Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Mandar, salah satu suku bangsa di Nusantara yang budayanya berorientasi laut di antara suku bangsa maritim lainnya, seperti Makassar, Bugis, Bajau, Madura, dan Buton. Melalui buku Orang Mandar Orang Laut (KPG, 2005), Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut keulungan bahari suku Mandar bisa ditemukan pada bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan seperlunya untuk mengatasi tantangan alam yang terbentang di depan mereka.

Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut bahwa laut “dalam” adalah pembeda antara Mandar dan lima suku bangsa bahari lainnya di Indonesia. Menurutnya, jika kita meneliti peta kedalaman laut Indonesia, Mandar adalah satu-satunya suku bahari yang langsung dihadapkan ke laut dalam terbuka tanpa gugusan pulau. Setidaknya, kedalaman itu mencapai 100-2000 meter di bawah permukaan laut.

“Jika boleh dikata sifat kebaharian suku Mandar bukan muncul dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik, militer, atau ekonomi, melainkan lewat cara yang bersahaja namun konkret, yakni menghadapi tantangan alam dengan mengembangkan teknologi untuk mengatasinya,” tulis Muhammad Ridwan Alimuddin.

Salah satu teknologi perikanan yang menjadi warisan budaya Mandar adalah perahu sandeq. Perahu yang menurut antropolog maritim, Horst Liebner, sebagai puncak revolusi perahu bercadik khas Austronesia. Dahulu, perahu sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang sampai Selat Malaka, Laut Sulu, Papua, dan Pulau Jawa.

Cerita keulungan itu ternyata perlahan berubah sejak nelayan mulai mengenal motorisasi perahu. Posisi perahu sandeq yang bertenaga angin dan ramah lingkungan sebagai perahu warisan budaya mulai tergeser posisinya. Kondisi ini mendorong lahirnya upaya pelestarian sandeq, terutama mewariskan nilai budaya maritim yang terkandung di dalamnya.

Tahun 1995, bermula dari tugas Horst Liebner untuk meneliti tentang pembuatan perahu Sandeq. Setelah satu perahu yang Horst Liebner teliti selesai dibangun di Tanangan, Majene, hari itu juga langsung didorong ke laut dan mengapung-apung di depan kampung. Horst Liebner lalu bertanya pada nelayan yang baginya dianggap teman, “Sekarang kita bikin apa dengan perahu itu?” Para nelayan waktu itu justru memberi jawaban untuk dibuat lomba. Horst Liebner lalu bertanya balik ingin lomba ke mana, yang kembali dijawab dari Majene ke Makassar. Mereka pun membuat lombanya dalam rangka HUT RI Ke-50. Lomba perahu tersebut yang kini dikenal dengan nama Sandeq Race..

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Deretan perahu sandeq pangoli yang akan digunakan peserta Student on Sandeq/Abdul Masli

Student on Sandeq, Pelajaran Pemajuan Kebudayaan dari Mandar

Selasa pagi (08/08/2023), angin kencang berembus, mengingatkanku pada lirik lagu Mandar “Wattu Timur di Pamboang” gubahan Andi Syaiful Sinrang dan HM Abdullah yang dulu biasa saya dengar lewat saluran TV kabel. Hari itu, awal mula Student on Sandeq (SOS) dilaksanakan, sebuah upaya pewarisan nilai budaya di atas laut oleh para passandeq (orang yang mengemudikan perahu sandeq) kepada generasi muda.

Saya memperoleh informasi dari Nasa, seorang teman yang menjadi panitia pelaksana, saat dalam perjalanan dari Tammerodo menuju Banggae, Majene. Kuputuskan singgah di Pamboang, berjalan menyusuri lorong menuju Dapur Mandar, menyaksikan kegiatan yang menghadirkan nelayan Mandar sebagai pelaku budaya untuk mengajarkan anak sekolah tentang semesta laut. Khususnya budaya maritim dan perahu sandeq.

Saya tiba di lokasi pukul 09.30, lalu berdiri di atas tanggul pesisir Pantai Pamboang, tepat samping Dapur Mandar. Saya mengarahkan pandangan ke laut melihat enam perahu sandeq pangoli berjejer di pantai. Jenis perahu sandeq yang biasa digunakan menangkap ikan dan mencari telur ikan terbang dengan menghanyut di tengah laut. Nelayan menyebutnya motangnga. Pada dinding perahu tertulis nama masing-masing sandeq, yakni Dewa Ruci, Buah Kurma, Cari Selamat, Palippis Indah, Bintang Laut, dan Sahara.

