. Di situ ternyata guest house terdekat sebelum menuju ke Puncak Sikunir berada.
Di sebelah kanan pemukiman ini, terlihat Telaga Cebong yang indah. Namun, bukannya mencari penginapan, kami lebih memilih untuk melihat-lihat sekitar lokasi dan memastikan letak titik pemberangatan ke Puncak Sikunir. Sebenarnya seorang teman saya—yang sudah membawa alat pancing dari Jogja—juga lebih tertarik untuk mencoba memancing di Telaga Cebong. Baiklah.
Mendadak “camping”
Jalan menuju Telaga Cebong ini mirip jalan setapak yang pasti akan membuat dua mobil yang berpapasan kerepotan. Untungnya waktu itu jalanan cukup sepi. Hanya beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk sekitar yang bersepeda motor.
Tidak lama, kami sudah sampai di parkiran lengang yang dikelilingi oleh beberapa warung. Turun dari mobil sekitar pukul lima sore, udara sudah terasa dingin. Ternyata sisi Telaga Cebong di belakang lokasi parkir ini adalah camping ground bagi para pemburu sunrise Sikunir.
Di tepi telaga sudah banyak tenda yang berdiri, tapi suasana sekitar cenderung lengang, tidak banyak orang. Hanya ada sepasang muda mudi dan dua keluarga yang sedang sibuk mendirikan tenda serta tiga orang yang sedang memancing.
Mempertimbangkan jalan kecil yang telah kami lalui sebelumnya dan rasa enggan jika harus kembali mencari penginapan, kami memutuskan untuk camping di pinggir Telaga Cebong sambil memancing. Warung di salah satu sudut parkiran menyediakan perlengkapan camping yang cukup lengkap. Karena tidak mempersiapkan apa pun untuk camping, kami menyewa tenda, sleeping bag, dan juga selimut besar yang tebal. Kami juga mendapatkan seikat kayu bakar dan selembar kardus untuk membuat api unggun. Menyenangkan juga karena saya sudah lama tidak camping dan menyalakan api unggun.
Ibu pemilik warung membantu kami mendirikan tenda karena langit sudah mulai gelap. Ia takut hujan deras turun seperti hari-hari sebelumnya. Namun ia meyakinkan kami jika tendanya aman. Menjelang magrib, tenda kami sudah berdiri kokoh. Mobil kami parkir tepat di sebelah tenda. Kabut pun mulai turun. Kami bergegas menata tenda dan mempersiapkan api unggun untuk menghangatkan badan.
Apa mau dikata, baru beberapa menit kami menikmati hasil jerih payah menyalakan api unggun, hujan mulai turun. Teman saya juga mengemasi peralatan pancingnya. Selesai sudah acara memancing dan api unggun kami malam itu. Lebih baik kami bersiap tidur untuk mempersiapkan pendakian besok pagi.
Pendakian menuju Puncak Sikunir
Jam empat pagi alarm berbunyi. Kami bersiap untuk mendaki ke Puncak Sikunir. Badan saya sudah mulai beradaptasi dengan udara Dieng setelah tengah malam sempat terbangun karena kedinginan.
Di luar tenda terdengar riuh orang mengobrol. Ternyata calon pendaki Sikunir sudah ramai. Tempat parkir yang semalam masih lengang pun pagi ini penuh sesak oleh kendaraan. Ada untungnya juga kami memilih camping di pinggir Telaga Cebong, jadi tidak perlu bangun lebih pagi, melewati jalan yang sempit, dan kerepotan mencari tempat parkir.
Pukul setengah lima semua orang memulai pendakian. Suasana sangat ramai dan padat namun semuanya masih rapi dan tidak berebut jalan. Awalnya, kami disambut jalan ber-paving dengan penerangan warung di kanan kiri menjajakan gorengan. Di penghujung jalan, perjuangan menuju Puncak Sikunir pun dimulai. Tidak ada lagi penerangan, kami harus mengandalkan headlamp, senter, maupun lampu ponsel.
Jalan yang menanjak sudah dibuat menjadi anak-anak tangga. Beberapa dilapisi dengan batu, sedang sisanya masih berupa tanah. Hujan yang mengguyur semalaman membuat jalan menjadi licin. Beberapa kali saya hampir terpeleset. Untungnya, di beberapa titik terdapat pegangan dari tali, bambu, dan kayu yang sedikit membantu.
Sayangnya, di banyak bagian pegangan tersebut sudah goyah atau patah. Agak berbahaya juga jika terlalu menumpukan beban pada pegangan itu. Setelah tiga puluh menit terengah-engah dan sempat ditarik teman karena kelelahan, saya sampai juga di Puncak Sikunir. Saya benar-benar harus lebih sering berolahraga!
Akhirnya melihat “sunrise” di “negeri di awan”
Di Puncak Sikunir, semburat merah matahari mulai menampakkan diri. Sayangnya, pos terbaik untuk melihat sunrise sudah penuh sesak. Kami mencari tempat lain agar lebih leluasa untuk menyaksikan sang surya daripada hanya melihat kerumunan kepala manusia. Agak sedikit turun di sebelahnya, kami menemukan tempat yang cukup lengang. Di depan saya terlihat Gunung Sindoro yang kokoh berdiri berselimut awan, dan gunung Sumbing yang ndelik di belakangnya.
Pandangan saya masih tertuju pada langit yang dihiasi awan bersemu merah di kejauhan, serta kelip lampu di bawah. Ketika semburat merah semakin ramai menghiasi langit, perlahan bulatan kuning telur matahari muncul sempurna. Momen yang cepat namun magis. Rumah-rumah di lereng gunung dan bukit-bukit hijau yang diselimuti kabut mulai terlihat. Seorang pendaki di sebelah saya berkata jika kemarin awannya lebih bagus daripada hari ini. Ia sudah dua hari camping di Telaga Cebong untuk berburu foto sunrise di Sikunir. Saya hanya mengiyakan dan menjawab jika ini sudah lebih dari cukup. Mungkin karena momen seperti ini langka bagi saya.
Saya termenung beberapa saat, bersyukur dapat menikmati keindahan negeri di atas awan. Sungguh perjuangan manis bagi saya yang jarang berolahraga dan belum pernah naik gunung. Lain kali sebelum mendaki saya harus mempersiapkan diri dengan lebih baik.
Kentang mini manis
Setelah mengambil beberapa foto sebagai kenangan, kami pun kembali ke perkemahan. Perjalanan turun ternyata tidak lebih mudah daripada mendaki. Apalagi jalanan masih terasa licin oleh sisa air hujan. Kaki harus bekerja lebih keras untuk menahan badan agar tidak terpeleset. Karena sudah terang, jalanan berundak ini terlihat jelas. Anak tangganya ternyata cukup curam dan tinggi. Untungnya, perjalanan turun terasa lebih cepat dan saya bisa bebas menikmati pemandangan sekitar yang subuh tadi belum terlihat.
Di beberapa persimpangan, kami disambut pemain akustik yang mendendangkan lagu dua penyanyi dangdut yang sedang naik daun, Via Vallen dan Nella Kharisma. Lagunya yang familiar cukup menghibur pendaki yang sedang turun maupun yang baru naik Sikunir.
Kami pun sampai di jalan ber-paving tadi. Warung-warung sudah ramai dikerubuti pendaki yang mulai kelaparan. Saya tertarik dengan salah satu olahan kentang mini yang ditawarkan. Kentang mini itu dimasak dalam wajan besar dengan kuah berwarna hitam. Kata teman saya, warna hitam itu bukan berasal dari bumbu, melainkan sisa tanah dari kentang yang tidak dicuci. Tentu saja ia bercanda.
Saya tidak bisa mendeskripsikan rasa manis tersebut berasal dari gula merah atau campuran bumbu lain. Penjual yang saya tanya juga hanya tersenyum dan mengatakan jika bumbunya macam-macam rempah. Hmm.. Saya curiga jangan-jangan campuran tanah itu benar adanya.
Meski begitu saya sungguh tidak peduli karena rasanya enak dan cukup mengenyangkan perut yang sudah mulai kelaparan. Kami pun memilih salah satu warung yang terbuka. Duduk menikmati kentang manis, tempe kemul, pisang goreng, dan teh hangat sambil memandangi Telaga Cebong dari atas bersama teman-teman—ah, saya tidak ingin pulang!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Sering nyasar, suka penasaran, pemegang Kartu Langganan PO Sumber Kencono.