Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang didalamnya dihuni oleh berbagai satwa dan flora endemik baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Alasan inilah yang membuat kami berempat datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat penghuni tersebut secara langsung dari dekat.
Dari semua Taman Nasional atau Kawasan Konservasi yang ada di Sumatra, kami memilih berkunjung ke Bukit Lawang yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Medan.
Di Bukit Lawang ini pengunjung bisa melihat satwa dilindungi seperti orang utan, owa, atau jenis primata lainnya dengan mudah. Sedangkan menurut informasi yang kami dapatkan, tempat ini juga memiliki lingkungan yang benar-benar masih terjaga. Bahkan, sungai yang mengalir di dekatnya sangat jernih dan bebas sampah.
Untuk tempat menginap, kami memesan salah satu penginapan yang terkenal di dekat situ yaitu Ecolodge Bukit Lawang.
Jika belum tahu apa itu ecolodge, ecolodge adalah penginapan yang berwawasan lingkungan. Dalam pembangunan dan praktek setiap harinya selalu menerapkan perilaku yang ramah lingkungan. Mulai dari pengolahan sampah secara terpisah, mendaur ulang, serta memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk kompos.
Makanan yang mereka buat juga tidak mengandung MSG, pengawet, zat adiktif, minyak kelapa sawit, dan margarin. Jadi untuk bahan makanan benar-benar diambil dari kebun mereka dan dari produksi pertanian warga setempat untuk mengurangi biaya lingkungan dari jarak transportasi yang jauh.
Begitu juga pada air limbah yang dihasilkan dari kamar mandi, laundry, dan parit yang disaring terlebih dahulu kemudian disalurkan ke kolam penampungan khusus. Nantinya di kolam tersebut akan diisi dengan pasir dan kerikil serta ditanami jenis tanaman yang dapat mendaur ulang limbah tersebut.
Tak heran jika banyak pengunjung yang datang berasal dari mancanegara.
Memulai Perjalanan Jakarta – Bukit Lawang
Ketika tanggal sudah disepakati dan tiket pesawat sudah dibeli maka kami berempat berangkat menuju Kota Medan. Kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Kualanamu pada jam 7 pagi, estimasi penerbangan sekitar 2 jam untuk sampai di bandara tujuan.
Agar lebih mudah sampai di Ecolodge Bukit Lawang, kami janjian dengan pihak sewa mobil untuk mengantarkan dan menjemput sesuai tanggal yang telah kami tentukan.
Dari Kota Medan ke Bukit Lawang, jaraknya sekitar 3 jam perjalanan jika tidak ada halangan. Pemandangan selama perjalanan hanya didominasi oleh perkebunan sawit, perbukitan, dan sawah hijau yang membentang.
Di dalam hati agak miris juga kalau habitat satwa-satwa ini sudah berganti menjadi area perkebunan sawit. Bayangkan saja jika satwa-satwa ini sampai masuk ke perkebunan, pasti ditembak mati karena dianggap sebagai hama.
Sesampainya di lokasi, kami langsung check-in lebih awal dan segera membereskan barang bawaan kami. Setidaknya untuk 3 hari 2 malam kami tinggal di Ecolodge Bukit Lawang ini.
Suasana sekitar yang damai, tenang, serta rindangnya pepohonan membuat hati terasa damai. Bahkan tak perlu waktu lama berberes, saya langsung berkeliling di lokasi ecolodge ini untuk menikmati keindahan lingkungan sekitar.
Baik pengelola maupun masyarakat setempat sangat asyik dan ramah-ramah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kunjungan wisatawan, jadi mereka pun sangat senang jika banyak orang yang datang.
Ecolodge Bukit Lawang memiliki pondok-pondok sebagai tempat menginap tamu seperti Siamang Lodge, Hornbill Lodge, Orangutan Lodge, Thomas Leaf Monkey Lodge, dan Butterfly Lodge. Sedangkan yang kami tempati adalah Siamang Lodge dengan biaya sekitar 400 ribuan per malam.
Sedangkan fasilitas yang tersedia di dalam kamar seperti kipas angin, toiletries, tempat santai, dan shower.
Lokasi ecolodge ini memang berada di samping sungai sehingga suara gemericik bisa terdengar hingga ke dalam penginapannya. Rasanya sungguh menenangkan dan membuat pikiran menjadi damai.
Berbaur dengan Masyarakat Sekitar
Kegiatan kami pada siang hari menuju sore adalah berkunjung ke desa sekitar menggunakan sepeda.
Biayanya sekitar 25 Euro bagi turis asing, tapi karena kami memesan beberapa tour di kemudian hari maka bisa mendapatkan harga diskon menjadi Rp100.000,- per orangnya.
Kami beranjak menyusuri area persawahan kemudian masuk ke gang-gang rumah warga.
Terlihat ada warga yang berprofesi sebagai pengrajin tempe, ada juga yang membuat gula merah, namun kebanyakan berprofesi sebagai petani.
Area pertanian sekitar milik warga merupakan permakultur secara organik tanpa menggunakan pestisida atau bahan kimia lain. Ditambah lagi, di beberapa tempat dibangun unit pengolahan sampah organik dan pengolahan biogas dari kotoran ternak untuk keperluan warga.
Jika belum pernah melihat teknologi sederhana seperti ini tentu akan sangat terkagum-kagum seperti kami saat ini.
Tour sepeda berakhir di sebuah warung kecil yang menyediakan snack dan kelapa muda segar. Sebagai penutupnya, guide memberikan kami souvenir berupa gantungan kunci untuk dibawa pulang.
Sampai di penginapan, kami mandi dan langsung menuju ke Restoran Kapal Bambu yang memiliki desain modern dengan material utamanya adalah bambu.
Bambu dipilih sebagai bahan utama karena lebih sustainable karena dapat tumbuh dengan cepat dalam kurun waktu yang singkat.
Selain itu celah-celah yang ada di sekitar bambu memudahkan angin berhembus hingga ke setiap sudut ruangannya.
Hawanya sangat sejuk dan dingin walau tidak menggunakan kipas angin atau AC.
Menu lokal tersaji malam ini untuk mengenyangkan perut kami. Ada sambal goreng, nasi goreng, aneka sayur, dan ikan goreng menemani malam kali yang semakin menyenangkan.
Tour Bukit Lawang untuk Melihat Primata dari Dekat
Pada pagi harinya tepat pukul 8 pagi kami beranjak untuk melanjutkan tour ke dalam hutan Bukit Lawang. Tidak hanya dari rombongan kami saja yang datang, namun juga ada beberapa rombongan lain yang ikut bergabung.
Ternyata dari masing-masing rombongan mendapatkan tour guide dan jalur yang berbeda. Sempat mengira jika tour kali ini beramai-ramai bersama rombongan lain sehingga tidak terlalu seru.
Sebelum memulai tur, guide menerangkan bahwa kami akan masuk ke area Taman Nasional sehingga tidak diperbolehkan untuk memberi makan atau menyentuh satwa yang ditemui. Ditambah lagi tidak boleh memetik atau mengambil apapun selama tur berlangsung.
Perjalanan dimulai pukul 9 pagi dengan estimasi sekitar 3 jam perjalanan naik turun bukit. Sesekali kami diminta untuk berhenti untuk diberi informasi seputar fauna dan flora sekitar.
Begitu menariknya sampai kami pun tidak merasa lelah mengingat sudah berjalan sejauh 2 jam.
Kami juga baru pertama kali masuk ke dalam hutan lebat dengan pepohonan yang besar dan rindang, sebelumnya hanya di tempat wisata yang punya banyak pepohonan saja.
Setelah beristirahat dan menyantap snack yang diberikan oleh tour guidenya, kami melanjutkan perjalanan selama 2 jam untuk mengamati lebih dekat habitat asli dari primata di sekitar Bukit Lawang.
Nampak dari kejauhan terlihat kera Thomas atau Thomas Monkey Leaf yang bergelantungan menyantap buah-buahan. Sesekali kami juga melihat orang utan yang berada di dahan pohon yang sangat besar.
Sampai akhirnya kami sampai di sebuah sungai yang tidak terlalu dalam namun sangat bersih. Bermain air sepuasnya seperti kami kembali ke masa kecil.
Andai saja sungai-sungai dengan air yang jernih dan bersih ada di kota besar, tentu warga kota juga bisa merasakan keseruan yang sama setiap hari.
Setidaknya, kami sudah menghabiskan 6 jam untuk ikut tur kali ini.
Ketika beristirahat di penginapan, rasa pegal dan capek baru terasa. Walau begitu suasana hati dan pikiran menjadi lebih fresh dengan pengalaman baru seperti ini.
Kami rasa 3 hari 2 malam di sini masih kurang karena ada banyak tempat yang ingin kami kunjungi.
Ada banyak aktivitas lain yang sebenarnya juga bisa dilakukan. Mulai dari tube rafting, mengunjungi goa kelelawar, bird-watching, sampai kunjungan lokal ke masyarakatnya juga sangat rekomendasi untuk dicoba.
Liburan sejenak ini terasa sangat mengesankan dan bisa mengajarkan kami akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar.
Menjaga keanekaragaman flora dan fauna di lingkungan sekitar, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi dan juga mengolah sampah secara bijak. Manfaatnya tentu kembali ke kita lagi.
Tak terasa di penghujung liburan, kami harus rela melepas saat-saat intim kami di Bukit Lawang. Mungkin tahun depan kami akan kembali lagi ke tempat ini dengan durasi yang lebih lama!
Nico Krisnanda seorang anak biasa yang punya mimpi besar, untuk tetap bernapas dan bisa membantu orang di sekitarnya menjadi tokoh-tokoh penting dunia!
1 Comment