Setengah jam menunggu, rombongan peserta telah tiba. Kulihat Ridwan, Nasa, dan beberapa panitia keluar dari Dapur Mandar menyapa para passandeq. Nasa menyerahkan kaos bertuliskan SOS dan lukisan sandeq di depannya kepada passandeq. Saya menyapa mereka, berjabat tangan, kemudian bergabung ke lokasi untuk mengikuti kegiatan pembukaan. Terlihat para panitia giat menyiapkan acara pembukaan, para siswa dari enam sekolah sibuk registrasi dan duduk bercerita di halaman depan Dapur Mandar. Tidak lama, mereka diminta untuk mengganti baju dengan seragam yang telah disiapkan. Semua berlangsung cepat.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Seorang Passandeq melintas di pantai belakang Dapur Mandar/Abdul Masli

Student on Sandeq ini adalah bagian awal dari rencana jangka panjang. Kalau dulu Sandeq Race dimulai tahun 1995 dan hari ini alhamdulillah masih berlangsung, sudah lebih 20 tahun, bahkan hampir 30 tahun. Kali ini idenya adalah semua SMA, SMK, dan MA yang sekolahnya di pesisir itu punya perahu sandeq,” ucap Muhamad Ridwan Alimuddin, penulis buku Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara terbitan Penerbit Ombak tahun 2013 dalam sambutannya.

“Ini, kan, di sekolah sudah ada [ekstrakurikuler] sepak bola, voli, takraw, pramuka; kenapa tidak ada kegiatan berlayar? Kebetulan ada juga kegiatan Merdeka Belajar, jadi bisa dikonversi ke nilai. Nah, yang akan menjadi guru-guru itu para passandeq. Jika sebelumnya sudah ada kegiatan seniman masuk sekolah—kalau tidak salah seniman itu mengajar dan ada gajinya—maka kegiatan ini serupa dengan itu, sehingga passandeq tidak akan jual sandeq-nya kalau ada program seperti itu. Terus teman-teman (siswa) juga akan belajar berlayar dan dalam event-event tertentu, misalnya Hardiknas atau 17 Agustus, itu berlomba. Namun, lombanya bukan cuman kecepatan, tapi dinilai bagaimana kolaborasi di atas perahu sandeq. Jadi, akan ada kolaborasi yang indah antara pelajar dan para passandeq. Dengan cara itu bisa memperpanjang umur perahu sandeq, dan mungkin akan bertambah,” lanjutnya.

SOS melibatkan tiga sawi untuk satu perahu yang akan mewariskan pengetahuannya kepada masing-masing lima siswa dari enam sekolah yang diundang, yakni SMK Labuang, SMK Balanipa, SMAN 1 Tinambung, SMAN 1 Majene, SMAN 2 Majene, dan SMAN 3 Majene. Keenam sekolah ini berada di pesisir Mandar. Siswa menginap di lokasi untuk mengikuti berbagai rangkaian acara, mulai dari praktik memasang layar sandeq, melayarkan perahu, tali temali, navigasi pelaut Mandar, dan sebagainya. Pengalaman berlayar itu mereka tulis menjadi sebuah warisan pengetahuan. Posisi pencatatan setiap peristiwa dipandang penting agar nanti bisa menjadi pengetahuan yang diwariskan bagi generasi selanjutnya.

“Intinya, kegiatan ini bukan melahirkan siswa untuk jadi nelayan atau passandeq—kalau ada yang mau itu malah lebih bagus—tapi bagaimana karakter ke-pelaut-an itu dimiliki oleh kita.” Muhammad Ridwan Alimuddin diam sebentar. Rasa haru nampaknya memenuhi ruang hatinya hingga menitikkan air mata. Kemudian lanjut bicara dengan suara bergetar. 

“Jadi, di passandeq itu, komunitas maritim secara umum, banyak sekali yang punya pengetahuan atau ussul kalau bagi orang Mandar, misalnya tiba sebelum berangkat, terus harus berpikir positif. Hal itu harus kita miliki juga. Paling penting adalah passandeq itu cukup inovatif, apa pun masalah di laut itu mereka bisa atasi. Nah, di kehidupan sehari-hari kita juga harus bisa seperti itu, harus berpikir positif, berkolaborasi, misalnya kalau di laut kita melihat orang mengalami kerusakan perahunya itu harus dibantu. Semangat-semangat seperti itu juga harus dimiliki oleh generasi Mandar. Jadi, kita tidak cuma bangga sebagai cucu pelaut ulung.”

Usai rangkaian acara formal pembukaan, para peserta memasuki rangkaian pertama proses belajar semesta budaya bahari Mandar. Kurang setengah jam matahari tegak lurus di atas kepala, praktik belajar dimulai dengan memasang layar perahu di pinggir pantai. Siswa yang sebelumnya telah dibagi menjadi enam kelompok sesuai jumlah sekolah yang diundang mulai praktik. Passandeq sebagai guru mereka menjelaskan, memberi contoh, lalu dipraktikkan oleh siswa. Layar berupa terpal putih dengan lukisan di tengahnya dibentangkan di pasir, pada sisi lainnya dijahit ke tiang layar menggunakan tali. Proses ini berlangsung cukup cepat, kurang lebih dua puluh menit, satu per satu layar telah terpasang pada tiang layar, yang kemudian diangkat bersama-sama untuk dipasang pada perahu.

Kusaksikan wajah siswa yang mengikuti kegiatan, beserta orang-orang yang turut menyaksikan kegiatan ini. Ada kebahagiaan, antusias, euforia, bercampur menjadi satu. Kolaborasi antara siswa dan passandeq, terjalin harmonis seperti yang telah disampaikan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dalam sambutannya.

Contoh yang Diharapkan untuk Pelestarian Kebudayaan Lainnya

Pukul 11.40 satu perahu yang lebih awal memasang layar mulai membuka layar dan berlayar di perairan yang tidak jauh dari pantai. Lima lainnya ada yang masih sibuk memasang tiang layar, bahkan ada yang masih menjahit layar ke tiangnya. Dua puluh menit berlalu, semua perahu siap berlayar. Namun, tiba-tiba salah satu perahu sandeq mengalami kerusakan. Pada jarak sekitar 50 meter dari pinggir pantai, perahu yang diikuti oleh siswa SMAN 1 Tinambung, yakni sandeq Buah Kurma, tiang layarnya patah. Mereka pun kembali dengan mendayung hingga ke pinggir pantai.

Menyikapi kasus tersebut, Muhammad Ridwan Alimuddin menyampaikan untuk belajar langsung memperbaiki perahu rusak. Kasus kerusakan perahu biasa terjadi, pengalaman ini justru bisa menjadi pengalaman berbeda bagi peserta dibanding yang lainnya. Mereka bisa belajar lebih dalam mengenai pengetahuan keperahuan.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Kondisi perahu sandeq Buah Kurma yang tiang layarnya patah/Abdul Masli

Student on Sandeq serupa perahu yang mengarungi gelombang perubahan zaman. Ia wujud nyata dari inisiatif baik dan keteguhan masyarakat yang orientasi budayanya maritim. Ia menjadi penanda upaya pemajuan kebudayaan yang berpijak pada keseharian masyarakat untuk mencapai kemandirian. Masyarakat pemilik dan penggerak kebudayaan, maka sejatinya mereka tidak dilepaskan dari perkembangan kebudayaannya.

Perkembangan kebudayaan sepatutnya tidak dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menempatkan masyarakat sebagai pemilik dan penggerak kebudayaan nasional. Masyarakat sebagai pelaku aktif kebudayaan, dari tingkat komunitas sampai industri. Mereka pihak yang paling akrab dan paling paham tentang kebutuhan dan tantangan untuk memajukan ekosistem kebudayaan.

Student on Sandeq menjadi contoh praktik baik dari realisasi strategi kebudayaan berupa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sumber daya kebudayaan yang tidak lepas dari konteks warganya. Nelayan sebagai pelaku dan pemilik pengetahuan mewariskan nilai budaya, peneliti atau pemerhati kebudayaan hadir sebagai fasilitator yang menjembatani nelayan, pemerintah, dan generasi muda. Sementara itu, pemerintah hadir memfasilitasi pelaksanaan kegiatan dengan memberikan dukungan materiel dan jaminan keberlanjutan program. Generasi muda yang terlibat mengikuti kegiatan belajar dan merefleksikannya untuk diambil pembelajaran dan nilai-nilai budaya di dalamnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar