Orang Jawa memiliki tradisi selamatan. Selamatan adalah upacara makan bersama dari hidangan yang telah diberi doa terlebih dahulu sebelumnya. Sesuai namanya, selamatan bertujuan memperoleh keselamatan hidup supaya tidak ada berbagai gangguan atau marabahaya apapun. Upacara selamatan biasanya dipimpin oleh modin, seorang pegawai desa yang umumnya bertugas mengurusi keperluan keagamaan di desa, termasuk memimpin doa selamatan.
Selamatan sendiri memiliki banyak ragamnya sesuai peristiwa atau kejadian dalam siklus kehidupan manusia. Salah satunya adalah selamatan dalam rangka bersih desa atau di sejumlah tempat populer dengan sebutan sedekah bumi.
Sedekah Bumi, Simbol Ungkapan Syukur
Di Jawa, sedekah bumi telah menjadi tradisi turun-temurun sejak ratusan tahun lampau. Sedekah bumi diadakan dalam sebuah rangkaian upacara adat sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan limpahan rezeki melalui bumi berupa segala bentuk hasil bumi.
Karena itulah, sedekah bumi menjadi tradisi di perdesaan yang penduduknya rata-rata berprofesi sebagai petani atau berladang. Mereka menggantungkan sumber ekonominya dari mengolah sawah atau ladang. Melalui upacara adat sedekah bumi, selain sebagai sarana mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan, juga bentuk doa agar mendapatkan rezeki yang lebih baik dari hasil bumi di masa mendatang
Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tradisi sedekah bumi telah menjadi bagian dari kebudayaan warisan leluhur sejak dulu kala. Hingga kini pun masih terus dilestarikan. Hampir semua desa di wilayah Grobogan menyelenggarakan tradisi yang juga populer disebut Apitan.
Disebut Apitan karena umumnya pelaksanaan upacara adat sedekah bumi diselenggarakan pada bulan Apit atau Zulkaidah (Dzulqa’dah) dalam kalender Hijriah. Setiap desa memiliki bentuk dan waktu yang berbeda dalam prosesi tradisi Apitan, sesuai adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur masing-masing.
Desa Ngombak, Kecamatan Kedungjati, juga melaksanakan tradisi sedekah bumi setiap tahun di bulan Apit. Tahun ini, pelaksanaan sedekah bumi Desa Ngombak diadakan pada Minggu Kliwon (2/6/2024).
Prosesi Penyembelihan Kerbau
Upacara adat sedekah bumi di Desa Ngombak tergolong unik dan khas. Prosesi yang unik itulah yang mengantarkan saya berkunjung dan melihat langsung tradisi sedekah bumi di desa tersebut.
Prosesi dimulai dengan penyembelihan seekor kerbau pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB. Tak sekadar menyembelih kerbau, prosesi penyembelihan juga diiringi pernak-pernik ritual yang mungkin tidak dijumpai pada acara sedekah bumi di desa lainnya.
Usai kerbau direbahkan dan siap disembelih, Ibu Lurah—panggilan akrab istri kepala desa—disaksikan warga desa yang hadir, berjalan mengitari kerbau tiga kali putaran sembari mengucurkan air kendi ke tubuh kerbau. Setelah itu, ia menepuk-nepuk kerbau yang akan disembelih dengan entong, dilanjutkan duduk sebentar di atas tubuh kerbau tersebut
Selesai? Belum. Prosesi masih berlanjut, karena setelah mendudukinya, Ibu Lurah masih harus menyiramkan air kembang ke sekujur tubuh kerbau, dilanjutkan Pak Lurah yang turut melakukan prosesi penyiraman air kembang. Baru kemudian kerbau disembelih oleh Mbah Modin. Uniknya, saat penyembelihan diiringi gending Kebo Giro.
Sembari warga mengolah daging kerbau yang sudah disembelih, Ibu Lurah melanjutkan prosesi adat berikutnya. Kali ini ia “berjualan” jajan pasar. Uniknya, warga yang ingin membeli jajan pasar cukup menggunakan kreweng (pecahan genting) sebagai pengganti uang. Tak pelak, Ibu Lurah pun dikerubuti warga. Terutama para ibu yang antusias ingin “membeli” jajan pasar itu.
Selamatan dan Pagelaran Langen Tayub
Daging kerbau yang sudah dipotong-potong kemudian dimasak oleh para ibu di dapur rumah Pak Lurah. Daging kerbau dimasak asem-asem untuk nanti dijadikan hidangan selamatan dan dimakan bersama-sama warga bakda Zuhur.
Menjelang Zuhur, warga menyetor makanan berupa nasi dan kondimennya (pelengkap) ke rumah Pak Lurah. Setoran makanan dari warga itu kemudian disajikan dalam bentuk ambeng atau ambengan—istilah Jawa untuk menyebut nasi dan lauk yang diletakkan di atas tampah untuk kenduri.
Selain warga, para ibu yang bertugas memasak di dapur juga menyiapkan sejumlah ambengan. Dalam satu ambengan, setidaknya terdapat nasi, mi goreng, tahu dan tempe goreng, telur dadar, oseng-oseng buncis, dan asem-asem daging hasil olahan kerbau yang tadi pagi disembelih.
Setelah Zuhur, warga Desa Ngombak, baik para bapak, ibu, dan anak-anak, berbondong-bondong datang dan berkumpul secara lesehan di halaman depan rumah Pak Lurah untuk melaksanakan selamatan sebagai puncak acara sedekah bumi. Begitu warga berkumpul, ambeng-ambeng diletakkan di tengah-tengahnya. Ambeng-ambeng itu nanti akan disantap bersama setelah pembacaan doa oleh modin.
Sebelum prosesi selamatan dilaksanakan, ternyata masih ada prosesi “berjualan” dawet oleh Ibu Lurah. Prosesi ini yang ditunggu-tunggu. Warga berjubel mengerubuti Ibu Lurah untuk “membeli” dawet. Alat untuk transaksi, seperti jajan pasar tadi pagi, juga memakai kreweng.
Dalam waktu sebentar saja, dawet pun ludes. Setelah dawet habis, barulah prosesi selamatan dimulai. Seketika usai doa bersama, warga menyantap hidangan dalam ambeng-ambeng yang telah disediakan. Prosesi ditutup dengan gelaran pentas langen tayub.
Menggali Pesan Filosofis
Saya mencoba mencari tahu pesan filosofis dalam rangkaian prosesi upacara adat sedekah bumi Desa Ngombak itu. Namun, sayangnya tak ada yang bisa menjelaskan secara pasti—selain rangkaian prosesi tersebut sudah berlangsung turun-temurun.
Kepala Desa Ngombak, Drs. Herianto menyatakan prosesi yang berlangsung dalam tradisi sedekah bumi di Desa Ngombak sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Pihaknya hanya melaksanakan dan melestarikan sesuai adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur.
Tokoh masyarakat Desa Ngombak, Tamsir, saat saya temui menjelaskan dulu kerbau merupakan hewan ternak yang umum dipelihara oleh warga Desa Ngombak. Karena itu, dalam prosesi sedekah bumi di Desa Ngombak, kerbaulah yang disembelih. Selain itu, kerbau disembelih mengingat wejangan dari Sunan Kalijaga yang melarang menyembelih sapi sebagai satwa sakral agama Hindu. Kerbau dipilih dengan tujuan menghormati umat Hindu yang ketika itu masih banyak keberadaannya di Desa Ngombak.
“Saat ini, penduduk Desa Ngombak hampir seratus persen beragama Islam,” tutur Tamsir.
Adapun ritual-ritual lainnya, menurut Tamsir, hanya pernak-pernik yang mewarnai tradisi. Misalnya, jualan jajan pasar dan dawet dengan alat beli kreweng. Mulanya itu hanyalah cara untuk menarik anak-anak agar ikut meramaikan tradisi sedekah bumi. Namun, kini tidak hanya anak-anak, tapi orang dewasa juga banyak yang tertarik dan antusias dengan prosesi tersebut.
Hemat saya, setelah menyaksikan sendiri upacara adat tradisi sedekah bumi Desa Ngombak, ada pesan-pesan filosofis lainnya yang kiranya perlu digali dan disigi lebih dalam. Agar sedekah bumi yang unik itu jauh lebih bernilai dan memiliki makna.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia